Saturday, May 10, 2025

Sudah Delapan Tahun Berlalu Masih Me[ma]carimu


Tidak perlu umek mencari-cari penggambaran, sedangkan lukisan-lukisan dengan kata-kata sudah cukup lama berhenti. Tidur belum sampai lima jam semalam memang rasanya aduhai sudah beberapa hari ini. Apa, kau mengajakku jatuh cinta. Tidak, aku sudah pernah. Tak dapat 'ku lupakan ajakan jatuh cinta sambil menyusuri jalan-jalan selatan Jakarta, meski situasinya sangat tidak ideal. Apakah akan lebih baik jika ini adalah ruang flex dengan sejuk-sejuknya, bahkan ketika masih memakai baju rajut. Akankah 'ku biarkan yang seperti itu menjadi kenangan, seperti mimpiku.
Jika kau tanya padaku, rasanya seperti pengar jet. Apa masih relevan buku harian ini, yang bukan buku dan tidak harian ini, yang kata Paula puitis ini. Apa ada maksud padaku untuk menjadikannya puitis, setelah pusat-pusat perdagangan internasional di kota-kota besar di Indonesia bermatian. Jika belum menjadi nekropolis, setidaknya kopropolis. Ya, itu yang di Kebon Kalapa, aku yang masih saja perhatian mencari orang. Bahkan Pak Cecep yang mengatakanku begitu saja sudah mati, yang masih 'ku temui beberapa tahun lalu. Bahkan es tujuh teler-telernya sudah tiada.

Dalam keadaan seperti ini yang terasa adalah dorongan untuk pergi ke tip top membeli sekantung besar teh tarik. Mungkin memang lebih ekonomis, hampir 70 ribu tetapi bisa untuk dua bulan bahkan lebih. Betapa tololnya jika hanya gara-gara itu saja terpesona, apalagi sampai bermalam-malam. Teorinya, seperti biasa, aku sudah tahu. Mungkin memang sudah tidak waktunya menambah teori, di jam empatku tumpukan teori hampir setengah meter. Yang ada saja belum semuanya dipraktekkan, hanya sebagian sangat kecil malah. Setengah meter teori sudah gila apa. Praktek!

Tiga paragraf di atas umurnya sudah tiga hari. Kini aku meneruskannya ditemani gitar gutawar riang menyanyikan lagu suprafit yang kali pertama 'ku dengar di Sint Antoniuslaan 11, Maastricht. Uah, aku memang sedang di Belanda ini, sekarang di Uilenstede, Amstelveen. Setelah suprafit disusul saprodi, aku hanya bisa ngungun. Seperti berkebit tadi pagi, aku sudah melakukannya sejak entah kapan. Mengapa aku begini, mengapa mempertanyakan. Apakah semakin sering, bisa jadi. Suatu siang atau sore di bekas ruang praktek dokter Hardi Leman kali pertama menyadari. Crot!

Kini 'ku hirup-hirup, 'ku cecap-cecap, 'ku sesap-sesap secangkir plastik merah ukuran 200 ml cappuccino bergranula coklat. Jika demikian tentu besutan torabika. Selalu teringat betapa suatu pagi ditemani sesaset indocafe cappuccino di tepian Ciliwung, di suatu pagi bermendung. Apa ketika itu ada nasi uduk, apa sebungkus rokok entah apa mereknya. Semuanya kesakitan. Kesakitan saja yang tersisa. Entah mengapa beberapa waktu terakhir ini agak sering 'ku katakan sejak jaman nabi Adam, sejak jaman Firaun. Jika tiada lagi tersisa bagiku dari dunia fauna...

...masa remaja, baik dari high videlity maupun sepatu putih dan kumpulan pasangan, hanya 'ku harap cappuccino ini tak menyakiti. Apa masih kurang kesakitan yang semuanya hanya dalam bayangan. Terkadang semangat membuncah membanjiri, sampai-sampai meski kantuk menderu-dera masih dapat ditahan dengan secangkir cappuccino dan berondongan kitikan. Nama-nama itu, yang tinggal dalam tapisan benak karena butirannya lebih besar dari anyaman jala daya ingat. Nama-nama yang memang tidak tahu, atau pernah tahu dan sekuat tenaga dilupakan...

Besar dan bentuknya seperti seonggok tahi baluchitherium, dan tentu saja bau. Kasihan. Hanya bisa didoakan agar tidak bau lagi. Biarlah besar, bentuk, dan mungkin juga warnanya seperti seonggok tahi baluchitherium yang sudah sembelit agak beberapa hari, namun baunya harum mewangi seperti apa saja terserah. Mau bau bunga atau kue boleh saja, aku tidak peduli. Aku selalu ingat baunya, seperti vanila campur kayu manis atau yang semacam itu, dan tiada keberatan padaku sama sekali. Aku pernah muda, dan di umurku yang akhir 40 tahunan, aku ingin tua 'ku tak peduli.

No comments: