Wednesday, July 17, 2024

Ang Babu, Pemimpin Sherpa dan Sampah Jenazah


Akan halnya gambarnya begitu, aku memang sedang di Kyoto. Tidak, aku tidak bersama Ryan. Tadi aku malah bersama Junaidi ketika begitu saja aku merasa lebih baik. Insya Allah tiada lama lagi pun aku akan merasa lebih baik, dan Allah akan mengaruniakan tidur yang nyaman, nyenyak, dan menyehatkan. Tidur yang penuh berkah. Aamiin yaa Robbal 'aalamiin. Untuk sementara ini kubiarkan bikkhu-bikkhu entah dari sekte apa berjalan di antara bebatuan, lava kurasa, bersama umat-umatnya. Kini Khan Younis dihantam serangan udara, aku jadi merasa harus prihatin...
Sekarang, seperti entah sudah berapa malam, bertahun-tahun lamanya, aku ditemani Emmanuelle. Seperti halnya Denny "Kencong" al-Hamzah, aku tidak pernah tahu seperti apa raut wajahnya dan tidak pernah ingin membayangkannya pula. Apakah warnanya nyaris sama dengan kulit selebihnya aku juga tidak terlalu mempedulikan. Emma memang selalu sedap jika setengah berbisik begini, ketika segala kesedapan sudah harus meninggalkanku. Keberanian menghadapi hidup ini, seperti dicontohkan Yamashita Tomoyuki, ketika kalah menjadi satu-satunya kesalahan: Mati.

Menulisi begini, mengitiki memang jauh lebih sedap ketika muda. Mungkin bahkan juga menulis buku akan jauh lebih semangat. Betapa ketika muda belum tahu apa-apa, rak-rak toko buku seakan menjanjikan ekstase berupa pengetahuan pemuas dahaga keingintahuan. Apa judul buku kecil bersampul kelabu itu dulu, yang tidak enak dibaca, yang kubeli di Gunung Agung Blok M dekat Bakmi Gajah Mada. Pemerintahan Islam, ada sendi-sendinya. Dunia baca, dunia muda-muda. Gramedia dan Gunung Agung bahkan dulu berjaya di Pondok Indah Mall nan hanya satu.

Aduhai dapat terbayang betapa sedapnya nuansa tanpa pengulangan ilham, seperti kesedapan yang pernah direguk, digelegak, melumuri sekujur tubuh tiap-tiap relungnya. Betapa sedap apapun itu cinta dewasa muda. Sementara aku, hanya dapat menengadah, mungkin menjulurkan lengan-lengan ke angkasa, meregangkan jari-jemari meraih-raih khayalan mengenai impian-impian. Ini semua terjadi di parkiran belakang Margo City ketika masih luas, masih ada mushala di pojokan itu. Masih ada semua yang kini sudah tiada, bahkan air mata di dapur belakang pun ada.

Jangan menyerah, jangan menyerah dimainkan dengan cabasa atau afuche. Segala puji hanya bagiNya pengayom semesta yang masih mengizinkanku belajar mengenai sesuatu yang baru. Bahkan mengolah paradoks-paradoks kecil...
sampai di sini hari-hari t'lah berganti. Entah apa yang terjadi pada Esih Kurniasih. Aku sendiri, entah apa yang terjadi padaku. Yang jelas, aku kehabisan ide mau diapakan sawi putih, labu siam, wortel, dan mungkin putren alias jagung muda. Masa dimasak dengan soun lagi, dengan telur orak-arik lagi, ayam 'ntah dikecapin atau dicabein

Yang jelas juga, aku tidak pandai mencari uang dan malas bersedekah. Aku polit. Aku selalu merasa miskin, itulah sebabnya aku malas bersedekah. Tadi saja parkir di Pandawa tidak bayar, padahal di dompetku ada uang Rp 50.000. Sepuluh ribunya sudah kubelanjakan sayur acar dan labu siam di warteg sederhana seberang PLN Sukmajaya. Ternyata di dalam kulkas HAN masih ada sekepal nasi berorek tahu entah dari kapan. Semoga masih enak. Aku entah hemat entah pelit. Aku bersembunyi di pojokan sini tempat biasa Prof. Anna bersembunyi juga. Begitulah adanya.

Bisoprolol membuat jantungku berdetak sungguh perlahan jika sedang dalam posisi beristirahat. Terlalu banyak yang kuabaikan, kusangkal, sampai aku tidak tahu lagi apa yang kupedulikan. Bahkan dokter Kamto tidak terlalu berminat dengan cerita-cerita mengenai kesehatanku. Kurasa ia sudah terlalu banyak mendengar cerita mengenai kesehatan terlalu banyak orang. Uah, mengapa aku harus bertemu Pak Yohanes Purbo Iriantono, sedang Yohanes Gunadi saja sudah mati. Pak Anton ini malah ingin bertemu orang yang sudi membunuhnya 'tuk menembak kepalanya.  

No comments: