Wednesday, July 31, 2024

Petualanganku di Seputar Tugu Tani, Segitiga Senen


Apa pernah seperti ini, bersama cintaku di tengah hari bolong yang terik membakar begini, selain kulaungkan di bilangan Uilenstede di depan kulkas. Bagaimana pula 'kan 'ku kisahkan petualanganku di seputar tugu tani, segitiga senen, sedang sudah malas sekali aku merinci apa-apa yang terjadi pada badanku, kecuali pikiranku. Aku hanya ingat, di Sabtu itu udara sudah panas membakar seperti ini. Ah, cintaku kembali. Adakah yang mencintaiku. Tentu ibu mencintaiku lebih dari segala-galanya di seluruh dunia ini, meski tidak adik-adikku. Kami semua dicintai, teramat.
Kuteguk-teguk air hangat yang menyehatkan jiwa raga, bukan sekadar karena airnya, karena itulah azimat dari ibu, nasihat ibu, pesan ibu, yang akan kuingat sepanjang hayat. Dan di mana pun aku berada, nasihat ibu bukan sekadar pedomanku, melainkan azimat. Keramat. Seperti cantik menyayangi segenap jiwa raga kambing yang dilahirkannya, seperti itulah kasih-sayang ibu padaku. Menyelimutiku seperti kepompong sutra yang hangat menyamankan, nyaman menyejukkan, yang meski direbus, dibakar, dipanggang betelgeus pun tidak akan rusak, mustahil akan sirna.

Akan kupasang semua gambar yang kuambil di seputaran tugu tani, meski tidak benar-benar ada dari segitiga senen. Biar apa... tadi cantik tiba-tiba datang dan seperti biasa kuhentikan semua kegiatanku untuk bersamanya. Yang jelas, kubiarkan Putra Damanik mendentam dan mendeburkan pendengaranku dengan racikan asmara terkalibrasinya. Mungkin akan kutoyor bocah yang membuat liriknya, sekaligus penggubah lagunya, yang memang candu 'abis. Di bawah ini akan segera kupasang pemandangan lapangan tempat tugu tani dari ketinggian lantai sembilan, dari suatu pagi.
Ya, baru saja kuingat bahwa dulu ia dikelola oleh Hyatt seperti halnya yang di Senayan dulu oleh Hilton. Keterangan ini penting, karena Ambassador mulai menjadi Hyatt Aryaduta pada tahun kelahiranku. Nah, kata Ci Wen, jadi ketahuan 'kan umur 'lo. Memang bersejarah sekali, karena masih ada bak mandinya. Di titik ini, aku membatin, seperti apa pemandangan ke arah utara, yang gambarnya, pada Senin, 29 Juli 2024 tampak seperti di bawah itu. Seperti apa ia 50 tahun sebelumnya, apakah masih ada yang mandi di Ciliwung perkasa, di meander gang prapatan ini.

Hei, meski Arthur masih terpesona, aku sudah tidak merasakan apa-apa. Ke mana perginya pesona tujuh tahun lalu itu, seekor merpati putih itu. Pergi saja kau, memang aku sudah tidak peduli. Hanya saja malam ini bersama Arthur, harus kuakui, kami masih sama-sama terpesona. Malam-malam ketika aku terbangun, turun membeli sebotol besar air botolan, tiga bungkus kerupuk legendaris, masih ditambah secangkir plastik minuman jahe merah. Aku bahkan tidak mulai mengitiki ketika itu, takut tambah tidak bisa tidur. Maka aku hanya membaca-baca bersama kegondrongan.
Uah, untung masih tertancap dia di situ. Padahal sudah kupindah. Padahal tadi, ketika diajak jatuh cinta, ia tiba-tiba tercekat. Itu lihat di sudut kanan bawah gambar di atas, ada mushala atau malah mesjid kecil di situ. Apakah dari situ datangnya tarhim yang membangunkanku, yang membuatku sholat qobliyah subuh. Mencoba tidur lagi setelah subuh, gagal. Mencoba mengetiki sambil menunggu jam enam agak lewat, akhirnya turun sarapan. Diganggu Prof. Sedar, lalu Pak Ilham, HP-11CB hanya teronggok di situ. Tidak. Tempatku di sini, di kamarku sendiri sini.

HP-11CB ini pelantangnya sedap-sedap renyah begini. Aku memang tidak terlalu membutuhkan dentam berdebam kecuali yang memang kusumpalkan di telinga, meski aku bersyukur tivi pintarku mantap pelantangnya. Bahkan bass orkes telerama pengirim oom Boudewijn Maulana sampai terdengar sedap berdentam-dentam. Apa setelah ini aku masih sanggup menghasilkan entri yang lebih koheren dari ini, atau langsung mencoba tidur, entahlah. Rasanya aku masih ingin berkarya. Aku tidak rela tidur sedang hanya entri inkoheren ini hasilnya. Aku tidak tahu. 

Thursday, July 25, 2024

...atau Sekadar Karya Seni Cantik, Dingin, Kesepian


"Kamu 'gak tahu sih betapa indah syahdunya." Seperti biasa tiada tanggapan, karena aku memang tidak berbicara kepada siapapun secara khusus. Aku berbicara pada diriku sendiri, kenangan akan khayalan-khayalan yang tidak pernah dan tidak akan terwujud. Waktu-waktu yang telah berlalu bagai mimpi. Apa ini aroma kamarku dan seluruh rumah sewaan di Sint Antoniuslaan itu yang melintas di indera penciuman, atau sekadar khayalanku; atau aroma rumah sewaan yang penuh berdebu dengan perabotan tua. Rumah yang seharusnya cocok bagi suasana pedesaan, namun sekelilingnya sudah berubah menjadi perkotaan. Uah!
Mataku menatap kosong ke udara malam, seperti malam-malam yang pernah kutatap kosong. Apakah di metromini jurusan Blok M atau Pasar Minggu, dari Pasar Minggu atau Manggarai, bahkan Kemayoran Gempol ke Pasar Senen. Kusebut nama tempat-tempat ini, ketika malam sudah menjelang larut dan perutku penuh berisi kuah soto dan sayuran. Tentu ada sedikit nasi merah dan suwiran daging dada ayam. Malam-malam begini jangan masih di luar di manapun. Lebih baik sudah di kamar dengan tirai gulung yang seingatku hijau juga, hanya saja lebih cerah ceria.

Apakah malam-malam mengetiki kebangsaan Indonesia di akhir abad keduapuluh, atau sekarang masih begitu juga di abad keduasatu yang sudah beranjak hampir seperempatnya. Jari-jariku lemah tak mengepal meski lengan-lenganku masih menggapai-gapai langit malam, mempertontonkan ketiakku yang masih beberapa hari dicukur klimis. Aku telanjang dada memang, keringat membasahi kepalaku berambut tinggal seadanya. Keindahan ini terus membelaiku hampir selama empat puluh tahun terakhir ini, seakan belaian kasih-sayang ibuku yang aku telah lupa.

Keindahan tiada henti menderu menerpa. Dari mana datangnya, bagaimana caranya. Mie goreng jumbo biru rasa ayam panggang sebungkus kemudian sekardus lengkap dengan kompor satu tungkunya. Minyak tanah, dengan sumbunya yang seperti kaus lebih praktis menggantinya dibanding yang bersumbu banyak. Beberapa kali digunting jika sudah gosong terbakar, membuat apinya kemerahan dan berasap banyak. Jika baru digunting aduhai apinya biru cantik membakar sempurna, memasak berbagai-bagai pun oblok-oblok tauge tahu matang.

Kesakitan demi kesakitan deru-mendera, terus menerpa, disusul kesakitan yang entah kapan 'kan sirna. Sesampainya di sini bisa jadi sudah malam, aku lupa. Televisi tidak ada, hanya radio saja lamat-lamat melangutkan lagu-lagu dari dua tiga dekade lampau. Bisa jadi asap rokok dan uap kopi terus mengepul-ngepul. Bisa jadi bacaan demi bacaan susul menyusul. Permadani kecil namun cukuplah untuk telentang sepanjang 171 cm. Hanya ada itu, lalu meja tulis yang jaya, lantas rak buku kecil nan bersahaja. Diganti Fujitsu yang tak pernah terbang seperti mesin tik hijau. 

Diganti promag yang akan dilahap beberapa butir karena tidak merayakan ulang-tahun. Jalan lewat belakang situ sampai ada McD-nya di tempat parkir, masih enak kemakmuran sapinya, kapal uapnya. Terkadang berjalan ke Plasa Semanggi ketika masih ramainya, pulang dengan taksi uang dari mana. Aku masih punya kamar sendiri ketika itu, lantas segera saja kutinggalkan kembali ke sini, ke tepian Cikumpa. Memandangi jalan Blok M yang lengang pada pukul setengah sepuluh malam, begitu damainya. Terlebih dengan Maria Elena berjungkat-jangkit begini-begitu.

Aku mencelat ke lantai dua Yulimar yang tiada ingatanku mengenainya, kecuali ketika datang, di dapur kecilnya yang permai, aku memasak Indomie. Kompornya bersumbu banyak, harus disundut dengan lidi. Hei, aku ingat ada sundutan khusus dari logam. Tidak ada kainnya, namun ujungnya seperti bersarang begitu. Dicelupkan ke dalam tangki, ia akan menahan sedikit minyak tanah di sarangnya itu, sehingga berkobarlah sedikit api cukup untuk menyulut sumbu. Adakah disulut sedikit berkeliling, mungkin saja. Memasak sup dengan mie basah, sayang gagal. 

Wednesday, July 24, 2024

Kapten Mlaar: Hei, Dayang. Sini Kuhisap Madumu


Terakhir di sini juga kalau tidak salah hasilnya cuma entri goblok. Terlebih lagi kini badan masih terasa kurang endeus. Mana barusan ada kambing menghirup kentang isi. Ini lucu, karena kentangnya dipotong panjang-panjang kurus disiram dengan saus daging dan keju, tapi dikata isi. Lebih lucu lagi aku lupa apanya yang lucu karena cantik keburu datang. Kami pun aplus karena jam sudah menunjukkan pukul empat belas lewat sedang aku belum sholat dhuhur. Mengantri lift lama tidak mengapa daripada harus berjalan dalam kondisi badan kurang yes, turun baru naik.
Ini orang katanya kena dimadu cinta sampai begitu. Entah yang di belakang itu madunya.
Hanya sok cerdik yang terpikir olehku dari tadi, meski tak dapat kulupa out of the boox. Tidak bisa lain itu pasti bubaran toko buku. Aduhai sedih sekali melihatnya, banyak pula seri kecil-kecil punya karya dan berbagai judul yang ditujukan bagi anak-anak. Bagaimana mungkin buku bersaing dengan mata satunya penipu akbar. Entah mengapa selalu selatan perbatasan keparat seakan menghantui. Mengapa tidak teman sebangkunya. Mengapa tidak dari dulu ketika dikata Itang Yunasz. Sungguh seandainya mungkin aku tidak mau makan; andai tak jadi dingin.

Uah, malah dikata francis gayo musik gunung agung, semakin melangutkan jiwa. Teringat gramedia dan gunung agung di mal pondok indah asli, tempat yang sungguh menyenangkan. Aku selalu sehat dan kuat jika ke situ kala itu. Tidak ada keluhan, tidak ada ketakutan, hanya kemaluan menggantung di antara kedua belah paha yang masih kokoh kekar. Di sekitar mungkin berbagai horor terjadi, bahkan di mana aku menjadi sebabnya. Namun yang kurasa ketika itu hanya nyaman dan tolol belaka, meski seringnya tidak sanggup beli apa-apa. Ada uang dari mana.

Apa kukenang-kenang saya michiyo sop ayam paris bahkan doremi soto dan segala onderdilnya itu: telur sudah pasti. Di minggu pagi mengetiki seakan tiada yang peduli sudah kulalui entah berapa dekade. Seperti apa mingguku di sepur derek atau Uilenstede atau Kees Broekman. Berjalan-jalan tolol ke arah Oosterlijke Handelskade atau lebih tolol lagi ke Vennepluim, di mana pun itu di Amsterdam pasti berakhir jalan-jalan tolol. Tiada yang patut dikenangkan, kecuali aku anak tolol yang merasa bangga berfoto-foto di entah-entah mana Eropa. Tololku tidak seperti itu.
 

Ini biar selesai saja. Biar tayang. Sudah berapa kali berhenti, setidaknya dua kali. Ini sekarang hampir di tengah-tengah hari bolong di laboratorium hukum yang entah bagaimana konsepnya ini. Tidak ada yang betul-betul memikirkan sedang aku merasa seperti sendirian memikirkan segala sesuatu. Mungkin seperti ini yang dirasakan adikku jika ia merasa seperti musuh nomer satu semua orang. Uah, rampak sekali mengetiki seakan ada yang menggendangi, sedangkan Roger Taylor menggebuki tambur-tamburnya. Di luar terik sekali sedang di dalam sini aduhai sejuk.

Tidak ada yang benar-benar jadi masalah. Semua orang dapat melihatnya. Tidak ada yang benar-benar jadi masalah buatku langsung dihentak dengan dentam-dentamnya bass senar maupun membran. Aku menyukai Paul mungkin karena aku lebih mirip John. Aku kurang suka John mungkin karena aku mirip dengannya, bukan karena aku seperti Paul. Terkadang di dunia ini orang-orang tolol di atas bukit menjadi terkenal, mungkin kecuali Jeremy. Apa benar yang dilakukannya, memburai isi kepalanya sendiri, mengulum laras pistol dan menarik pelatuknya. Jedar!

Hei, kalau begini aku merasa sedang berada di ruang tamunya kantor notaris Media Sari di bilangan Radar AURI. Kalau Bang Destianto Nugroho Utomo memang cocok menjadi komandan pangkalan udara Halim Perdana Kusuma seperti pendahulunya Wisnu Djajengminardo. Aku cocoknya cuma jadi seperti ini. Kalau ternyata sampai mati aku begini-begini saja... ya jangan juga. Kasihan Bapak. Namun melihat reaksi Takwa membuatku berpikir mungkin aku akan terus begini-begini saja, hal mana aku sungguh tiada peduli. Aku  ini dank not dut, punk not dead.

Wednesday, July 17, 2024

Ang Babu, Pemimpin Sherpa dan Sampah Jenazah


Akan halnya gambarnya begitu, aku memang sedang di Kyoto. Tidak, aku tidak bersama Ryan. Tadi aku malah bersama Junaidi ketika begitu saja aku merasa lebih baik. Insya Allah tiada lama lagi pun aku akan merasa lebih baik, dan Allah akan mengaruniakan tidur yang nyaman, nyenyak, dan menyehatkan. Tidur yang penuh berkah. Aamiin yaa Robbal 'aalamiin. Untuk sementara ini kubiarkan bikkhu-bikkhu entah dari sekte apa berjalan di antara bebatuan, lava kurasa, bersama umat-umatnya. Kini Khan Younis dihantam serangan udara, aku jadi merasa harus prihatin...
Sekarang, seperti entah sudah berapa malam, bertahun-tahun lamanya, aku ditemani Emmanuelle. Seperti halnya Denny "Kencong" al-Hamzah, aku tidak pernah tahu seperti apa raut wajahnya dan tidak pernah ingin membayangkannya pula. Apakah warnanya nyaris sama dengan kulit selebihnya aku juga tidak terlalu mempedulikan. Emma memang selalu sedap jika setengah berbisik begini, ketika segala kesedapan sudah harus meninggalkanku. Keberanian menghadapi hidup ini, seperti dicontohkan Yamashita Tomoyuki, ketika kalah menjadi satu-satunya kesalahan: Mati.

Menulisi begini, mengitiki memang jauh lebih sedap ketika muda. Mungkin bahkan juga menulis buku akan jauh lebih semangat. Betapa ketika muda belum tahu apa-apa, rak-rak toko buku seakan menjanjikan ekstase berupa pengetahuan pemuas dahaga keingintahuan. Apa judul buku kecil bersampul kelabu itu dulu, yang tidak enak dibaca, yang kubeli di Gunung Agung Blok M dekat Bakmi Gajah Mada. Pemerintahan Islam, ada sendi-sendinya. Dunia baca, dunia muda-muda. Gramedia dan Gunung Agung bahkan dulu berjaya di Pondok Indah Mall nan hanya satu.

Aduhai dapat terbayang betapa sedapnya nuansa tanpa pengulangan ilham, seperti kesedapan yang pernah direguk, digelegak, melumuri sekujur tubuh tiap-tiap relungnya. Betapa sedap apapun itu cinta dewasa muda. Sementara aku, hanya dapat menengadah, mungkin menjulurkan lengan-lengan ke angkasa, meregangkan jari-jemari meraih-raih khayalan mengenai impian-impian. Ini semua terjadi di parkiran belakang Margo City ketika masih luas, masih ada mushala di pojokan itu. Masih ada semua yang kini sudah tiada, bahkan air mata di dapur belakang pun ada.

Jangan menyerah, jangan menyerah dimainkan dengan cabasa atau afuche. Segala puji hanya bagiNya pengayom semesta yang masih mengizinkanku belajar mengenai sesuatu yang baru. Bahkan mengolah paradoks-paradoks kecil...
sampai di sini hari-hari t'lah berganti. Entah apa yang terjadi pada Esih Kurniasih. Aku sendiri, entah apa yang terjadi padaku. Yang jelas, aku kehabisan ide mau diapakan sawi putih, labu siam, wortel, dan mungkin putren alias jagung muda. Masa dimasak dengan soun lagi, dengan telur orak-arik lagi, ayam 'ntah dikecapin atau dicabein

Yang jelas juga, aku tidak pandai mencari uang dan malas bersedekah. Aku polit. Aku selalu merasa miskin, itulah sebabnya aku malas bersedekah. Tadi saja parkir di Pandawa tidak bayar, padahal di dompetku ada uang Rp 50.000. Sepuluh ribunya sudah kubelanjakan sayur acar dan labu siam di warteg sederhana seberang PLN Sukmajaya. Ternyata di dalam kulkas HAN masih ada sekepal nasi berorek tahu entah dari kapan. Semoga masih enak. Aku entah hemat entah pelit. Aku bersembunyi di pojokan sini tempat biasa Prof. Anna bersembunyi juga. Begitulah adanya.

Bisoprolol membuat jantungku berdetak sungguh perlahan jika sedang dalam posisi beristirahat. Terlalu banyak yang kuabaikan, kusangkal, sampai aku tidak tahu lagi apa yang kupedulikan. Bahkan dokter Kamto tidak terlalu berminat dengan cerita-cerita mengenai kesehatanku. Kurasa ia sudah terlalu banyak mendengar cerita mengenai kesehatan terlalu banyak orang. Uah, mengapa aku harus bertemu Pak Yohanes Purbo Iriantono, sedang Yohanes Gunadi saja sudah mati. Pak Anton ini malah ingin bertemu orang yang sudi membunuhnya 'tuk menembak kepalanya.  

Wednesday, July 10, 2024

Balada Telur Setengah Matang, Kentang Ketantang


Sembari mengupas telur yang baru saja kurebus, kubuka jendela samping wasbak. Jendela kecil yang menghadap ke arah Cikumpa. Dari jendela itu pandangan terjun agak lima atau setidaknya empat meteran ke sebidang kecil lahan di bantaran kali yang mungkin dulu adalah sepetak sawah pasang surut. Di kejauhan terdengar seorang ibu bersholawat thibbil qulub dilantangkan dengan Toa. Sabtu pagi ini cuaca mendung, udara cenderung sejuk tidak sampai dingin, tak berangin. Telur rebusku ternyata setengah matang, seperti dapat diduga. Kurebus mungkin kurang dari lima menit.
Sambil menunggu telurku setengah matang tadi kubuat juga susu semug porselin hitam. Seperti dapat diduga dari entri-entri goblogku ini, mungkin dari lima tahun terakhir setidaknya, aku sekadar mencoba merekam kebatan kebitan pikiran yang berkesiuran sementara aku tidak mengerjakan apa-apa, atau sekadar hal sepele seperti melarutkan susu bubuk dengan sedikit air panas. Terkadang malah aku benar-benar tidak mengerjakan apa-apa kecuali duduk menghadapi alat produksiku, jika dapat disebut begitu: produksi, maka kurekam saja segala kebat-berkebit.


Dua alinea di atas dari Sabtu lalu asalnya, 6 Juli 2024, ketika kampung Serab diguyur hujan dari sekitar dhuhur sampai isya'. Istriku sayang pergi ke makam Mamanya bersama Kak Tina. Sepulang dari sana lanjut ke Thamrin City membeli kaus oblong dan celana pendek untuk Kambing. Lagi kenapa pula Kambing diberi berkaus bercelana. Ini sudah hampir jam 10. Badanku penat setelah seharian disembur pendingin udara gara-gara di ruang bidang studi ada seekor beruang kutub bernama Efraim Jordi Kastanya. Untung tidak ada dua-duanya, Conrado Maximanuel Cornelius.

Adanya aku mengetiki malam ini, aku rindu entah kepada siapa; Mungkin pada diriku sendiri. Betulkah melodi jaman baru ini menyembuhkan, ditingkahi gericik air sedang aku berkeringat begini, ditenagai secangkir 75 tahun Nescafe coklat Cadbury. Mengapa tak kucoba saja kopi pahit kapal api. Siapa tahu betul kata orang, kalau tidak diberi bergula tidak menyakiti lambung. Coklat Cadbury ini aduhai manisnya, padahal buka puasa tadi aku sudah meminum semug besar teh bendera dengan gula sesendok, mungkin sekitar 15 gram. Aku basuh kini dengan air panas lagi.

Mungkin harus kuputuskan juga rindu kepada siapa. Mungkin benar pada diriku sendiri dari masa-masa yang lebih muda meski dungu. Mungkin bau yang tiada berapa sedap, bentuk yang tentu saja tidak bagus, namun aku sudah terlalu terbiasa melahap ironi mentah-mentah begitu saja. Hidup ini tidakkah ironi, tragedi dari rumah Tante Yunani yang sekarang sudah menjadi sushi tengoku. Jika aku masih hidup sampai kini semata komedi ilahi. Jika Bung Karno tinggal tersisa tulisan-tulisannya kubacai, dicemooh Didik Purwondanu sesama GMNI. Begitu saja tanpa terkecuali.

Ahaha ada yang kurindui. Berapa banyak tentu sedikit. Betapa ajaib sampai setua ini masih melihat baliho besi setinggi atas gang kecil toko buku Islami. Menggelandang di antara Gang Kober dan Haji Mahali, salah satunya dengan sandal Bata berbintil-bintil yang selalu kukenangi. Apakah berada dalam satu kerangka waktu aku tiada begitu peduli. Mengapa tidak kunikmati karena dengan itu mungkin aku 'kan terbebas dari api. Apa benar, apa pula yang kurindui, semua berlalu seperti hembusnya angin mengangani. Aku terdengar seperti Ali Muthahari, sungguh pun bisa jadi.

Hidup ini kujalani tanpa mengingini. Jikapun figur aksi, aku ingin menggambari. Dapat kubayangkan kusket dengan pensil, kutebalkan dengan tinta, kuwarnai dengan spidol, kubingkai kukacai. Tidak. Mengalir saja. Apakah tertumbuk pada komputer permainan aku tiada berharap tiada peduli. Betapa hidup yang kulalui mengerikan sekali, tiada pernah terbayang sampai di sini. Sampai ke mana lagi lengan mengepak-ngepak kaki memancali, kepala kadang timbul kadang tenggelam udara menghirupi, menghidupi. Secangkir air panas bukan kopi, kenapa begini.

Monday, July 01, 2024

Kau Boleh Lari dan Sembunyi, Jangan Bernyanyi


Lenyap semua kebat-berkebit gara-gara ribet menggambarkan, atau memberi gambaran. Hanya untuk dihapus karena lengket menempel pada teks. Sudah lama aku tak memberi gambaran inzet rapat kanan atau kiri atau entah apa aku menyebutnya dulu. Membuka Minggu pagi yang indah lagi cerah dengan upil kolins entah tepat atau tidak. Halah, ini lagi. Sekadar mencari tempat makan sensi bertema sok laut namanya apa atau entah di situ atau tidak menambah keribetan. Cewek gampangan membawaku kembali ke Sarinah yang menjual pernak-pernik halowin, jaman segitu.

Eh, malah diajak bercinta sama yang cinta bercinta. Mengapa ia membawaku ke suatu pagi di Jogja, di Jombor tepatnya, ketika sekeliling masih sawah, aku tak tahu. Apakah segar udara, apakah basah aspal, apakah kulangkahkan kakiku entah ke mana, selokan rapi bersih berair coklat mengalir lancar mampir ke ingatan. Kenangan akan cinta yang tidak pernah ada, atau bahkan kenangan akan khayalan tentang cinta yang tidak pernah mengada. Kata-kata saja tak kuasa melukiskan betapa entah apa namanya. Menyedihkan? 'Tuh, sampai terpaksa menggunakan tanda tanya sekadar menekankan. 

Dorongan untuk menikmati camilan kecil-kecil memang tidak pernah hilang, meski sekadar pangsit goreng ji-em, keripik sanjay, cistik. Bermacam-macamnya itu yang menggairahkan, masing-masing unik dengan ketiadaan gunanya, bahkan membahayakan. Aku pulang saja ke rumah Yado nan permai di siang terik yang tak memanggang. Terlebih begitu memasuki keteduhan rumah, sejuk belaka, nyaman belaka. Apakah itu setelah wajan dengan Yan, atau sebelum latihan dasar, atau badan oleh Joko, apapun itu tidak pernah memberiku apapun kecuali kenyamanan.

Lantas apa ini melontarku, menjerembabku ke masa-masa asap jarum super kebul-berkebul, secangkir besar kopi pun, entah apa-apa kukerjakan bahkan sampai hari ini. Apa benar yang terjadi di minggu pagi kecuali kampus sepi. Aku tidak benar-benar ingat adakah minggu pagiku saat itu. Ingatanku akan minggu pagi justru dari saat-saat setelahnya. Bu Mideh atau gado-gado tidak perlu minggu pagi benar. Tepatnya, semua waktu terasa minggu pagi di sana. Mau siang, mau malam, aku tidak ingat menonton sepak bola pun, berandai-andai sahabatku dari luar angkasa.

Aku merasa sangat aman 'pabila kita bersama, sedang mug berisi teh panas bergoyang-goyang karena hentakan-hentakanku. Tinggal masalah kebiasaan saja dengan kepala gula ini, toh rasanya tidak jauh berbeda dari gula sungguhan. Semoga aku tidak lupa ketika membaca tulisanku mengenai gerobak merah ini, yang kumaksud tiada lain adalah Redwagon-nya Mang Imas. Uah, ia rilis pada akhir 1984, nyaris bertepatan dengan ulang tahun terakhir Uti. Masih teringat foto itu, Wajah Uti terlihat lelah dikelilingi cucu-cucunya menyanyikan panjang umurnya.  

Meja tulis yang selalu berantakan. Tiap kali ditertibkan sampai selapang lapangan udara, pasti berserakan kembali segala entah-entah. Jangan tanya alasan mengapa. Itu sama saja mencampur-adukkan kenangan mengenai kapal latih taruna satu dan dua, yang masing-masing dikomandani oleh Kapten Apri Yani dan Kapten Yudo Margono. Yang belakangan ini malah sampai menjabat kepala staf tentara nasional Indonesia angkatan laut. Bintang empat dia, laksamana penuh; sedangkan Kapten Bambang Pramusinto, kalau tidak salah, hanya sampai pertama.

Ada lagi Kapten Marinir Joko Supriyanto. Abang-abangku semua itu. Aku saja yang kurang-ajar tidak mau menjadi adik mereka. Apakah aku masih sekurang-ajar dulu meski sampai sekarang. Apa yang kulakukan di Minggu menjelang siang ini, sudah waktunya 'kah album minggu ini. Semua itu telah berlalu. Sekarang menghadapi kenyataan jaman baru, Abad ke-21. Yang kusebut anak-anak bocil sesungguhnya adalah pemilik sah Abad ini. Aku dan semuanya sebayaku sekadar menumpang. Aku adalah anak-anak abad lalu. Ketika itu masih ada jalan Patrice Lumumba.