Wednesday, April 26, 2023

April Belum Berlalu. Ramadhan yang Mulia Sudah


Rongga hidung dalam dan puncak tenggorokanku mulai terasa tidak enak, setelah Khaira, Fawaz, dan Bundanya terkena masalah yang sama. Khaira bahkan sampai dikerok, sampai teriak-teriak. Entah beberapa hari sebelum lebaran ia memaksakan diri untuk itikaf sendiri di Istiqlal. Pulang-pulang sakit dia. Lantas mengapa aku harus membatasi pandangan hanya padamu. Karena mauku begitu. Lebih baik aku menjulurkan lidah dan memonyongkan bibir daripada harus memandang selainmu. Aku selalu ingat padamu, Istri pertamaku, terakhirku, segalaku.
Badan pun mulai terasa agak kurang yes, meski dari kemarin namanya puasa ya pasti begini lah rasa badan. Daripada merasa-rasakan badan, lebih baik aku terbang ke awang-awang. Namun 'ku urungkan, karena merpati sudah bukan seekor, melainkan sepasang. Terlebih lagi, ia sudah tidak putih, tetapi ternoda darah malam pengantin. Semoga. Kini aku ditemani penyuka Chopin, karena hujan-hujan begini memang paling ajib berteduh di gazebo berduaan bersamanya. Seperti dahulu kamar praktek dr. Hardi Leman tempat kali pertama bertemu dengannya, aduhai mesra.

Suasana yang berubah-ubah, hati yang berbolak-balik. Hari-hari hujan berhari-hari panas terik. Ini bukan puisi apatah lirik lagu. Inilah dia yang namanya entri, tiada yang terbayang sama sekali. Hanya buku tulis bergambar muka Mahua Arismaya satu halaman penuh, lalu entah yang 'ku ingat sebagai Captain Wickers yang 'ku buat berleher kokoh sekali, lantas aku di samping biplane bertangki eksternal. Sepertinya 'ku modelkan dari Fairey Swordfish dalam Dari Balon ke Pesawat Terbang. Sungguh sendu menyayat hati melodi bak suasana hati nan selalu begitu.

Monyongnya bibir, menjulurnya lidah bukan alasan untuk ditapuk, yang meski tidak boleh dibiasakan, tetapi bisanya hanya itu. Dibuat bagaimanapun kemarin sekali lagi tidak membuatku teringat entah lantai berapa di Sepurderek yang berwarna kuning. Kesepian mencekam hanya terkenang, hanya masakan Japri yang sekenanya namun enak juga. Tiga batang dupa setanggi menguarkan harumnya bagai keharuman yang menghiasi ruang belajar para padri dan bante. Sama-sama botak, hanya yang satu bak mempermalukan diri sendiri, sedang lainnya gundul ceprul.

Betapa jinak-jenakanya, akankah berliur berlendir jika diberi bergaram. Sekali lagi 'ku temui diriku menggapai-gapai masa yang telah lampau, teraih lampu petromaks yang tengah dipompa sehingga semakin terang-benderang. Kemasygulan suasana hati selalu menghiasi, entah pernahkah bersantai di siang hari di ruang baca perpustakaan. Aku hanya ingat menonton liputan hari Angkatan Bersenjata. Ada tank-tank berparade, ada brosur STPDN dan mungkin Akpol, dan sepertinya Dhirotsaha. Aku selalu murung dan masygul, tiada benar masa depan 'ku harap-harapkan.

Azab dan sengsara membawa nikmat itu hanya ada di kapal Van der Wijk yang sudah tenggelam saja. Di mana-mana nikmat tidak seberapa meski sebesar bola voli. Uah, aku kembali diterbangkan di awang-awang meski tidak oleh seekor merpati putih. Aku bahkan tidak peduli jika ini cangak ulo atau titituwit sekalipun. Tinggal dijalani saja sisanya sambil memonyongkan bibir dan menjulurkan lidah. Bahkan kalau perlu mengatupkan bibir dan menyimpan lidah, menunggu apapun yang melintas di hadapan, baru lidah berperekat dilesatkan dan ditarik kembali.

Tahun '60-an itu lucu ketika rambut perempuan disasak tinggi-tinggi sampai seperti menara, seperti The Ronettes begitu. Tahun '70-an dibiarkan panjang tergerai atau mumbul mengrimbo, termasuk rambut ketiak dan kemaluan. Tahun '80-an berjambul tinggi macam bangsa burung-burungan, sedang di samping dan belakang kepala dibiarkan jatuh keriting sosis atau papan. Rambut lelaki kurang lebih seperti Top's Collection, yang tinggal tunjuk mau yang mana, meski seringnya tidak menakar diri apakah bisa dijadikan begitu. Aku tetap monyong dan melet.

No comments: