Friday, May 13, 2022

Lewat Jauh Lebaran Ketupat Malah Tak Bisa Tidur


Tidak tepat seperti dalam gambar itu juga, terlebih iris-irisan apelnya, meski ada juga sedikit rasa mengapa tidak suka apel atau buah-buahan lainnya. Sayang pepaya selalu besar. Bahkan yang terkecil pun masih terlalu besar dan sulit disimpan pula. Bahkan sayur sopku pun masih tersisa satu kontener, sedang nasi mbelek bikinan Gibas sudah entah jadi apa itu dalam raiskuker. Biasanya, begitu matang, tanak, dan mendingin langsung kupindahkan ke dalam kontener dan masuk kulkas. Insya Allah bertahan lama. Namun itu pakai yang murahan, bukan Yong Ma robot.

Bicara mengenai Yong Ma robot tak ayal jadi ingat Cantik yang selalu penuh dengan kehidupan. Segala sesuatu di sekelilingku adalah Cantik. Begitu saja aku menghambur kepadanya dengan segalaku, maka aku adalah salah satu pernak-pernik dalam kehidupannya. Begitulah ketika Ibu membuatkanku kalung baru dari kulit kerang, aku memilih menetap. Sudah jelas aku tidak akan dikenang. Aku tidak punya anak-anak untuk mengenangku. Rata-rata anakku mati semua, sedang piano berkelenting-kelentang seperti menghina kehidupanku. Aku membiarkan tak mengapa.

Jika kulihat di gambar itu, kejunya terlalu tua dan tebal irisannya. Terlebih, yang menarik perhatianku, filet kalkunnya banyak sekali. Itu pasti roti lapis mahal dan jelas bukan buatanku. Buatanku rotinya tiga kerat. Lapis pertama berisi keju seiris dan filet kalkun seiris. Lapis kedua salad kentang dan saus kari. Suatu kehematan yang terlalu mewah untuk ukuran seseorang yang tinggal di tepi Cikumpa. Mana pernah kusangka malam-malam yang dicekam situs tolol tanya-jawab menjadi nyata bagiku. Apa aku kangen tidur di ruang depan sedangkan sekarang di atas sepiteng.

Aku bisa membayangkan kesepian, bahkan ketakberdayaan. Pasti mengerikan. Apakah salah jika 'ku marah. Begitu saja terkenang Uilenstede di waktu malam ketika tidak bisa tidur. Tentu jauh lebih baik dari Kees Broekman dan Kraanspoor, karena yang dua terakhir ini harus lewat segala lift dan pintu otomatis. Uilenstede seperti rumah biasa. Membuka pintu kamarku. pintu rumah, pintu pekarangan, sampailah di udara segar. Sejuk menerpa wajah, masih lekat di ingatan. Tengah malam aku tidak pernah jauh-jauh kecuali sekadar keliling bangunanku itu saja.

Kerinduanku sudah barang tentu. Begitu lama satu-satunya alasanku untuk terus hidup, bahkan sampai kini. Apakah karena koneksi internet tidak stabil, atau karena pernah dijatuhkan Tante Lien. Pernah begini juga di kamarku mungil itu, mungkin tirai masih tertutup karena hari masih gelap. Namun bunyi-bunyian dan perasaan hatiku, jalan mobil menyusur pantai dan kelap-kelip lampu di kejauhan. Mudah saja memeriksanya, coba mainkan dari cakram-kerasmu sendiri. Ah, sudahlah. Kalau sampai keluar onomatop begini itu mengapa, ya. Aku terlalu malas, atau takut.

Tiada lagi gairah cinta karena hari-hariku dipenuhi rasa kecewa yang 'kuyakin menyelamatkanku. Tinggal lagi dihilangkan ketololan itu. Entah apa yang akan terjadi paruh kedua tahun ini, tiga hal setidaknya 'kunanti-nanti. Sudah lama entri-entri tidak gamblang merinci pikiranku, karena lebih lagi perasaanku. Apa yang mengebat dan mengebit 'kurasa lebih berharga, meski seringnya aku lupa. Memang harus dilupakan, seperti entah berapa ratus mungkin ribu pandang yang dibelaikan pada hidung atau dagu berkeringat. Untung rambutnya tipis terlebih pun menyebalkan.

Lantas buat apa pula kau beristri beranak segala, San. Apa bagusnya untukmu. Kita cuma buang-buang waktu, buang-buang peluang dengan pura-pura berkeluarga berumah-tangga. Apa kau mau hidupmu panjang dan membosankan. Memang tidak ada perang di sekitar yang memungkinkan kita mati cepat untuk sesuatu alasan yang entah-entah, meski aku yakin juga mati seperti itu tidak ada puitis-puitisnya, apalagi heroik. Apa mau mati seperti Chairil Anwar atau nama-nama lainnya. Takkan ada yang menyebut-nyebut "Sandoro" ...kecuali mungkin Indira.

Seperti jembatan di atas air bergolak

No comments: