Thursday, April 21, 2022

Aku Tidak Pernah Memperingati Hari Kartini


Sederhana saja masalahnya, Raden Lesmana Mandrakumara sangat dimanja oleh bapaknya, Prabu Duryodana, meski tentu saja tidak pernah sesederhana itu masalahnya. Contohnya diriku sendiri. Aku jelas tidak dimanjakan oleh bapakku, namun aku tidak pernah benar-benar membesarkan anak, anakku sendiri maupun orang lain. Tepat di sinilah aku bersedih. Memang banyak kesalahanku. Patutlah aku dihukum. Mengitiki itu harus dalam keadaan hati riang, karena pada dasarnya mengitiki itu berolok-olok. Namun aku sedang sangat bersedih malam ini.

Padahal aku tadi sudah berjanji untuk tidak memeriksa pratinjau. Begitupun aku berjanji untuk mengomentari tulisan Profesor Shawarma. Kebanyakan janji memang tidak mudah ditepati, maka jangan mudah berjanji. Hanya saja jez alus ini benar-benar nikmat didengarkan dengan irfon miniso tiga puluh ribuan. Malam ini, kabelnya pun tiada seberapa mengganggu. Memang tidak pernah mengganggu, hanya membutuhkan sedikit usaha dan ketelatenan untuk menggulungnya. Itu saja. Kurasa hidup pun begitulah. Hanya harus sedikit usaha dan telaten. Sedikit saja.

Ada secercah kenangan mengenai kantin Islamic Village. Apa benar yang suka kubeli di sana. Apakah semacam permen atau dodol. Entah bagaimana aku ingat dodol nanas. Di belakangnya ada lapangan terbuka, di belakang kelas-kelas sekolah dasar. Ada ayunan di situ, sedang jiwaku dibelai-belai jez alus begini. Apa jadinya malam-malam di situ. Uah, malam-malam selalu saja nyaman. Entah di mana yang ada dalam perasaanku kini. Meja tulis, lampu temaram, hati lapang, kreativitas membuncah. Aku memang tidak pernah mengharap-harap masa depan.

Malam-malam yang nyaman di sepanjang trotoar. Toko-toko kecil saja namun lengkap dagangannya. Mainan-mainan kanak-kanak bergelantungan. Namun aku sudah dewasa. Jelas bukan itu yang menarik perhatianku. Mungkin berderet-deret sigaret kretek berbagai merek dalam lemari kaca. Entah aku masih punya korek jres bahkan mancis sekali. Ini jelas ingatanku mengenai masa muda. Ketika sudah setua ini dan masih tidak berdaya, maka lebih baik muda yang masih jauh jangkauan dan daya tahannya. Aku mencari damai pada masa laluku, masa mudaku. Nyaman...

Senyaman inikah di Amsterdam Centraal ketika hari sudah gelap di awal musim semi. Bisa jadi. Apakah aku selonggar itu sehingga membeli kapsalon di sebelum dermaga feri, atau nanti setelah merapat di tujuan. Rasa nyaman bisa di mana saja. Sesampainya di kamar melepas baju hangat, menghadapi laptop sambil menikmati kapsalon bisa jadi sangat nyaman. Lebih baik lagi jika itu ternyata salah satu kamar di kontrakan Jang Gobai, mungkin sambil makan bakwan malang. Apakah ini semua karena nyamannya jez alus yang menghentak lembut gendang telinga kini.

Tak kusangka akan selancar ini, ketika aku menyangga kepalaku di meja makan tadi sambil merasakan kesedihan yang mendalam. Aku memang tidak pernah dianggap di manapun, bahkan di meja makanku sendiri, yang tentu saja bukan punyaku benar. Selalu saja gerobak goyangku yang juga tak berdaya kukedepankan dalam situasi seperti itu, meski kini aku begitu saja terlempar ke dapur kapel milik Universitas Maastricht yang menjadi semacam pusat kegiatan mahasiswa itu. Aku menyebut-nyebut seakan membanggakan, padahal tidak. Tak ada yang dapat kubanggakan.

Di alinea terakhir ini aku terlempar ke sebuah taksi yang mana aku segera melompat keluar. Tepat di sinilah aku merasakan kembali kesedihan mendalam, namun berbeda dari yang tadi. Aku hanya sok-sokan berani, padahal aku tidak tahu apa-apa, dan tentu saja takut. Perutku kembung karena menyantap kimbo sosis jerman, sosis solo, masih ditambah indomie goreng jumbo biru, dan segelas sirup freiss melon manis jambu. Malam mendekati puncaknya, rasa kantuk sudah ada. Jez alus membelai-belai aduh sedapnya. Malam ini aku hanya ingin merasa nyaman. Itu saja.

1 comment:

Anonymous said...

Kartini Tidak Pernah Memperingati Hari Aku