Sunday, February 21, 2021

Esok 'Kan Masih Ada, Innamorata. Bukan Utha


Setelah memulai malam ini dengan menyapa seorang asing, sekarang malah meratap-ratap meminta kekasih untuk pulang. Edan! Malam apa ini yang dimulai dengan ini. Dilanjut dengan berselingkuh, ah, sungguh ini menyakitiku. Tidakkah kau tahu malam-malamku selalu sepi. Tidak ada yang dapat diharapkan dari mereka, maka malam-malamku menyendiri bersama kenangan-kenangan sepi. Ini, seperti mengetiki ini. Mengetiki sambil menghadap Ciliwung begini.

Betapa banyak barang-barang, betapa banyak kenangan-kenangan yang sudah tidak dapat dihadirkan fisiknya. Hanya bekas-bekasnya saja yang masih menggurat ingatan, kadang segores, kadang menghunjam dalam. Aku tinggal memilih, mau kenangan yang mana, mau yang sedalam apa. Apakah di tepi Ciliwung, Cisadane, Cikumpa atau Grogol. Ada semua. Semua tempat yang telah 'kusinggahi, entah mengapa sampai disinggahkan di situ. Dapur tempat perawatan sementara misalnya, tempatku melebur nasi dan lauk pauknya bersama sambal menjadi bubur.

Atau tikar rotan di depan tivi tempatku membatin, "aku tidak tahu mengapa aku mencintaimu, tapi aku mencintaimu." Kisah cintaku memang tidak setragis itu, dan mengapa pula aku harus peduli pada kisah cinta siapapun. Tikar rotan di depan tivi tempatku menghabiskan entah berapa malam, berapa pagi, berapa siang, berapa petang, dicintai atau diabaikan. Khayalanku akan cinta seorang perempuan sederhana yang siap-siap berangkat kerja sedang ia mendoakanku. Khayalan remaja belasan tahun yang tak berdaya, hancur hanya beberapa tahun kemudian.

Lantas ini, malam-malam hangat melintasi lapangan parkir yang telah lengang setelah anak ekstensi bubar, sedang aku sendiri anak ekstensi. Melintas entah ke arah Barel atau sebaliknya, ke dalam kampus. Belum, waktu itu belum ada Burger and Grill. Waktu itu hanya ada tas selempang berisi Bondet. Astaga, menuliskannya saja masih terasa sakit. Lalu lambungku mau sehat-sehat saja. Ya, tidak mungkin 'lah. Mau menyalahkan seseorang selain diriku sendiri. Siapa yang mau. Ruang senat dan malam-malamnya yang mengerikan, bangun entah untuk apa.

Ternyata aku sudah biasa melalui malam-malam seperti ini. Bahkan inilah hidupku. Aku sampai tidak ingat bagaimana seharusnya malam dilalui. Setelah apel malam, malam-malam terkadang masih panjang dengan dentingan gitar dan senandung lirih. Setelah ronda malam, malam-malam bisa sangat panjang dengan tindakan, atau bahkan setelahnya. Ketika malam menjelang, semua kesakitan itu bisa saja datang lagi bertubi-tubi. Hidupku memang tidak pernah lepas. Bahkan setua ini aku masih melalui malam-malam seperti ini. Menyakiti. Tidak. Hanya saja harus ditahankan.

Malam-malam tanpa cinta yang sedang 'kulalui ini, entah sudah berapa ribu. Bisa jadi di malam-malam bercinta terhidang sate ayam atau indomie goreng jumbo rasa ayam panggang, namun itu sangat jarang. Sampai-sampai menjadi kenangan indah. Katakan padaku bagaimana cara mengucap selamat tinggal saja bisa jadi di bawah temaram bohlam 40 watt menembus gelapnya kebun durian, atau dinginnya malam menjelang musim dingin di Maastricht. Bisa juga bersiap-siap tindak nang ndaleme Uti, atau mungkin sepulang dari sana ke tempat terindah dalam hidupku.

Mungkinkah bertahan dengan cara ini. Jika kau paham, ini di Amsterdam, di tengah-tengah pandemi korona. Aku sampai tidak tahu lagi harus apa dan bagaimana. Kekhawatiran, ada. Ketakutan, tidak sampai. Kemaluan, tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Dari seperempat abad yang lalu, dari Asatron yang sulit diatur volumenya, yang sudah rusak tunernya karena tidak pernah digeser-geser. Stasiun lagu lama terbaik di kota tidak akan pernah kembali lagi, sehebat apapun aku berusaha merekonstruksinya. Namun 'kuyakin kebahagiaan masih akan terus selalu menjelang. Semoga.

No comments: