Tuesday, March 01, 2016

Sehari Setelah Hari Khas Tahun Kabisat


Apa seharusnya yang kurasakan ketika hal pertama yang dihasilkan oleh HP Stream 8 dengan dompet kibor blutut ini sekadar entri Kemacangondrongan? Haruskah aku bangga karenanya? Lega? Gundah? Malu? Tepat seperti yang kuinginkan, kibor blutut ini sangat ringkas dan ergonomis. Nyaman dipakai. [dan baru saja kusadari baik padanya maupun kibor pada-layar tidak ada kurung kurawalnya] Dompetnya pun fleksibel, dapat diatur kemiringannya sesuai dengan kenyamanan leher dan mataku. Jika ada sedikit gundah, itu karena, kurasa, aku khawatir ia tidak memadai digunakan untuk mengindeks.


Mengapa harus mengindeks dengannya? [Keni Ji harus kutengok sebentar tadi karena tiba-tiba diseling iklan] Untuk kepentingan-kepentingan selain menulis dan membaca sebaiknya diserahkan langsung kepada yang berwajib, yaitu Asus X450C. [atau haruskah ia kutukar dengan Desktop PC?] Lagipula, sungguh aku tidak berharap ada lagi yang harus kukerjakan di kemudian hari yang bukan merupakan membaca atau menulis. Sudah cukup itu semua! Membaca dan menulis, seperti Bang Andri begitu, yang menurut Bu Eti seharusnya sudah jadi profesor karena internasional reputasinya.

Aku juga ingin seperti Bang Andri. Aku ingin menjadi ahli. Sudah cukup kurasa semua kegilaan ini. Memang antara Pancasila dan pengelolaan perikanan skala kecil terdapat suatu pita kontinuum yang teramat lebarnya. Namun tidak berarti semua itu harus kontinyu spektrumnya seperti pelangi ‘kan? [Uah, ketika sedang mencari tanda aksen, akhirnya kutemukan kurung kurawal itu, seperti standarnya kibor ini, harus menekan tombol fungsi. Huft!] Biarlah spektrumku diskontinyu, karena meskipun ketika kecil aku sangat suka topi dan boneka, nyatanya aku tumbuh menjadi laki-laki yang sangat hetero.

Adanya saya bisa menulis entri tengah malam ini, ada Tolak Angin Care. Tadinya, tentu saja, ia tidak kuoleskan pada mataku. Paling pada hidung dan sedikit pada dahi. Entah bagaimana caranya, ketika aku sudah membaringkan miring badanku, mataku menjadi pedas. Aku lantas saja teringat pengalaman terbakarnya kulit belakang leherku karena sebab yang sama. Begitu saja aku menjadi parno dan tergeragap bangun, mengambil secarik tisu dan menekan-nekannya pada mataku. Nyatanya, setelah kupakai menulis-nulis begini, mataku terasa baik-baik saja. Bahkan dengan taraf perbesar 100 persen pada layar delapan inci ini, aku dapat melihat dengan jelas. Alhamdulillah. [akan halnya kini kuperbesar menjadi 130 persen, ini hanya mencoba saja]

Uah, sedap kali pun dehaman dan erangan saks oleh Keni Ji ini. Aku hanya bisa membayangkan apa yang terjadi di antara pasangan muda-mudi yang sudah cukup umur ketika lagu-lagu ini kali pertama tenar di awal sembilan puluhan. Mungkin akibat kekhilafan mereka adalah mahasiswa-mahasiswaku sekarang ini baik laki-laki maupun perempuan. Apapun mereka, seperti bagaimanapun tampaknya, bagiku mereka “akibat kekhilafan” semata. Seharusnya ada orang lain yang mengatakan betapa pilu caraku memandang hidup. Akan tetapi tidak satupun berkata begitu, jadi biarlah aku sendiri yang mengatakannya pada diriku.

Mantap ‘kali pun ‘lah! Insya Allah dengan perkakas ini aku bisa produktif membaca dan menulis. Sungguh ringkas dan praktis. Hanya dengan koneksi internet yang lumayan stabil seperti smartfren seratus ribuan sebulan ini, berbagai album penuh di Yutub dapat menemaniku mengetik—meski ada baiknya juga kupasangi kartu SD mikro agar kapasitas penyimpanannya lebih besar, dan tidak mengganggu penyimpanan di cakram utama. Ternyata ini entri mengenai HP Stream 8-ku yang baru ini. Tidak menjadi apa, asal jangan “kena apa.” Biarlah gambarnya pun HP Stream 8 yang lengkap dengan dompet kibor blutut.

Wassalam

1 comment:

Gizikita said...

Bagus Mas tulisannya. :)