Saturday, January 01, 2011

Malam Tahun Baru Tanpa Air


Writing entries is very relaxing
. Maksudnya, jika aku menulis entri, itu artinya aku sedang rileks. Ditemani operetta karya Johann Strauss II, Die Fledermaus, memang tidak ada lain yang dapat dilakukan oleh seorang decayed gentleman seperti aku kecuali bersantai. Rileks. Memang aku tidak mengenakan setelanku. Di negara tropis ini, malam tahun baru terasa sungguh panasnya. Memang sudah berhari-hari begini. Sesungguhnya, aku hanya mengenakan baju kaus berkerah dari Bapak, yang ada logonya entah apa, yang malam ini terpercik susu Indomilk, bercelana pendek; semakin memantapkan jatidiriku sebagai seorang priyayi yang telah membusuk. Aku tidak punya kekayaan. Aku tidak punya kehormatan. Aku tidak punya apa-apa yang bisa menunjukkan status dan fungsiku. Kecuali bahwa aku juga menikmati segelas besar teh hijau dengan kelopak bunga melati alami, tidak ada satu pun di sekitarku yang menandakan aku berasal dari golongan terhormat dalam masyarakat. Kecuali bahwa aku sedang menikmati Sphären-Klänge dari Josef Strauss, tidak ada satu pun yang menunjukkan bahwa aku seorang aristokrat.

Betapa aku dapat mempertahankan kedudukan sosial leluhurku, kini bahkan aku tinggal di sebuah kontrakan sempit, yang malam ini bahkan air keran tidak mengalir. Intan berkata, "Tidak penting anakku pinter, yang penting bisa cari uang banyak." Uang. Sebuah rekaan (invention) yang sungguh mengerikan. Jika Alfred Nobel saja menyesal telah menemukan dan menyebarluaskan dinamit, maka yang memikirkan gagasan mengenai uang dan mewujudkannya harus beribu-ribu kali lebih menyesal. Sudahlah. Cara berpikir ini sulit, dan tidak menarik. Orang tidak mau dengar. Tahukah engkau, Sayang, kata-kata Intan itu sunguh mengerikan terdengar olehku. Sungguh, dunia kita ini sudah tidak butuh orang-orang yang ketika kecilnya didoakan demikian. Sungguh, jika saja aku mau sedikit berusaha, aku bisa membuktikan bahwa menjadi kaya sekarang berarti memiskinkan orang lain di tempat lain, di waktu lain. Namun kini aku sedang enggan berusaha, jadi kuketuk-ketukkan saja jariku pada papan-kunci laptop-ku seirama dengan Radetzky March.

Selamat Tahun Baru 2011. Banyak Untung. Banyak Senang.

Aku bersungguh-sungguh dengan kata-kataku, ketika kukatakan padamu, tidak ada hubungannya antara apa yang kita usahakan dan hasil yang kita dapatkan. Berusaha adalah takdir manusia. Hasil adalah sepenuhnya hak prerogatif Allah. Benar-benar sepenuhnya terserah Allah. Karena itu, aku tidak suka menaruh bekerja dalam satu kategori dengan berdoa. Bekerja itu selalu tidak (sepenuhnya) menyenangkan. Berdoa sudah pasti menyenangkan, setidaknya membuat hati nyaman. Aah, seperti komposisi ini! Gold und Silber oleh Franz Lehar. Dan berdoa tidak sama dengan 'menyuruh' Allah. Kurasa, kebanyakan orang, termasuk diriku sendiri, alih-alih berdoa, malah menyuruh-nyuruh Allah. Salah satu 'teknik' berdoa yang kena di hatiku adalah munajat. Munajat artinya berbicara dalam kerahasiaan. Berdua-duaan saja dengan Allah, berkeluh-kesah mengenai segala yang dialami sepanjang hari. Mencurahkan segala ketakutan dan harapan bahkan yang paling bodoh atau memalukan sekalipun. Berbisik-bisik kepadaNya. Nikmat sekali! Kamu tahu rasanya berdua-duaan saja dengan kekasih hatimu, yang juga mencintaimu sepenuh hatinya? Ini jaauuuh lebih nikmat dari itu!

Wow! Ini dia! Leichte Kavallerie oleh Franz von Suppé! Aku ingat aku pernah menulis sesuatu mengenai serangan kavaleri, dan menggunakannya sebagai ilustrasi bagi penjelasanku mengenai 'kekuatan pikiran'. Hahaha... waktu yang telah lalu. Hari ini Basuki Effendi alias Basque Béto berulang-tahun yang ke-34, dan, berbicara mengenai waktu yang berlalu, ia memutuskan untuk mabuk. Ada cognac masih sepertiga botol, dan dua botol besar Bir Bintang. Maka minum-minumlah dia dan John Gunadi. Demi waktu Ashr, sesungguhnya manusia tidak lain berada dalam keadaan merugi. Kecuali mereka yang percaya dan berbuat baik, dan saling mengingatkan mengenai kebaikan, dan saling mengingatkan untuk bersabar. Duh, seandainya ada air... aku sangat ingin mandi, membersihkan badan. Setelah bersih badanku, aku ingin meski sekadarnya membersihkan jiwaku. Mengerikan sekali yang telah kulalui selama ini. Tidak heran jika begitu banyak kebaikan dan keindahan ditahan dariku. Namun, sungguh aku berharap, semoga semua itu tidak lagi ditahan, bahkan segera dikurniakan kepadaku...

Subhanallah! Les Patineurs oleh Émile Waldteufel! Benar-benar aku ingin mandi sekarang. Aku sih tidak pernah membayangkan diriku berseluncur di atas danau yang membeku. Aku tidak menjadikannya sebagai bagian dari citra diriku. Itu terlalu Eropa. Norak sungguh jika aristokrat Jawa seperti aku melakukannya. Akan tetapi, harus kuakui, indah betul melodi ini. Subhanallahu Akbar! Namun, kalau Ibu dan Istriku menginginkannya, hal terkecil yang dapat kulakukan adalah berusaha untuk mewujudkannya! Di situlah setidaknya kehormatan seorang ksatria dipertaruhkan. Masa mewujudkan keinginan Ibu dan Istrinya sendiri tidak mampu?! Apapun akan kutempuh untuk mewujudkannya. Ah, kamu kebanyakan cingcong! Lihat saja! Langkahnya, walau kecil, sudah kuayun sore ini. Ah, Steve Ngo ini entah apa yang diinginkannya. Aku, pada dasarnya, tidak tertarik. Sudah berulang kali kukatakan, aku tidak butuh pekerjaan. Pekerjaanku sudah banyak. Yang kubutuhkan uang! Hahaha! Uang! But he sure makes some good points there. Indonesia, maritime, mining and energy... arbitration. Integration into world economy? Based in Indonesia but supported by international experts? Sounds very much like business...

Kamu terlalu pemalu untuk berdansa waltz. Apalagi Ibu.

1 comment:

Anonymous said...

"Berusaha adalah takdir manusia. Hasil adalah sepenuhnya hak prerogatif Allah" sungguh bener.

Mungkin saja Allah mengirim seseorang untuk mengubah nasib kita? Krn Allah SWT menjawab setiap doa, namun dalam jawaban yang bentuknya “lain”.