Keheningan Belanda yang sebenarnya tidak pernah benar-benar hening. Di bulan-bulan dingin setidaknya ada dengung pemanas ruangan, atau desau, atau entah jangan-jangan hanya khayalanku saja. Kulkasnya Hadi yang belakangan 'ku jual kepada Bang Halim (benar begitu namanya?) memang sangat ribut bunyinya. Waktu masih di Amstelveen tiada berapa terasa karena aku di kamar sendiri, bahkan bisa dua daun pintu menyekatku darinya. Ketika pindah ke Kraanspoor, ia tepat di samping kasurku. Tidak bisa lain terpaksa diganti yang lebih kecil. Ah, hidup di Belanda harus ada kulkas, magnetron, kompor; semua di dapur mungil.
Di tepi Cikumpa ini, subuh-subuh begini, aku sudah seperti di Belanda: berjaket, bersarung tapinya, bukan bercelana training. Ini jelas tidak di Belanda, karena mesjid pesantren atau entah mana itu masih berbunyi-bunyi. Sepertinya mereka baru sholat subuh sedang mesjid Qoryatussalam sudah dari tadi. Aneh memang mesjid thoreqot ini. 'Ku rasa doaku terkabul mendengar banyak-banyak suara mesjid, yang sok-sok 'ku inginkan ketika di Belanda dulu. Kalau sudah begini lalu bagaimana. Menempel di tembok samping, di bawah menara air, mendengarkan suara mesjid di kejauhan menjelang maghrib, uah, itu barulah kenangan manis.
Aku sampai lupa bagaimana caraku menulisi buku harian ketika masih berbentuk buku dan masih harian. Berapa halaman setiap harinya, tiap-tiap 'ku tulis. Sejak kapan keteraturan tujuh paragraf ini 'ku ciptakan untuk merepotkan diri sendiri, belum rata kanan-kiri. Aku selalu ingat sebentuk puisi tolol mengenai kelamnya rasia malam. Aku juga suka puisi, 'Gar, tapi karena terlalu suka, akhirnya hidupku seluruhnya 'ku buat puitis; meski tidak mungkin menandingi puitisnya hidup Bagas. Mengapa sekarang jadi hidupnya kecoak yang terasa lebih puitis. Tidak lah. Lebih puitis lagi hidupku, setelah subuh begini mengitiki. Kenapa jadi sembilan.
Ahaha, ternyata bulbul, Inggris pula. Dari tadi terpikir namun tidak segera 'ku periksa. Begitu 'ku periksa ternyata tepat sekali, bulbul Inggris. Entah mengapa terbangun jam tiga dini hari terpikir Ratu Camilla dan suaminya, Raja Charles III dari Inggris. Cocoklogi, silogisme, alat-alat untuk menarik kesimpulan bahkan memenangkan perdebatan. Kenapa tidak masuk pramuka saja kalau mau membuat simpul-simpul. Kenapa tidak bertinju saja, atau seni beladiri campur sekalian jika ingin menang daripada adu tarik urat leher. David Sanborn menegang urat lehernya meniup saksofon.
Semalam aku berangkat tidur sekitar jam sepuluhan, lima jam kemudian terbangun. Di Belanda aku juga sering seperti ini. Namun kalau begini, namanya baru tidur lima jam, tidak berapa lama aku pasti mengantuk lagi, harus tidur lagi. Mendekati penanda tiga jam biasanya kesadaran sudah mulai berkabut dan entri jelek seperti ini sungguh menjengkelkan jika tidak selesai dalam sekali pukul. Justru itu yang membuat entri jelek, karena dicicil per paragraf bisa jadi sampai berminggu-minggu. Bahkan Mochtar Lubis pun terkadang hanya punya beberapa baris untuk entrinya.
Dengan ini juga akhirnya aku tahu mignonne itu apa setelah berpuluh tahun, bahkan bisa mignonnette. Kalau Leroux dan Mignot aku tahu sudah lebih lama, hampir 40 tahun. Kata keparat ini baru saja aku sempat memeriksanya, dari 20 tahunan lalu. Sungguh, daripada yang itu lebih baik sekalian le cochon a la meuniere. Entah mengapa malah jadi ke Padalarang. Di mana pun di Indonesia ini, atau mungkin se-Asia Tenggara, pasti ada yang seperti itu. Baguslah yang seperti itu tidak terjadi padaku. 'Moga tak terjadi, setidaknya, pada orang-orang yang 'ku sayangi.
Langit, matahari, dan laut tidak pernah berhenti mempesonaku, meski tidak benar-benar laut, meski terkadang matahari bersembunyi. Hari-hari memandangi bendera berkebat-kebit dihembus angin kuat-kuat seakan hanya mimpi. Kehangatan yang diberikan akomodasi-akomodasi Duwo entah akankah dirasakan lagi. Di Maastricht aku tidak pakai Duwo, karena mungkin memang tidak ada. Adanya Tante Hindry, lanjut Bang Herman. Jauh lebih heroik Bang Herman daripadaku. Siapapun yang pernah merasakan jadi gelandangan di Belanda jauh lebih hebat dariku. Sungguh.
![]() |
Kasihan anak-anak ini, malu ibunya babi; atau, kasihan ibu ini, malu anak-anaknya babi. |
Aku sampai lupa bagaimana caraku menulisi buku harian ketika masih berbentuk buku dan masih harian. Berapa halaman setiap harinya, tiap-tiap 'ku tulis. Sejak kapan keteraturan tujuh paragraf ini 'ku ciptakan untuk merepotkan diri sendiri, belum rata kanan-kiri. Aku selalu ingat sebentuk puisi tolol mengenai kelamnya rasia malam. Aku juga suka puisi, 'Gar, tapi karena terlalu suka, akhirnya hidupku seluruhnya 'ku buat puitis; meski tidak mungkin menandingi puitisnya hidup Bagas. Mengapa sekarang jadi hidupnya kecoak yang terasa lebih puitis. Tidak lah. Lebih puitis lagi hidupku, setelah subuh begini mengitiki. Kenapa jadi sembilan.
Ahaha, ternyata bulbul, Inggris pula. Dari tadi terpikir namun tidak segera 'ku periksa. Begitu 'ku periksa ternyata tepat sekali, bulbul Inggris. Entah mengapa terbangun jam tiga dini hari terpikir Ratu Camilla dan suaminya, Raja Charles III dari Inggris. Cocoklogi, silogisme, alat-alat untuk menarik kesimpulan bahkan memenangkan perdebatan. Kenapa tidak masuk pramuka saja kalau mau membuat simpul-simpul. Kenapa tidak bertinju saja, atau seni beladiri campur sekalian jika ingin menang daripada adu tarik urat leher. David Sanborn menegang urat lehernya meniup saksofon.
Semalam aku berangkat tidur sekitar jam sepuluhan, lima jam kemudian terbangun. Di Belanda aku juga sering seperti ini. Namun kalau begini, namanya baru tidur lima jam, tidak berapa lama aku pasti mengantuk lagi, harus tidur lagi. Mendekati penanda tiga jam biasanya kesadaran sudah mulai berkabut dan entri jelek seperti ini sungguh menjengkelkan jika tidak selesai dalam sekali pukul. Justru itu yang membuat entri jelek, karena dicicil per paragraf bisa jadi sampai berminggu-minggu. Bahkan Mochtar Lubis pun terkadang hanya punya beberapa baris untuk entrinya.
Dengan ini juga akhirnya aku tahu mignonne itu apa setelah berpuluh tahun, bahkan bisa mignonnette. Kalau Leroux dan Mignot aku tahu sudah lebih lama, hampir 40 tahun. Kata keparat ini baru saja aku sempat memeriksanya, dari 20 tahunan lalu. Sungguh, daripada yang itu lebih baik sekalian le cochon a la meuniere. Entah mengapa malah jadi ke Padalarang. Di mana pun di Indonesia ini, atau mungkin se-Asia Tenggara, pasti ada yang seperti itu. Baguslah yang seperti itu tidak terjadi padaku. 'Moga tak terjadi, setidaknya, pada orang-orang yang 'ku sayangi.
Langit, matahari, dan laut tidak pernah berhenti mempesonaku, meski tidak benar-benar laut, meski terkadang matahari bersembunyi. Hari-hari memandangi bendera berkebat-kebit dihembus angin kuat-kuat seakan hanya mimpi. Kehangatan yang diberikan akomodasi-akomodasi Duwo entah akankah dirasakan lagi. Di Maastricht aku tidak pakai Duwo, karena mungkin memang tidak ada. Adanya Tante Hindry, lanjut Bang Herman. Jauh lebih heroik Bang Herman daripadaku. Siapapun yang pernah merasakan jadi gelandangan di Belanda jauh lebih hebat dariku. Sungguh.