Sunday, June 29, 2025

Bulbul Effendi Bisa Jadi Bulbul Inggris Afrika Utara


Keheningan Belanda yang sebenarnya tidak pernah benar-benar hening. Di bulan-bulan dingin setidaknya ada dengung pemanas ruangan, atau desau, atau entah jangan-jangan hanya khayalanku saja. Kulkasnya Hadi yang belakangan 'ku jual kepada Bang Halim (benar begitu namanya?) memang sangat ribut bunyinya. Waktu masih di Amstelveen tiada berapa terasa karena aku di kamar sendiri, bahkan bisa dua daun pintu menyekatku darinya. Ketika pindah ke Kraanspoor, ia tepat di samping kasurku. Tidak bisa lain terpaksa diganti yang lebih kecil. Ah, hidup di Belanda harus ada kulkas, magnetron, kompor; semua di dapur mungil.
Kasihan anak-anak ini, malu ibunya babi; atau, kasihan ibu ini, malu anak-anaknya babi.
Di tepi Cikumpa ini, subuh-subuh begini, aku sudah seperti di Belanda: berjaket, bersarung tapinya, bukan bercelana training. Ini jelas tidak di Belanda, karena mesjid pesantren atau entah mana itu masih berbunyi-bunyi. Sepertinya mereka baru sholat subuh sedang mesjid Qoryatussalam sudah dari tadi. Aneh memang mesjid thoreqot ini. 'Ku rasa doaku terkabul mendengar banyak-banyak suara mesjid, yang sok-sok 'ku inginkan ketika di Belanda dulu. Kalau sudah begini lalu bagaimana. Menempel di tembok samping, di bawah menara air, mendengarkan suara mesjid di kejauhan menjelang maghrib, uah, itu barulah kenangan manis.

Aku sampai lupa bagaimana caraku menulisi buku harian ketika masih berbentuk buku dan masih harian. Berapa halaman setiap harinya, tiap-tiap 'ku tulis. Sejak kapan keteraturan tujuh paragraf ini 'ku ciptakan untuk merepotkan diri sendiri, belum rata kanan-kiri. Aku selalu ingat sebentuk puisi tolol mengenai kelamnya rasia malam. Aku juga suka puisi, 'Gar, tapi karena terlalu suka, akhirnya hidupku seluruhnya 'ku buat puitis; meski tidak mungkin menandingi puitisnya hidup Bagas. Mengapa sekarang jadi hidupnya kecoak yang terasa lebih puitis. Tidak lah. Lebih puitis lagi hidupku, setelah subuh begini mengitiki. Kenapa jadi sembilan.

Ahaha, ternyata bulbul, Inggris pula. Dari tadi terpikir namun tidak segera 'ku periksa. Begitu 'ku periksa ternyata tepat sekali, bulbul Inggris. Entah mengapa terbangun jam tiga dini hari terpikir Ratu Camilla dan suaminya, Raja Charles III dari Inggris. Cocoklogi, silogisme, alat-alat untuk menarik kesimpulan bahkan memenangkan perdebatan. Kenapa tidak masuk pramuka saja kalau mau membuat simpul-simpul. Kenapa tidak bertinju saja, atau seni beladiri campur sekalian jika ingin menang daripada adu tarik urat leher. David Sanborn menegang urat lehernya meniup saksofon.

Semalam aku berangkat tidur sekitar jam sepuluhan, lima jam kemudian terbangun. Di Belanda aku juga sering seperti ini. Namun kalau begini, namanya baru tidur lima jam, tidak berapa lama aku pasti mengantuk lagi, harus tidur lagi. Mendekati penanda tiga jam biasanya kesadaran sudah mulai berkabut dan entri jelek seperti ini sungguh menjengkelkan jika tidak selesai dalam sekali pukul. Justru itu yang membuat entri jelek, karena dicicil per paragraf bisa jadi sampai berminggu-minggu. Bahkan Mochtar Lubis pun terkadang hanya punya beberapa baris untuk entrinya.

Dengan ini juga akhirnya aku tahu mignonne itu apa setelah berpuluh tahun, bahkan bisa mignonnette. Kalau Leroux dan Mignot aku tahu sudah lebih lama, hampir 40 tahun. Kata keparat ini baru saja aku sempat memeriksanya, dari 20 tahunan lalu. Sungguh, daripada yang itu lebih baik sekalian le cochon a la meuniere. Entah mengapa malah jadi ke Padalarang. Di mana pun di Indonesia ini, atau mungkin se-Asia Tenggara, pasti ada yang seperti itu. Baguslah yang seperti itu tidak terjadi padaku. 'Moga tak terjadi, setidaknya, pada orang-orang yang 'ku sayangi.

Langit, matahari, dan laut tidak pernah berhenti mempesonaku, meski tidak benar-benar laut, meski terkadang matahari bersembunyi. Hari-hari memandangi bendera berkebat-kebit dihembus angin kuat-kuat seakan hanya mimpi. Kehangatan yang diberikan akomodasi-akomodasi Duwo entah akankah dirasakan lagi. Di Maastricht aku tidak pakai Duwo, karena mungkin memang tidak ada. Adanya Tante Hindry, lanjut Bang Herman. Jauh lebih heroik Bang Herman daripadaku. Siapapun yang pernah merasakan jadi gelandangan di Belanda jauh lebih hebat dariku. Sungguh.

Friday, June 13, 2025

John "The Fuck" Gonnadie Bukan Judul yang Bagus


Ini adalah suatu percobaan yang akan mengakhiri gangguan pada pencurahan artistik entah apa maksudnya. Begitu entri ini tayang kau pasti akan segera melihatnya. Ya, entri bukan sekadar bunyi tanpa makna. Terlebih penting, entri adalah bentuk, dan perutku kembung setelah menyikat semangkok donoloyo tanpa irisan daun bawang yang membuatnya aromatik. Di luar ternyata hujan. Syukurlah ada atap di atas kepalaku, meski belum ada penyumbat telingaku. Akankah 'ku sumbat, seperti gagalku menyumbat pandangan. Diriku selalu tahu yang disukaiku.

Begitu 'ku lihat di pratinjau setelah satu paragraf aduhai menyakiti mata. Namun akan 'ku tahankan. Sudah gila rasanya saban-saban harus memeriksa pratinjau. Menghambat curahan artistik, terlebih ketika ia sedang membanjir membandang, meski sudah lama sekali yang seperti itu tidak terjadi. Aku senasib dengan Wak Karib dan tidak ada yang senasib dengan kecoak. Ungkapan terima kasih ini membawaku kembali ke lebih dari 35 tahun yang lalu, ketika segala sesuatu terasa seperti apa, ya. Aku tidak menemukan ungkapan yang tepat untuk itu, untuk waktu-waktu itu.

Semua ini sebenarnya berkisar pada urusan kesepian. Di tengah hiruk-pikuk, berseliwerannya orang-orang banyak sekali di sekitarku, aku selalu merasa kesepian. Terlebih setelah melihat-lihat foto-foto John "The Fuck" Gonnadie. 'Emang boleh mati?! 'Tuh, 'kan, sampai ada tanda bacanya, saking kesalnya. Di titik ini tiba-tiba aku terhenyak [halahmadrid]. Ini alasannya untuk menulis. Tidak usah dipikirkan. Mana tahu Paula tidak sendirian. Mana tahu ada lagi yang sepertinya, sudi membaca-baca entah apa. Anak biologisku entah di mana. Apa anak ideologisku di mana-mana.

Jika demikian, permalaikat segala aturan penulisan, apalagi... di sini 'ku hentikan. Baiklah. 'Ku ikuti sekadarnya, agar bisa diajukan biar mendapat cumshot, biar naik pangkat mumpung masih hidup. Itulah masalah entri belakangan ini, terputus-putus. Ini sudah pagi entah beberapa kali berapa harinya. Aku menyanding sekitar 300 ml air hangat, mungkin sekitar 60 derajat celsius. Seperti entah berapa kali pagiku selalu menghadapi Asus Vivobook -yang kini telah pergi entah ke mana- hanya ditukar uang seper-delapan lebih sedikit dari harga belinya. Uah, pertanda baik kalimat lari.

Padahal aku sekadar terbangun dari suatu kesepian eksistensial, dan sebuah entri sekadar harus diselesaikan, apalagi jika sudah mencapai paragraf ketiga dari terakhir. Selembar keju cheddar Amerika memang biasanya harus dikelupas dari sosis ayam tempat ia melekat karena dipanaskan, meski itu lebih mudah dilakukan jika sudah dingin. Namun, ketika dingin, rasanya tidak seenak ketika panas. Sudah cukup deskripsi tidak penting mengenai keju dan sosis, seakan-akan ini jauh di Eropa sana. Aku tidak pernah ingin mengevaluasi, apalagi mengevakuasi apapun.

Jika aku punya tenaga, judul itu akan 'ku ubah. Tidak bagus. Namun, menilik dari rasaku sekarang ini, sudah bagus jika entri ini selesai dan tayang, meski faedahnya bagi diriku sendiri apalagi dunia mungkin tidak ada. Aku yang ke mana-mana menjadi bahan tertawaan, namun tidak lantas pula aku merasa diriku Joker. Aku lebih Jester, yakni, Commander Rick Heatherly. Dari mana idenya aku menamai diri sendiri Viper, Gundo Panther, Reza Jaguar, Herman Puma. Aku ini sekadar Joker Fuel, bahkan sebelum joker, karena aku pengecut. Aku melarikan diri dari mana-mana.

Lima juta atau enam puluh juta dikali empat dalam setahun sama-sama duitnya, sama-sama habisnya. Perutku kekenyangan bisa gara-gara sekedar seporsi bakmi goreng Jawa, atau bubur ayam entah-entah, taco sarapan ala-ala, masih ditambah muffin sosis ayam, atau bakmi ayam masih harus menghabis fuyunghai dan capcay. Ketika aku sedih, terasa ada yang sakit entah di mana, aku makan. 'Kurasa orang-orang ada yang jika sedih maka tidak makan, tetapi menari menyanyi berlari-larian sesuka hati, seperti 'ku mengajar hukum perburuhan, tidak sesuai satuan acara.

This is Freddie Kruger's Friday the Thirteenth Post

Sunday, June 01, 2025

Pipitku Menggaruda Pancasila di Hari Kelahirannya


Inikah waktu mengitiki, lewat setengah jam dari tengah malam begini, ketika bahkan tadi bersin-bersin dan hidung tiba-tiba berair. Seperti biasa, saking saja Michael sedang menarikan tarian terakhirnya. Jika tidak mungkin aku akan membaca-baca alih-alih mengitik-kitik sendiri. Dahulu urutannya tidak begini, seingatku. Masa tarian terakhir diikuti dengan matahari terbenam Karibia. Memang keparatlah pembajak peracik kaset jaman dulu. Mengharu-biru anak kecil hanya untuk membuatnya tidak bisa kembali ke masa kecilnya, karena urutannya beda dari album aslinya.
Jika malam ini aku kesepian, tentu bukan berita baru. Apa ketika masih di Barepan sana aku pernah merasa kesepian. Jangankan itu, sejak kecil pun, sejak punya ingatan, aku selalu merasa kesepian. Aku selalu hidup dalam duniaku sendiri, yang sampai sekarang masih bergedung redaksi kartini dan ananda. Itu yang di atasnya ada antena-antena. Gedungnya sendiri tentu sudah entah ke mana, seperti halnya kartini dan ananda. Namun gedung itu dan antena-antenanya selalu rimbun di pelupuk mata vide Bang Tiyok. Bagaimana bisa ia berpikir dirinya penyair, tukang deklamasi.

Lalu Monas dan gedung pusat Pertamina. Kau hanya perlu naik ke atas semacam pot permanen di depan jendela kamar depan dan sedikit berjinjit. Melalui pagar yang membatasi jalan apron timur terlihatlah puncak Monas yang berkilau keemasan ketika cahaya siang mulai redup, begitu juga puncak gedung pusat Pertamina dengan logo kuda laut kembarnya. Aku masih sebesar Sodjo sekarang. Ah, indahnya hidup ketika itu. Sedikit sekali ketakutan. Aku masih tahu lelepah meski entah bagaimana depannya ada "ha"-nya. Namun hidupku memang selalu indah.

Pagi ini contohnya. Sudah dua hari ini pagi bermendung tebal di Depok sini, bahkan mungkin seluruh Jakarta Bogor Depok Tangerang [Selatan] Bekasi. Jangan-jangan sampai kawasan Puncak dan Cianjur. Apa sih. Jelasnya, di kalimat ini sudah tidak pagi dan tidak ini. Ini bahkan nun di Pulo Gebang sana, seperti tertulis pada deteksi lokasi kartu selulerku, yang menyediakan akses internet bagi HP-11CBku. Apa pantas aku meneruskan mengitiki di sini, saat ini. Ruang Candra aduhai dingin sekali, meski sudah aku lepas kaus dalamku yang berkeringat, meski aku ganti berjaket batik. 

Uah, berminggu-minggu tidak maju-maju. Paragraf di atas bahkan dari minggu lalu, apalagi paragraf awal entri gak jelas ini. Entah kapan itu, namun sekarang ini, ketika aku sedang mengitiki begini, badanku terasa aduhai semlohai. Padahal aku tidak pernah sampai semlidut seperti Dyodoran, akankah aku menderita karenanya, karena mayoritas posting-posting instagramku. Di belakangku, Nadia mOmarah, seperti biasa, ribut saja, membuatku sulit berpikir. Lagipula, masa mengitiki begini saja pakai berpikir. Bahkan menyelesaikan satu paragraf ini saja terasa aduhai berat. 

Ya, sutra 'lah, let's do it again. Apalagi sekarang aku pakai celana mahal uniqlo yang sesak di perut. Bukan celananya yang salah, melainkan perutku yang 'ku penuhi nasi kuning lengkap dengan cungkring, tahu telur semur, masih pakai mie goreng diguyur sambal kacang, belum lagi tahu berontak. Apalagi dalam seperempat jam ini aku harus segera beranjak ke Audit untuk menemani Hari Prasetiyo mengawas ujian akhir semester Hukum Lingkungan. Apa 'ku bawa HP-11CB ke sana untuk mengitiki. Aku sudah tahu apa isi paragraf terakhir di bawah ini, yakni, mengenai teman. 

Teman apa. Difoto apanya: 'ngebornya. Sebuah entri bagaimanapun harus diselesaikan, sekacau apapun, sejelek apapun. Termasuk entri ini. Jelas ini bukan semacam kumpulan cerpen seperti bikinan Ahmad Tohari, Pramoedya Ananta Toer, atau Seno Gumira Ajidarma dan lain sebagainya. Ini adalah kumpulan entri asal goblek asal ngomyang. Tidak ada satu kecerdasan buatan pun, tidak ada model bahasa besar seperti apapun, yang dapat menggantikannya. Ini, 'Le, bagaimanapun, adalah kenangan mengenai impian yang takkan terwujud, keinginan yang takkan tercapai.