Tuesday, December 31, 2024

Selamat Ulang Tahun yang ke-20, Kopral Macan


Di hari ulang tahun ke-20 bohong-bohongan goblog ini, biarlah aku kembali ke 30 tahunan lalu. Tentu saja tidak tepat 30 tahun lalu, karena jika demikian, mungkin aku sedang berlayar di laut Jawa di atas KRI Teluk Sampit. Tepat di sini, seperti biasa, kereta pikiranku diganggu oleh kebatan yang membuatku, seingatku, membaca-baca jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, dan mungkin beberapa hal lainnya. Bisa jadi juga pengganggu utamanya adalah sepotong risoles ragu ayam dan kroket ayam, dengan cecabean rawitnya sekalian, nan aduhai sulit betul diambil.  
Akan halnya aku terpelanting ke 30 tahunan lalu, itulah sebenarnya suasana yang kuharapkan ketika berada di sebuah food court sangat sederhana untuk ukuran mall-mall kekinian. Modalnya tentu tidak sebesar Transmart-nya Chaerul Tanjung, yang kata Bang Ian, menggendong ibunya ketika melewati X-ray, mengangkatnya dari kursi roda. Inilah contoh bisnis yang gagal move on, namun entah bagaimana mendapatkan perpanjangan nafas di pinggiran Depok. Bahkan meja dan kursi rotannya, risoles dan kroketnya, jingle-jingle iklannya, ah terasa awal 1990-an betul. 

Namun harapan sederhana akan suasana awal 1990-an itu buyar menjadi remah-remah ketika seorang ibu-ibu muda gemuk [karena kalau gemuk muda agak wagu, memang ada gemuk tua?] entah gagal atau memang tidak berkeinginan untuk menenangkan anak laki-laki balitanya yang menangis meraung-raung. Sehebat apapun kusabari, tak sanggup juga pada akhirnya. Maka kukemasi HP11-CBku dan segera beranjak dari situ. Sudah ada semingguan ini cuaca berhujan berbadai kehabisan tenaga. Mungkin ia sedang mengumpulkan tenaga baru. Badanku beradaptasi lagi.

Uah, kastil timun ini membawaku ke suasana yang jauh berbeda lagi, mundur hampir 40 tahunan. Mengapa selalu mundur. Mengapa tidak maju. Terserah apa mau dikata, semua orang yang bicara mengenai masa depan adalah penipu, atau setidaknya pengkhayal. Aku apa adanya saja. Hanya masa lampau yang ada padaku, terpampang terang benderang di depan mata. Aku seperti gorila koko yang setiap kali sudah makan dan ditanya jawabannya menunjuk ke depan. Jika kau mengerti pun seharusnya membawa kenangan indah, bukannya malah Dr. Abdul Salam.

Selancar-lancarnya jariku mengitiki, entah bagaimana caranya selalu menyisakan tiga. Begitu biasanya. Pada titik ini tergantung tenaganya. Seperti sekarang ini, di bawah cahaya bulan berkabut yang riang begini, aku tahu aku akan bahagia di sembarang tempat di mana pun, sepanjang aku bersamamu. Ya, tentu saja kau cantik. Tepat seperti yang selalu kusangka-sangka. Beberapa kali kutulis di sini [atau belum] kau seperti Bawuk, aku Hassanmu. Namun terbalik, kau yang Mandailing polit, aku yang Jawa keturunan priyayi; kedua-duanya dimatikan oleh Umar Kayam.

Mengucap selamat tinggal itu menyakitkan. Bagaimana rasanya mengucap selamat tinggal pada hidup, seperti yang dilakukan Letda Henry Herrick, komandan peletonnya sersan Ernie Savage. Ernie pada saat itu adalah seorang komandan regu. Ah, lebih baik menyesapi keajaiban ini, entah di mana ini, sepanjang gang mahali atau entah di mana. Seperti biasa aku tidak sabaran. Sebenarnya aku bisa begini, seperti sekarang ini di dekade ketiga Abad ke-21. Namun aku memaksakannya sejak di akhir Abad ke-20. Sudahlah. Ingat saja kata Gratio, teladani Stalin atau orang hebat lainnya.

Bukan untukku mengatakannya ada dua, setidaknya dalam laci-laci benakku. Di satu laci tentu saja Cliff Richard, di laci lain Johnny Mathis. Aku lupa apakah di masa-masa ketika the best oldies station masih ada di my little town, keduanya seringkali mengudara. Aku merasa lebih pasti dengan Cliff, tapi tidak dengan Johnny. Johnny justru mengingatkanku pada iProfile. Perusahaan pembuat website. Astaga, kuno sekali, padahal itu sudah memasuki abad ini. Ya, bahkan dalam satu abad yang sama, awalnya, pertengahannya, akhirnya, dapat berlainan sekali. Begitulah itu.

Apapun, Selamat Ulang Tahun, 'Pral.

Monday, December 30, 2024

Pergi Saja Engkau Pergi Dariku Biar Kubunuh. Diri


Berhubung esok besar kemungkinannya takkan sempat menulis entri (halah!), ada baiknya kutulis sekarang saja. Mumpung gabut. Ini koq rasanya seperti musim panas di Amsterdam atau Amstelveen. Aku tidak sempat merasakan musim panas di Kraanspoor. Musim panasku di Kees Broekman dan Uilenstede. Di Kees aku ingat sekali. Gelap-gelap begini lebih seperti kamarku di Uilenstede 79C. Masih ada jejaknya di Google Maps. Namun terangnya tidak dari depan begini. Dari samping. Kurasa di situ pula mulai kukumpulkan lagu-lagu menyek mengiringiku petang ini. 
Biarkanlah aku kembali ke petang yang lain lagi, 20 tahunan lalu bahkan di Palembang. Bukan aula benar, remang-remang suasananya, bersama bocil-bocil entah angkatan berapa yang sekarang pasti sudah menjadi bapak-bapak dan ibu-ibu. Nah, mending ini sekalian. Tidak ada kenangannya. Entah mengapa ia bisa berada dalam daftar ini. Menurut Angga ini adalah lagu tema anime. Liriknya dibuat menjengkelkan begini. Mengapa sekarang tema-tema seperti ini disukai. Uah, romansa memang tidak pernah baru sejak jaman Romeo dan Yuliet: sekadar diulang-ulang.

Nah, kalau ini di dalam taksi. Entah mengapa aku ingatnya taksi. Padahal naik taksi ke Radio Dalam baru nanti pagi, Insya Allah, tapi melodi cantik ini seingatku kudengar di sebuah taksi kali pertama. Tepat di perempatan Pondok Indah Mall sebelum berbelok ke kanan arah Margaguna. Sangat bisa jadi. Mungkin ketika itu juga membawa anak-anak. Ada dua seingatku yang begini kisahnya, anaknya Indra Lesmana dan anaknya Soegi entah siapa. Pintar anak-anak ini. Bagus, kata Pak Tino Sidin. Jika di situ ada Nino Kayam, mau bagaimana lagi. Cucunya Umar Kayam dia ini.

Berikutnya membawaku ke petang lain lagi, menyusuri graha bintaro entah lewat mana lagi. Mungkin tentu saja sampai sektor satu, deplu, veteran, tanah kusir, arteri, sampai masuk lewat kostrad, kwini, baru Yado. Astaga, dahulu badanku masih cukup perkasa melakukan itu, sekitar 12-an tahun lalu. Luka, luka, luka yang kurasakan. Bertubi-tubi-tubi yang kauberikan. Tak apa, 'Nak. Tadi sempat terpikir olehku, jika sampai tak ada padaku dan adikku anak, ada dua kemungkinan. (1) tak boleh diteruskan; atau, (2) harus diselesaikan sekarang juga, seperti senantiasa.

Apa tidak sebaiknya dihentikan dulu. Ya, baiknya begitu. Baru saja aku keluar dari kamar hotelku untuk mencari makanan. Ya, seperti sudah menjadi mafhum, layanan kamar biasanya harganya tidak bersaing. Maka turunlah aku menemukan warung mi aceh. Lapar, begitu tanyanya, mi aceh paling benar, begitu katanya. Malam ini tiada berapa ramai, mungkin seperti malam-malam yang telah lalu. Ada satu meja lesehan berisi satu keluarga. Di antaranya, seorang perempuan gemuk meminta mikrofon untuk berkaraoke. Setelah dua lagu ia berhenti, dilanjut setelah aku pergi.

Roberto Bellarmino Gratio memberiku oleh-oleh, yakni sebentuk patung dada Josif Stalin dari kuningan dan sebuah perjanjian baru dalam bahasa dan aksara Russia. Ia menjelaskan bahwa Stalin, walaupun penyusun utama Marxisme-Leninisme, adalah seorang eks-seminaris ortodoks, baik sebelum maupun pada saat perang besar patriotik dan setelahnya. Dia tetap menjaga keutuhan gereja Rusia dengan mengangkat Patriark Alexei. Maka, dua hal itu, Stalinisme dan kekristenan ortodoks, tidak terpisahkan. Nama baptisnya saja Josif, bapaknya Yesus Kristus. Gratio melanjutkan, semoga dalam menjalani hidup ini kita bisa meneladani Stalin, yang walaupun tidak kuliah, anak istrinya meninggal, dipenjara berkali-kali, sering direndahkan Trotsky, sering dikritik dan difitnah, tapi tetap teguh berjuang ke depan. Demikian penjelasan Gratio mengenai oleh-olehnya.

Aku tidak bisa berkata lain kecuali akan kubrasso patung Stalin itu, karena di sana-sini sudah muncul karat kuningan. Kurasa ini lebih baik daripada membraso epaulet, pin kerah, tanda korps, dan kepala sabuk. Sudah lama sekali aku tidak punya alasan untuk membrasso apapun. Hampir 30 tahun! Gratio memberiku alasan. Padahal di rumah ada jam berbentuk kemudi kapal yang ada bagian kuningannya, dan cantik sudah membeli sekaleng besar brasso. Namun belum sekali pun kugosok jam itu. Akankah aku rajin membrasso patung Stalin, aku pun belum tahu. Kita lihat saja.

Sunday, December 29, 2024

Jika'Ku Setia Padamu Kar'na Kau Takkan Menyakiti


Begitu kubuka pintu masuknya, hidungku langsung disergap aroma yang membekas lembut pada ingatanku: buku kafe, dari 20 tahunan lalu. Biarlah aku hidup di masa lalu, meski ketika itu aku, seingatku, tidak pernah memesan kopi apapun. Jadi adalah tahun-tahun di mana lambungku tak tersentuh kopi sama sekali, setelah selama sekitar enam tahunan hampir tidak pernah tidak tersentuh kopi, tubruk maupun instan sasetan. Di sini ada beberapa jilid buku, tetapi kurasa lebih seperti pajangan saja. Dekorasi ruangan. Sedang di buku kafe dulu itulah menu utama, meski tetap harus pesan minuman juga, setidaknya, atau makanan.
Ambiens boleh saja, asal jangan mendominasi. Barusan kukecilkan volume pelantang agar jazz mulus dari kamar loteng ini tetap hangat mendekap jiwaku. Padahal yang kubuat ya hanya ini, entri ini. Kalau berkantor di sini, bisa jadi 50 ribu sehari tidak akan ke mana. Uh oh, apa akan ada musik hidup. Ini bisa jadi bencana. Aku tak ingin suarainti A20i-ku bersaing dengan salon-salon segede gaban. Awas kalau sampai mengganggu benar-benar akan kutinggal ke tempat lain, meski pada detik ini aku belum punya ide mau ke mana. Uah, benar-benar keras suaranya.

Sampai 'ku tak bisa mendengar otakku sendiri berpikir. Ia menyanyikan nuansa bening, lagunya Bung Ippul. Sungguh mengerikan waktu-waktu itu, di tepi Ciliwung ujung jalan kober, bahkan sudah lewat kobernya itu sendiri. Tempat bersemayam Bung Biawak, membuat jeri Bung Yori Yapani. Ia melanjutkannya dengan janji putihnya Doddie Latuharhary. Kalau tidak gara-gara dia, jangankan tahu, terpikir saja lagu ini tidak akan. Ini sudah memasuki lagu ketiga. Kopi susu masih sepertiga cangkir. Pantatku terasa seperti enggan geser. Telingaku masih mencoba bersabar. 

Baru tahu, ternyata makanan dari pondok gurame bisa dibawa ke sini. Di depanku sekeluarga bersantap siang lengkap. Dengan standar apapun yang pernah ditetapkan NATO atau Pakta Warsawa, ini semua sesungguhnya sudak tak berterima, kekacauan ini. Kaki kanan kuselonjorkan ke kursi depan. Kaki kiri kuletakkan santai di lantai. Setidaknya sekarang aku tahu minggu siang begini ada musik hidup di sini, jadi bisa dihindari. Libur t'lah tiba. Titik-titik penggilingan ini bisa jadi alternatif kantor, untuk berganti-ganti dengan suhu yo. Berapa lama.

Jangan diteguk lagi kopi susunya, paling tinggal tiga teguk lagi. Jadikan ia alasan untuk melatih kesabaran. Apa rasanya tampil di depan tiada sesiapa, tidakkah dalam hidupku beberapa kali pula kurasakan yang seperti itu. Seperti ketika kubawa gitar, bahkan mungkin ukulele sekalian, ke acara korjek. Bahkan bawa sisun segala. Seperti juga ketika kubawa gitar ke... apa dahulu nama tempat itu, ternyata teman seangkatanku malah ajep-ajep di dalam situ. Ah, sial, aku memang tidak pernah berhenti jadi pemain watak bahkan sampai kini. Keple'ne pol aku iki. Jan tenane

Orang keple sepertiku ini memang cocoknya ditakut-takuti dengan lelepah. Lelepah, lelepah. Panganane iwak mentah. Lalapane brambang uyah. Mangane neng tritis ngomah. Entah kesambet apa, ketika Pak Jeje menawarkan ada yang ingin menyanyi, kugantikan ia sebentar. Pasti sakit lama-lama memainkan senar-senar kawat itu. Ia ternyata seorang profesional. Semoga ia dibayar pantas, meski titik-titik penggilingan minggu siang ini sepi; hanya dua meja terisi penuh, ya oleh keluarga tadi. Salah satunya meja yang kupakai kemarin sesiangan 'sama istriku cantik.

Meski tak pernah benar-benar menonton pagelaran wayang kulit, apalagi yang semalam suntuk, [ha]lelepah selalu berada dalam benakku. Itulah kurasa yang menuntunku untuk berselancar mencari-cari wayang setanan. Betapa suara tangisan anak halelepah sangat lekat dalam ingatan, yang ternyata suara traktor penarik kereta-kereta bagasi yang terkadang melalui jalan apron timur, entah mau apa. Sekarang, aku cukup bersyukur badanku, setidaknya secara ritual, terhitung suci. Meski pikiranku lethek, karena aku wis tuwo, bacin. Amit-amit jangan sampai mati jadi halelepah.

Saturday, December 28, 2024

Untung Sempat Disimpan Jazz Klimis dari Loteng


Stereo nirkabel sejati (SNS)-ku bau tahi hahaha. Aku mengendus-endusnya sambil menahan tawa terbahak-bahak dengan harapan baunya segera hilang. Namun tak kunjung hilang juga hahaha. Ini seperti ketika kami main pleset-plesetan di rumah sebelah tiba-tiba penjaganya datang. Dengan sangat kesulitan kami memanjat pohon jambu klutuk satu-satunya jalan melarikan diri. Sudahlah batangnya licin, badan kami berlumuran deterjen, maka tertawa-tawalah kami riang-gembira. Adik dan Herman menyelamatkan diri ke atas citra kasih, aku dengan sok gagah berani menghadapi nasib demi mendengar suara bapak menggelegar memanggilku. Maka terhempaslah menghantam mesin cuci.

Jika kulanjutkan di sini bahwa ini kali pertama akhirnya aku berada di dalam titik-titik pabrik, ini karena paksaan cantik yang terinspirasi oleh helen yang bukan dari troya; mungkin dari kroya, aku tidak tahu. Biasanya aku hanya melintasinya. Seringkali malah tidak memperhatikan, karena ia berada tepat di sebuah belokan tajam ketika jalan raya kaesu membelah cikumpa. Namun pagi ini aku benar-benar berada di dalamnya, hanya kami berdua, aku dan cantik. Sisanya adalah teh thai panas dan es kopi susu, serta baru saja datang ini, patat, kentang goreng a la belgia perancis.

Jika aku sedang malas mengkapital-kapitalkan, mengkursif-kursifkan, mohon dimaafkan. Jika aku agak berkeringat-keringat, mungkin karena habis menyantap mi nyemek [awas, 'm' dan 'ny' jangan dipertukarkan] dengan tingkat kepedasan sedang. Mi menyeknya enak. Harganya yang Rp 40,000 memang untuk membeli suasana. Namun jika dipikir-pikir, di solar pun harganya segituan, bahkan tidak pakai suasana. Di sini diberi berbantal kursi bertuliskan "Ethiopian Mocha Sidamo. 100% coffee product. Arabica 18-3227 wt. 100 lb". Jadi pura-puranya karung biji kopi. 

Tadi sempat terpikir untuk menulis ulasan yang agak patut mengenai tempat ini. Siapa tahu dengan begitu lalu-lintas ke goblog ini jadi agak meningkat. Ah, tanpa ulasan patut pun sudah cukup banyak kunjungan hanya dari Sampoerna King dan mantra santet. Jadi, seperti biasa, asal goblek asal ngomyang aja. Itu 'kan satu-satunya fungsi goblog ini sekarang, setelah bapak berpulang. Mustahil kuwujudkan impian kema[cangondrong]an (gantilah 'cangondrong' dengan 'yor') di atas bumi ini. Jasad bapak sudah di dalam bumi Rorotan, di taman makam syuhada.

Setelah mengulas (halah!) mi nyemek, kini kita bicarakan sedikit teh thai. Aku memesannya karena sudah cukup lama ini aku agak brutal dengan perkopian bungkusan, bahkan kopi kekinian. Aku sampai tahu bedanya kopi teras sekolah tinggi hukum milik Rapin dari orang-orang cerdas. Di titik ini anganku melayang pada rintihan minta tolong. Astaga, itu saja yang terpikir olehku. Akan halnya Rendi mengaku berminat seakan-akan karena suatu alasan praktis, ada terbersit sedikit ejekan dalam hatiku. Untuk itu aku minta maaf. Kecerdasan juga tak banyak gunanya, meureun.

Bapak itu menelekan kepala pada sandaran sofa, memejamkan mata. Istrinya di sebelahnya sama-sama setengah rebah, memilin-milin rambut keritingnya, ditarik ke atas kepala. Tiga ekor anaknya bercericau ramai seperti sekumpulan burung betet. Yang tertua perempuan, berambut keriting seperti ibunya. Kedua adiknya laki-laki berambut lurus, mungkin seperti bapaknya. Aku tak bisa mengatakan dengan pasti karena rambut bapaknya dicukur pendek a la serdadu; sementara jazz klimis dari loteng ini menghentak nikmat di telingaku, menutupi ambiens yang arusutama. 

Aku suka, ya, bahkan cenderung bangga bila entah bagaimana judul disebut dalam badan tulisan. Jadi seperti tulisan benar-benar. Semacam cerpen yang kepanjangannya cerlana pendek, ya, seperti yang sering dipakai selena gomes. Hanya saja dalam entri ini belum dijelaskan mengapa ilustrasinya begitu (halah!). Itu adalah seorang raksasi (ogress) dari Harsan. Harsan dari bagian India yang mana entahlah. Itulah. Orang seringnya terlalu cepat menyimpulkan. Jika bentuknya tidak tipikal atau konvensional, dikata bukan perempuan, dikatai raksasi. Padahal ia bukan.

Friday, December 27, 2024

Balada Sebutir Granat, Sepucuk Pistol. Seselesainya


Kopiku encer, musikku menyek, rokok kretekku mana. Lonte punya selera, jarum super filter, jarum super internasional. Aku paham sepenuhnya maksud diberinya selongsong kardus pada cangkir kardus, agar tidak panas memegangnya. Namun, selain tidak panas, selongsong itu membuat peganganku tidak mantap pada cangkir kardus; jadi meleset-meleset begitu. Aku hampir lupa rasanya ketika aku membenci mereka, ketika yang kuinginkan adalah sepucuk pistol dan sebutir granat. Ketika mereka bercericau, lemparkan granat ke tengah-tengahnya [onomatope ledakan]. 
Pistolnya untuk apa. Karena aku pada dasarnya gak tega'an, jadi untuk mengakhiri penderitaan yang tidak langsung mati. Karena granat Mk. II alias granat nanas serpihannya bisa besar-besar, bisa memangkas anggota badan bahkan leher, tapi bisa juga sekadar merusak jaringan namun tidak fatal. Sebutir peluru tepat di kening akan mengakhiri penderitaan terpangkas anggota badan oleh serpihan granat, atau rusak jaringan namun tidak fatal lainnya. Itulah benar mungkin yang mendorongku masuk tentara. Seragam, apalagi kekayaan, aku tak peduli. Granat! Pistol!

Hahaha, nyatanya semua berakhir dengan romansa. Cintaku pada rakyat jelata dan kepapaan mereka sudah dipupuk sejak dini. Aku bersahabat dengan anak-anak pedagang beras, supir bajaj, dan supir bis malam. Kecintaanku kepada mereka semakin mendalam, melesak ke dalam gua garba, menghunjam liang-liang kewanitaan mereka. Bersama mereka aku merasa seperti menemukan pembenaran, alasan untuk ada, dan, terlebih penting, cinta. Ya, aku menemukan cinta bersama mereka, menghapus berbutir-butir granat dan berpucuk-pucuk pistol beserta munisinya sekali.

Dari mereka pula, kaum jembel mudlarat ini, aku belajar betapa cinta itu tak ragawi. Seberapa banyak pun gua garba kujelajahi, sebanyak apa pun tahi macan kuecer-ecer di dalamnya, seberapa pasang pun buah-buahan kukeremus kugelegak [daftar ini bisa panjang sekali jika diteruskan], tak membuatku menemui cinta, apalagi Cinta. Baru kutersadar, aku seperti ibunda rahwana yang meminta sastra jendra ketika selaput daranya masih utuh, belum ditembus oleh pestol gombyor calon bapak mertuanya sendiri. Di titik ini aku tertawa-tawa sambil mencengkam pistolku sendiri. 

Tidak setiap hari, setiap saat aku cerdas barus begini; semoga kelak aku masih ingat bagaimana sampai secerdas barus ini. Modalnya hanya 50 ribu lebih sedikit, namun entah kerugian apa yang ditimbulkan pada kesehatan badan. Di dunia macan yang perutnya gondrong ini, aku cerdas barus sendiri, aku senang sendiri. Mau kuecer-ecer tahi sebanyak apapun takkan seorang pun peduli. Takkan pula mau kutambah modal sendiri. Tak mungkin pula terus-terusan seberuntung ini, dua bulan terakhir ini. Uah, rampak sekali aku mengitiki ketiak sendiri. Seperti biasa, tidak geli.

Eh, baru sadar. Pistol masih dalam genggaman, yang bila diberi bersabun sedikit, diberi air sedikit, lalu genggaman digerakkan ritmis maju mundur, bisa geli. Inilah kegelian hakiki. Ustadz Firanda boleh berkata sesuka hati. Jika ukurannya masih ragawi, maka kubulatkan jari-jemari, kutarik ke belakang sambil kurapalkan "kamehame.." lantas kudorong ke depan sambil berseru "HA!" Siapapun bebas berkata-kata apapun suka-suka hatinya. Namun jika kau belum pernah main monopoli melawan Ahmad Suroji, Siswanto, dan Sumanto, cari tahulah siapa Kamehameha. Tak apa.

Tahukah engkau bahwa ketika ibunda Kamehameha mengandungnya, ia mengidam mata-mata hiu putih raksasa. Ayahnya yang juga seorang raja menyadari bahwa anak perempuannya ini sedang mengandung seorang calon raja besar. Di titik ini aku menari-nari berputar-putar, sedang pelir dan biji-bijinya sekalian berayun-ayun riang gembira. Ya, aku tak berkain tak bercelana. Apa ini seperti pengelana menjadikan dirinya umpan untuk menangkap entah megalodon atau mosasaurus, membagi-bagi dagingnya dengan dua perempuan dewasa dan kecil, sedang ia 'ndiri makan matanya.

Thursday, December 26, 2024

Menyusumu Berbeda dari Menyusuimu. Sensasinya


Kreasi, konstruksi itu memakan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Sebaliknya, kau hanya membutuhkan sebungkus indomie goreng jumbo putih, sebutir telur, dua tahu bakso, dan sepotek gorengan chikunguya sok cerdik marugame udon untuk melakukan destruksi. Meski kau tahu bukan itu benar yang mendestruksi. Bahasa, kesukaanku dari lama, bahkan kian melelahkan. Aku terlambat sadar jika aku menyukainya, tapi biarlah. Aku menyukainya, namun seperti halnya segala sesuatu di dunia, ia tidak perlu menyukaiku balik. Aku hanya harus menyukai. Hidup itu butuh menyukai.
Segelas susu jahe emprit bakar sudah tandas. Aku sudah tidak punya tenaga untuk membela kehormatan, apalagi melakukan sesuatu ditenagai kebencian. Jikapun masih ada, tenagaku kiranya tersisa untuk mencinta. Lebih mengerikan lagi, jika aku masih hidup meski dalam fasa vegetasi mental, lantas aku butuh dicinta. Sekarang saja ketika aku masih sanggup mencinta tiada cinta bagiku. Bagaimana jika mentalku sudah sangat mundur sampai secerdas sawi, siapa yang 'kan sudi mencintaiku. Itulah sebabnya, secangkir merah kopi luwak putih kini menemaniku, di sini ini.

Bahkan kini bajigur panas yang ditulis tangan dengan cat kayu pada sepotong papan. Ini bajigur aduhai mantap. Manisnya ada tetapi sopan sekali. Kesukaan bapak, minuman ini. Sebelum ini, aku minum bajigur di Karawang sekali. Sayang suasananya kurang dapat dinikmati. Tidak seperti sekarang ini. Bertelanjang dada, berpeluh-keringat menghadapi meja kerja sendiri, menghadapi jendela berkasa nyamuk hastakarya istri sendiri, menghadapi kebun kecil depan rumah nan subur menghijau. Inilah kenikmatan hidup sejati, meski kesakitan demi kesakitan mendera. 

Jika 'ku sedang mencoba bertahan satu cinta semacam ini, tiada rasa sakit yang 'ku rasakan. Hanya senyum keindahan, bukan senyum kehancuran, yang 'ku balas. Maka biarlah 'ku menyusuri kembali gang haji mahali, dengan masjid jami' khairatul musliminnya, meski anakku Fathia Rizki Khairani lahir di gang satunya lagi, gang kober, di tempat bidan haji hilah. Anakku Khairadhita-lah yang membuatku bertahan satu C-I-N-T-A. Anakku Aisyah Putri Nurafifah temanku sarapan, dan tentu saja anak kambingku satu-satunya Fawaz Hamdou Nitisemito. Empat inilah anakku.

Kini 'ku teguk seseruputan, atau 'ku seruput setegukan, entah berapa sandyakala telah kulalui dalam hidupku, entah berapa keindahan kunikmati. Perasaan mengganjal itu semoga segera pergi, karena itulah yang dapat kukendalikan. Satu lagi pejuang meninggalkan kita, begitu kata Takwa, tepat pada hari natal 2024 ini, Profesor Kaelan. Aku bukan pejuang. Aku keple. Maka mendekati tengah malam ini, aku masih belum terbiasa kehilanganmu, meski itulah yang harus kulakukan. Maka kuteguk lagi seseruput demi seseruput. Kuseruput lagi seteguk demi seteguk, Cinta.

Kausangka 'Gar, ya, kaukira kata-kata di sini hanya sekadar kuhamburkan saja sampai-sampai tak bermakna. Kau salah sangka, salah kira. Tiap makna yang terkandung dalam tiap kata kuletakkan hati-hati samping-menyamping, susul-menyusul. Mungkin tidak ada gunanya menjelaskan ini kepada kawanku Hari Prasetiyo, tapi Angga Priancha mungkin sudi mendengarkan penjelasanku. Makna di sini, alih-alih membentuk estetika semantik, justru menyusun estetika visual atau terkadang audio berselang-seling, atau suka-suka hatiku. Jadi lupakanlah dahulu rasio apalagi logika.

Alih-alih bapak penjaga parkiran indomaret KSU Tirtajaya, aku lebih seperti bapak yang berkantor di antara sinar garut baraya 2 dan pecel lele 212 tole iskandar. Sepertiku, bapak itu juga dengan cermat dan hati-hati menggunting-gunting bekas bungkus kopi sasetan atau entah bungkus apa saja, menyibukkan diri dengan kerajinan tangan. Namun, tidak sepertiku, siapa tahu apa yang berada dalam benak bapak itu. Siapa yang tahu apa yang membasahi bibirnya. Siapa tahu apa yang menggema dalam relung-relung jiwanya. Satu silabel saja, maka bapak itulah kasunyatan itu 'ndiri. 

Wednesday, December 25, 2024

Malam Natal Ini... Damai di Bumi, Damaiku di Hati


Ini adalah postingan malam natal. Tidak ada salahnya jika 'ku ceritakan di sini bahwa 9 tahun lalu, ketika aku masih kuat menyongklang variosty, 'ku rasa dari Radio Dalam ke Depok, 'ku hentikan tungganganku di dekat panti pijat satu putri di mulut tol pancasila arah Depok, hanya untuk mengapdet setatus pesbuk demikian: "Di malam natal ini aku seorang diri namun tak merasa sepi, karena hatiku menyala-nyala, menyambar-nyambar terbakar bara revolusi, yang laksana malaekat menyerbu dari langit. Semoga Tuhan memberkati sumpah dan janjiku untuk menyerahkan seluruh jiwa raga bagi cita-cita perjuangan bangsaku. Bapak, ibu, guru-guru, mohon doa restu." Begitu kataku, seperti biasa, pada diri sendiri. Memang hampir selalu begitu aku. Sunyi sepi sendiri merintangi.

Namun kini bapak telah tiada, begitu juga mpok mar. Sudah barang tentu ibu warung laler, begitu juga penjual ketan bakar suami mpok mar. Yang masih ada adalah penjual bubur kacang ijo ketan item madura, yang buka di samping rumah tante yunani, yang sudah sejak lama menjadi sushi tengoku. Artinya, 9 tahun setelah 'ku tulis status itu aku masih seorang diri namun tak merasa sepi, karena hatiku menyala-nyala, menyambar-nyambar terbakar bara revolusi, yang laksana malaekat menyerbu dari langit jalannya revolusi Bung Karno. Setelah 9 tahun aku masih berjuang.

Dalam pada itu aku seperti merah. Aku anung-un-rama. Tak hendak 'ku menuruti keinginan grigori untuk mengundang ogdru jahad ke alam dunia ini. Sebaliknya, seraya 'ku memeluk berkah Tuhan, aku diliputi api kebiruan tak berasap tak berbau, menyelimutiku bagaikan dekapan ibu yang tak pernah 'ku rasakan setelah aku mengerti pembicaraan. Seperti itulah malam natalku tahun ini. Tidak lagi seperti ketika suaraku tercekat, dan ketika 'ku paksa keluar, parau mengatakan pada diriku sendiri: "natal ini aku pulang". Di ambang jendela itu, tiada sesiapa, dingin di luar sana. 

Natal itu aku memang tidak pulang. Baru natal tahun berikutnya aku di rumah, tanpa kehadiran ragawi bapak. Namun bapak tentu saja selalu di hati, bahkan di tiap detak jantungku, bahkan dalam tiap kejatan pikiranku. Karena aku adalah bapak. Segala sesuatu mengenaiku adalah bapak, dan tentu saja ibu. Saat ini indera pendengaranku terpapar pada geremang beratus-ratus orang, namun biasanya ia dibelai-belai untaian nada mengalun yang biasa membuai jiwa ibu. Bapak adalah apiku, ibu airku. Ragaan tak berdaya bagai khayalanmu mengenai Bu Susiana Suryandari. 

Berdamai dengan hati sendiri tidak perlu sampai mengikuti kursus apapun, meski itu menurutku sendiri. Aku tidak punya uang, lagipula, untuk membayar biaya kursus, kursus apapun. Seperti Nugroho menyewa sepeda di pare kampung inggris. Ia hanya berkeliling-keliling naik sepeda di situ, tidak mendaftarkan diri ke salah satu tempat kursus bahasa inggris yang menjamur di situ. Ia justru lebih tertarik pada kenyataan bahwa di pare yang dulu merupakan pusat kota kediri terdapat maskapai trem uap. Ya, Nugroho berdamai dengan hatinya sendiri. Sepertinya, aku pun begini.

Ada lagi satu kata dalam bahasa Indonesia, kata sifat, yang dapat digunakan untuk menggambarkan suasana ini: teduh. Dulu aku sangat terpukau dengan saat teduh, buletin jumat, sedarlah dan sebangsanya itu. Sesungguhnya sampai detik ini juga, meski keterpukauan itu harus disiram air comberan agar padam, karena dapat menimbulkan gejolak jiwa yang merusak keamanan dan ketertiban masyarakat. Lihatlah orang-orang yang kausebut di paragraf kedua tadi. Engkau pasti suka berpikir jika mereka sudah merasakan kedamaian, bukan, dalam istirahat panjang.

Namun Yesus Kristus belum beristirahat. Ia akan kembali di tengah-tengah kita membunuh si penipu yang mengaku juru selamat. Aku yang buta tuli mata telinga hati ini masih terus merasa tertipu habis-habisan setiap hari, jadi mungkin saja sang penipu ulung ini belum mati. Berarti Yesus Kristus belum berada kembali di tengah-tengah kita. Jika pun takkan pernah 'ku saksikan matinya si penipu dengan segala tipuannya, aku berdoa kepada Allah agar anak-anakku sempat menyaksikannya sebelum mereka sendiri mati. Kerinduanku, kedamaian dalam hati nurani.

Selamat Natal dan Tahun Baru. Damai di Bumi, Damai di Hati.

Tuesday, December 24, 2024

Aku Bersama Indomie Telorku dari Masa ke Masa


Para pembaca setia (halah!) mungkin sudah muak dengan entri-entri penuh pengode-ulangan dari kode terkode-kode di mana pesan utamanya adalah yang baju merah jangan sampai lolos. Maka di entri ini aku akan mencoba menulis [bukan mengitiki] yang normal-normal saja. Tidak ada kode, tidak ada ide cerdik. Topik biasa saja, seperti indomie telor. Jika di sana-sini masih ditemukan hiperbola atau melankoli. mohon dimaafkan. Ketahuilah, pura-pura normal itu sungguh melelahkan, dan aku sudah tua. Pura-pura normal memakan energi mental yang tidak sedikit.
Begitu pula, jika entri ini tidak rata kanan-kiri, mohon dimaafkan. Bisa jadi jumlah baris per paragrafnya tidak sama, ini juga mohon dimaafkan. Mungkinkah lebih dari tujuh paragraf, jangan keterlaluan. Siapa yang menyuruhku melakukan ini semua, tidak ada. Semua ini memang hanya ada dan selalu ada di kepalaku sendiri, jadi mohon dimaafkan. Indomie telornya mana, ini sebentar lagi. Apologia apa lagi yang harus 'ku buat, ya. Ah, sudahlah, mari kita memulai petualangan bersama indomie telor. Maafkan aku jika masih terus saja berusaha membuatnya delapan baris.

'Ku mulai dengan teknik kilas-balik. Baru saja ini aku memakan indomie telor rasa ayam bawang diberi saus sambal sasetan dua macam, d'besto punya dan del monte ekstra pedas. Sambil menyantap gurih-gurihnya menggoyang lidah kian-kemari, sambil membaca-baca mengenai pahlawan-pahlawan [yang menggunakan] kekuataan [fisik] dan sihir, anganku melayang pada indomie telor-indomie telor yang pernah 'ku santap. Pertama tentu saja di ruang approach sentra operasi penerbangan bandar udara Cengkareng, 'ku rasa, sekitar 1986. Ikut bapak dinas pagi belum sarapan, maka dibelikanlah indomie untukku dan adikku.

Ketika datang indomienya aku terkesiap: pakai telor! Adikku tanpa banyak tanya langsung tekun menyantap. Aku lupa apakah 'ku terpaku, namun aku masih ingat sekali perasaan ingin protes. Sejak kapan aku makan indomie pakai telor, aku 'kan tidak tahan amisnya, begitu batinku. Namun tentu saja itu semua hanya dalam hati. Tak mungkin pula aku minta ganti baru, bisa dijitak bapak. Maka dengan hati ditabah-tabahkan 'ku makan juga indomie telorku, dan ternyata... enak! Sejak itulah aku tidak pernah takut pada indomie telor. Bahkan aku hampir selalu memasak atau memesan indomie dengan telor kecuali kalau sedang tidak ingin.

Sesungguhnya, sejak indomie telor pertamaku ini sampai jaman AAL, aku gagal mengingat momen spesialku bersamanya. Doremi soto dan michiyo sop ayam paris memang takkan terlupa, dan kemungkinan besar bertelor. Namun mie-mie instanku sepanjang SMA sudah tentu dalam mug aluminium dan tanpa telur, kecuali... ya, kecuali mie dalam karantina, baik sebelum dan sesudah ada klinik. Jika dimasak pembantunya dr. Tien Tien telurnya dikocok, jika dimasak Pak Sachid aduhai jadi kubis rebus ada mienya sedikit, aku sampai lupa ada telurnya tidak. Pokoknya full kubis.

Kenangan menghabiskan enam cangkir mie instan ketika wisuda jurit tidak perlu dirinci di sini, karena mereka tak bertelor. Justru ketika nyoro di ruang karantina penyakit menular legendaris spesial pakai telor (SPT) terjadilah. Jika sebelum-sebelumnya kebanyakan mie rebus, maka SPT ini mayoritasnya indomie goreng, diberi bercabai rawit pula. Benar-benar spesial! Adakah ketika kumpul octopussy atau korjek mukbang ngecop indomie telor satu ember, bisa jadi. Jelasnya, aku pernah siang-siang makan SPT di kantin Kodikal, apakah goreng atau rebus tiada ingat.

Tinggal satu paragraf, maka 'kan 'ku devosikan pada sepiring indomie goreng jumbo biru rasa ayam panggang itu, yang piringnya seingatku fancy, dari melamin. Namun terlebih penting adalah sumpit yang fancy, mungil begitu bentuknya. Jika kemudian ia menjadi satu kardus, tak mungkin jika tanpa kode meski selapis. Di sini bisa jadi aku sibuk dengan kode, namun memang paragraf ketujuh ini sudah ditakdirkan. Apa 'ku melompat saja ke indomie telor Mang Ade Madris, aku lupa apakah berkornet. Bisa jadi, yang jelas mustahil berkeju karena itu Baron Depari.

Monday, December 23, 2024

Membersamai Kecicipan Mencicipi Kebersamaanku


Alkisah, taring atas Jomajujo menancap dalam ke tanah, sedang taring bawahnya tembus menusuk langit. Itulah maka namanya begitu: jangan maju, jangan. Apa lantas satu kalimat harus disusul dengan kalimat yang segagasan dalam satu paragraf, menjadi satu wacana. Mengapa di akhir abad lalu, awal abad ini aku sempat berpikir-pikir mengenai analisis wacana, aku benar-benar lupa. Yang benar-benar menarik kini adalah memeriksa, apakah enam baris di HP-11CB ini sama dengan PC AiO Lenovo 520; sebab Advan Sketsa 3 sudah kuberikan kepada adikku. Sama.
Suasana apa ini yang dibentuk oleh mendung-mendungnya langit selewat hujan, rayuan mendekati rengekan untuk berdiri di sisiku, dan musik yang dimainkan. Pavilyun sepulangku sekolah bisa begini juga, meski aku lupa berapa lama libur setelah terima rapot semesteran di SMP 56 dulu, dan kupakai untuk apa liburan itu. Lebih bisa lagi entah di graha yang mana ketika langit Magelang sama mendungnya dengan yang sekarang ini menaungi, malah dilanjutkan akhir dunia oleh Brenda Lee. Ataukah justru ini Srengseng Sawah akhir 1997 Delta FM 99.5 stasiun lelagu tua terbaik.

Suasana siang bermendung seperti ini sebenarnya sungguh mengilhami. Tidakkah begini pula suasananya ketika memulai hari-hari, bahkan menjalaninya, di Radar AURI hampir 20 tahunan yang lalu. Sungguh hampir 'ku tak percaya, 30 tahun, 40 tahun terakhir hidupku, jangan-jangan sampai ia berakhir begini saja nasibku bahkan sejak dimulainya. Ini kali pertamanya 'ku mengitiki diiringi Omar Garcia, ya, meski sekadar mengitiki. Siapa tahu besok-besok aku menghasilkan entah apa dengan iringan yang sama. Beda sensasinya begini dengan di depan televisi. Biasa.

Bukan, meski sama kopi susunya, ini bukan di lantai 5 gedung B kampus pulau roeter di kanal belakang baru. Meski suasananya ada mirip-miripnya, meja sama putihnya, kursi sama hitamnya, langit sama mendungnya, udara pun cenderung sejuknya, ini bukan di ruang lentur. Di sini tidak ada Isdah, tidak ada Icha, tidak ada Mbak Vita, tidak ada Japri, tidak ada Arum. Di sini tiada sesiapa, sedang adzan ashar mulai berkumandang. Tidak mungkin ini di situ. Ini di laboratorium hukum entah apa-apa, di setentang masjid UI yang nyaris 30 tahun 'bersamaiku.

Hari-hari apa yang bermendung kulalui di sepanjang gang sawo. Apakah ketika anakku sayang mondok di pondok ganesha, ketika variosua kehujanan dengan tasku ada di injakan-kakinya, di dalamnya ada HP-11CBnya, yang hingga kini di tepi-tepi layarnya membekas sentuhan belai manja air hujannya. Ataukah markas bersama gimin yang kusewakan, kubersihkan di tengah rinai hujan, kubelikan berbagai-bagainya, bau kamar sewaan lama tak berpenghuni yang sangat lekat dalam ingatannya. Entah sudah berapa kamar semacam itu kulalui dalam hidupku sejijiknya.

Jika bukan karena ketercicipan, jika bukan karena membersamai, mungkin sudah kunamakan entri ini hari-hari bermendung, seperti mega mendung begitu mungkin. Sebanyak apa, sesedikit apa nikmat dunia, ketika hujan menderas, hidangan sudah tersedia, perut hangat, badan kering dan hangat, bahkan di rekening ada uangnya. Sebanyak apa waktu yang kubuang tolol-tololan bersama Dedi Sudedi dan John Gunadi di sepanjang tepian Margonda, berlatih infantri lintas udara yang tidak pernah melintasi udara. Tiga tahun kemudian, sejak pertengahan 2005 'tu.

'Ku menjalani, 'ku berbagi hari-hari entah bagaimana ketika itu sekadar mengandalkan imaji. Begitu September 2008 menggilai, di lantai 2 Laathofpad Zes itu, meski tepatnya bagaimana tak ingat lagi. Jari-jari ini sudah tak ingat lagi apakah ini penyebabnya sholat sampai terlupa berapa rakaat telah diulangi. Ketololan yang tulus jangan dirancukan dengan ketulusan yang tolol, ketika nothing to lose artinya tidak ada yang tulus. Si Tolol! Bagaimana kau bisa berpikir menarik minat anak bocil dengan posting instagram yang bahkan pada jamanmu saja sudah kuno. Berhenti!

Bagai mengelantang di hari bermendung, aku ini

Thursday, December 19, 2024

Enaknya Stereo Nirkabel Sejati. Bisa Ambil Air Panas


Apakah itu ponsel yang tertinggal atau sengaja ditinggalkan atau entahlah dari 20 tahun yang lalu. Tentu saja segala sesuatu telah jauh berubah sampai-sampai tak dapat dikenali. Jika isi kepala dikebat dan dikebit oleh daftar-main begini, terlebih oleh penunggang cakram putra damanik begini, maka serasa boneka kain perca dihembalang, pontang-panting terguling. Seperti turangga-rangga atau ontang-anting atau entah apa lagi dalam album stiker dunia fantasi keluaran snek chiki, rasa keju atau ayam. Uah, anak jaman sekarang tidak akan dapat menghargai indah bunyinya.
Mungkin aku sekadar sudah terlalu tua untuk melakukan ini, merampaki, menggendangi. Jesse pasti sudah tidak pernah terpikir mengenainya, terlebih natal putih di gudang tas graha lima. Hebat itu compo entah punya siapa, dengan dek pemutar kaset ganda. Kami hanya harus bernyanyi dan bermain gitar dekat-dekat dengannya atau di sekitarnya, dan hasilnya lumayan untuk mengharu-biru masa muda tolol sampai lama. Terakhir kali di seberang kamar ibunya nenek sihir yang suka mengaji sendiri di tengah malam. Uah, hidup apa yang dijalaninya dahulu.

Maka begitu saja naik angkutan kota em-empat dari pasar minggu setelah turun dari metro mini es-enam dua. Waktu itu pasti berkabel atau bahkan dari pengeras suara. Dengan lampu kuning yang menambah hangat suasana, bisa juga mengenakan seragam desainer kuning kunyit. Kembali entah ke mana, maju entah ke mana. Keluar di pintu dekat mesjid aerha naik ojek bukannya ke arah cikini malah manggarai. Lebih banyak waktu terbuang namun tidak harus takut berdesakan, selalu duduk pula. Itulah waktu-waktu pada ketika sudah tak sanggup lagi menyongklang vario sty.

Waktu masih kuat bahkan suka mampir sepel atau mekdi sekali. Di sepel sudah pasti hot dog dan mungkin teh sereh dingin. Ah, masa-masa itu. Dari kecil aku tahu kesehatanku bukan yang terbaik. Maka jika sekarang secangkir plastik merah berisi kopi luwak putih, aku hanya dapat berharap agar ia tak menyakitiku, entah bagaimana. Meski kini 'ku dibawa melayang ke Uilenstede di siang hari yang panjang. Hadi entah ke mana, aku seorang diri saja. Bahkan kurir pembawa paket untuk Hadi pun tiada datang mengganggu. Entah mengapa aku tak ke mana-mana. Tak'da uang.

Jika sudah tahu bungkruh mengapa dulu merusak diri dengan jarum super bisa empat bungkus sehari, merokok berantai sudah seperti kereta api. Mengapa dulu kebanyakan gaya suka meminum minuman keras, segala kebodohan itu mengapa harus kualami. Mengapa tidak berjalan-jalan saja di suatu sore ketika Margo City baru saja dibuka, dengan mushala yang di pojok luar tenggara itu. Ketika masih ada segala oh la la sampai pawon nyonya, masih di dalam semua. Jadi apa dulu rumah tua aku lupa, ketika masih wijaya tani atau sudah tidak, Asmirandah 'ngecrot.

Ketika itu bahkan Togar, Rian, Hari masih esema, aku belum lulus kuliah juga. Uah, masa-masa ketika menyeberang margonda hanya untuk bertemu burger dan raja, dengan menu-menu sok cerdiknya, segala sop buntut bakar atau semacamnya. Atau kalau tidak menyeberang berarti buku kafe dengan menu-menu tak kalah cerdiknya. Dedi Sudedi menghabiskan siang nongkrong di situ sambil membaca-baca. Dedi memang sisa-sisa dari generasi yang mendapatkan kesenangan dari membaca selain seks swalayan karena tak ada sesiapa yang sudi melayani.

Masih ada bekas-bekasnya di sini, ya, di goblog ini juga. Yakni, waktu-waktu ketika goblog ini kali pertama dibuat. Jika sampai waktunya, bagaimana merayakan ulang tahun ke-20 goblog ini, ya. 'Gar, 31 Desember 2024 goblog ini berulang tahun yang ke-20 loh. Kalau goblog ini anak laki-laki sudah pasti tolol setengah mati. Ada usul bagaimana merayakannya. Apakah dengan ditutup saja, diakhiri hidupnya. Sungguh sudah malu dan lelah aku berolok-olok begini, tapi bagaimana lagi. Aku sering kesepian dan tinggal goblog ini teman seorang diri, luwakku menenggak habis kopi.

Tuesday, December 10, 2024

Asu'nyolot Kirik Banyu, Suatu Metapsikotelekinetika


Mau dibuat berapa panjang. Apa tidak rusak dijepit begitu, meski sekarang memang lebih terang. Meski tidak ada bedanya juga diterangi atau tidak diterangi, aku tetap mengitiki dengan perasaan. Mengapa selalu terkenang olehku pagi-pagi di RSPAD, beberapa kali Bapak pulang, beberapa kali Bapak tinggal. Aku pulang, pergi tidak bersama Bapak. Tidak sampai dua tahun kemudian Bapak pulang ke haribaanNya. Sungguh tatakan-sentuh ini tidak ada gunanya. Layarnya 'kan sudah sentuh, buat apa ditataki lagi. Sampai kapan ini 'kan terus begini, 'kuhentikan karena nyata harus tidur. 
Yang seperti telinga itu bukan telinga, melainkan insang, karena ia adalah semacam salamander, dan salamander adalah sebangsa amfibia. Setelah tertunda beberapa jam, akhirnya di sinilah aku. Sendiri memandang ke selatan, ke hujan yang menderas, ke anak-anak berpayung menembus hujan. Semoga mereka tetap kering, tidak kebasahan dan tidak kedinginan jadinya. Dari suaranya hujan terdengar mereda, namun di sini masih gelap, dan tak ingin aku menyalakan lampunya. Bisa jadi akuarium nanti. Maka biarlah aku di sini mengitiki sendiri, gelap begini, sendiri. Sungguh.  

Di sini aku bersama kesendirianku, dan yang penting keheningan namun tidak benar-benar sendiri. Dalam jangkauan masih ada cantik, anak kambingnya, dan orong-orong atau semacam tonggeret begitu. Terlebih, jangan menyepelekan kecepatan seekor ketonggeng. Kalau tidak, kau akan menemukannya sudah berada di kakimu. Ketika itu terjadi, maka, seperti biasa, pura-pura tetap tenang dan siram saja ia dengan segayung air. Ketika itulah kau menyadari temanmu selalu hanya Michael sedari kecilmu di tepi apron timur sana. Aduhai sirip tegak Vickers Viscount itu.

Haruskah aku memulai mewedar makalah-makalah sufistik di sini. Bukan karena aku seorang sufi atau resi, melainkan sekadar karena hobi. Aku tidak punya hobi lain. Memang aku suka berkuda di rawa-rawa, tanah pekuburan, jurang neraka, gurun pasir, atau istana raja-raja atau penyihir. Aku juga suka mengikuti lekat-lekat perkembangan peradaban suatu bangsa. Semua kesukaan itu mungkin memang dapat membuatku menjadi cenderung sufistik metapsikotelekinetik. Namun dari mana lagi aku mendengar mengenai ilmu gabus meletik jika tidak dari apron timur itu.

Ah, sampailah kembali pada permainan-permainan terlarang ini. Permainan macam apa yang sungguh riang gembira seperti ini, seakan di hari cerah namun sejuk belaka; dan malam harinya terasa syahdu agak sendu. Ini sih bahasanya Nugroho Febianto. Ia sering menggunakan kata syahdu pada situasi dan suasana yang sama sekali tidak istimewa. Namun memang seperti itulah kesyahduan, jika kau benar-benar mengetahui: seperti kaldu ayam padahal air mendidih diberi bubuk dan minyak mie instan merek apapun. Ah, perumpamaan-perumpamaan bak perlawanan.

Tinggi di angkasa, apanya, siapa. Perasaanku. Seperti mengapung-apung di awan-awan putih, berarak-arak di langit biru. Nyaris tidak ada yang kuingat waktu-waktu ketika sang surya perkasa memanggang aspal-aspal luas tempat pesawat-pesawat udara hilir-mudik. Berpacu sampai terangkat ke udara, atau mengerem sejadi-jadinya sampai berhenti sebelum landasan habis. Begitu saja setiap harinya dulu. Hari-hari yang ketika berlalu kurindukan setengah mati. Sampai kuabadikan kubuat goblok begini, sampai-sampai akunya goblok sendiri. Bukan seandainya.

Sejak hari-hari itu, tidak pernah aku kembali kepada rutinitas itu. Bahkan ketika aku punya peluang besar untuk muwujudkannya bagi diriku sendiri, bahkan mungkin istri dan anak-anakku, aku malah bermain-main dengan laut dan pelabuhan. Dengan oli bekas dan karat-karat. Lho, di kompleks baru pun bau oli bekas, namun suasananya berbeda. Jauh berbeda. Kini inilah hidupku. Gendut mengitiki. Rasa tidak ingin makan menyakiti. Sekadar berjalan kaki setiap hari gagal menekuni. Untunglah pertanyaan mengenai ini tidak banyak jumlahnya di MMPI. Awas-awas bisa diketahui.

Thursday, December 05, 2024

Sandyakala Ideolog Gogorigog Borokokok. Aku Kini


Biarlah 'ku kembali ke 1985 itu. Bagiku tidak banyak berbeda sebelum atau sesudah Uti seda, kecuali ketika aku sok gaul menjawab "nenek gua isdet" ketika ditanya seorang kawan mengapa tidak sekolah dan diadukan kepada Ibu oleh adikku. Mukaku mulai terasa tegang karena perutku kemasukan kopi putih luwak, tapi ini bukan 1985. Pada ketika itu jangankan kopi, teh pun belum kuminum. Jikapun ada, mungkin susu Milco produksi PT. Sari Husada. Ketika itu aku sudah bisa membuatnya sendiri, bahkan mungkin kucampur bubuk cokelat Van Houten sesekali. 
Namun tentu saja meninggalnya Uti membuat perbedaan besar bagi Akung dan Ibu. Aku boleh salah dan gagal, namun Akung dan Ibu tidak boleh. Ketika masih lebih muda, kata-kata ini meluncur dengan penuh kekuataan. Kini, hampir 40 tahun sejak 1985, entahlah. Hadi berkata bahwa kawannya berkata, nanti di usia 50-an akan muncul tenaga baru. Well, tukasku, katakan itu pada bapaknya Soni dan Fadhil. Di titik ini, seperti biasa, ingin kurentangkan kedua tangan tinggi-tinggi meraih angkasa, meminta pertolongan; bak perempuan lacur latah minta tolong.

Apakah ini kenangan mengenai cerpen-cerpen Kawanku, Ananda, Bobo, dan Tomtom, rasa tanpa daya ini. Apa sama Miftah Farid Hanggawan dengan Miftah Maulana Habiburrahman, sama-sama miftahnya. Biarlah cinta ini tidak pernah berakhir seperti ketika kali pertama kurasakan di lantai berubin kelabu atau berkarpet plastik biru muda. Begitu banyak cinta kurasakan dalam hidupku, tercurah perlahan mengaliri kalbu, seperti topi air yang sering kukenakan ketika kanak-kanak dahulu. Secangkir plastik merah kopi luwak putih sudah digantikan air agak panas.

Dapat kubayangkan ketika itu, aku masih SMP, begundal-begundal itu merundung Profesor Padmo. Nuwun sewu, saya membela Profesor! Meski terlambat, aku membela. Habis-habisan 'ku bela! Meski ketika cuti pertamaku di SMA Taruna Nusantara Prof. Padmo menuju alam keabadian, sekitar lima tahun kemudian kumulai pembelaanku kepadanya, sampai sekarang. Mengapa 'ku bela, aku tak tahu. Yang jelas, sekitar sepuluh tahun sebelumnya aku bertanya kepada Akung, Nazi itu apa. Akung mengira aku tertarik Perang Dunia Kedua. Aku tertarik Nazi.

Aku simpati pada nasional-sosialisme a la Hitler, tidak. Biasa saja, sebiasa pada komunisme apalagi demokrasi liberal. Pada Pancasila dan UUD 1945 aku bersumpah setia samber gledek jual es teh manis sampai goblok. Pada Nankai-sensei aku merasa akrab, karena aku priyayi jagoan hahaha. Ya, Har, 'Ian, aku priyayi jagoan, tidak seperti Gepeng Pusponegoro misalnya, atau Panji Sudoyo misalnya, semacam-semacam itulah. Kata Pak Try aku jagoan, meski Pak Try mengaku jelata ketika ditanya oleh Jenderal Jatikusumo. Bapakku juga priyayi, meski kecil. Priyayi desa, kata nenekku.

Itulah mungkin tepat hari ini delapan tahun lalu aku membuat soal, peran ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan nasional termasuk pelaksanaan (A) Kekaryaan, (B) Dwifungsi, (C) Sapta Marga, (D) Trilogi Pembangunan, (E) Cadek; sampai-sampai ibu Iva Altama turut menjawab. Benar-benar terlalu percaya diri. Mungkin benar juga insting Pak Harto menggembosi kekuatan politik ABRI di akhir 1980-an itu: Masa negara modern diselenggarakan dan diperintah oleh junta. Tak lama setelah itu, anak-anak tolol lulusan SMP berduyun-duyun daftar SMATN.

Kami, putra Nusantara, bersatu dalam tekad. Dengan jiwa kebangsaan, belajar dan berkarya 'tuk wujudkan cita-cita perjuangan bangsa kita. Mengabdikan darma bakti untuk Ibu Pertiwi. Bergerak ke medan ilmu, berkarya 'tuk budaya, bersetia bela Pancasila demi jaya Indonesia. Sampai hari ini, mungkin tinggal aku dan Takwa, entah ada lagi lainnya, yang gagal move on. Yang lain rata-rata sudah sibuk memberikan karya terbalik, aku masih begini-begini saja menyanyikan puji-pujian entah-entah bagi siapa. Salah-salah bisa terjebak penyembahan berhala aku ini.

Friday, November 29, 2024

Siang Ini, Rian Maunya Emaknya Gideon. Lain Tidak


Jika 'ku mengitiki lagi, di sini, tiada lain karena kesepian menggamit kesendirian. Keterkepungan adalah tempe mendoan. Kesemendoan adalah raja-raja: berjejaring, beradat penuh, atau separuh. Uah, apa sudah cukup senang hidupku. Apa sudah cukup kugelegak, kukeremus, apapun itu. Apa kukunyah-kunyah. Seperti biasa kuacungkan kemaluanku yang kuyu menantang lubang kakus. "Kau! Bila sampai ku' merayu, tak seorang 'kan mau waktuku". Apa lantas jika berambut ketiak lebat pasti raksasi. Bisa saja, ketika ibunda Gatotkaca pun seorang raksasi. "Kemari, 'Nak cantik".
Berkesenian, menggolong-golongkan kandungan Weda ke dalam empat kitab sampai digelari Weda, setelah itu beristirahat, sungguh bukan pekerjaan sepele. Namun di jaman ketika lembu moralitas tinggal berkaki satu, dapatkah kau membayangkannya. Lembu berkaki satu, jangankan berjalan, berdiri saja tak terbayangkan. Bahkan makan, yang kaupikir sudah dilakukan dari lahir saja, bahkan masih dalam kandungan ibu, bukan pekerjaan sepele. Apalagi Gus 'Im yang meninabobokan anak laki-laki tertuanya dengan aku seorang lelaki, entah jadi apa sekarang anaknya.

Banyak sebenarnya yang harus dan dapat dikerjakan, namun jika yang satu itu belum beres aku bahkan malas memikirkan apapun. Berhenti tepat di sini, untuk dilanjutkan beberapa jam kemudian karena suasana hati tidak kunjung berubah. Bahkan sudah berhari-hari. Aku tak hendak memaki, lebih baik mengenang, dan semua kenangan itu kembalinya ke situ lagi. Meski lagu-lagu ini justru berasal dari piala dunia sepak bola pertama yang kusadari dalam hidupku, ia baru benar-benar kembali baru-baru ini saja. Ibu kurasa tidak ingin mengenang kembali waktu-waktu itu.

Ingatanku adalah mengenai karpet babut berwarna hitam yang sangat berbulu. Duvetku waktu itu kurasa jelek sekali, aku lupa dari mana datangnya, bantalku demikian pula. Kepalaku selalu di bawah bak cuci piring, sedang kakiku di arah sesuatu yang tampak seperti semacam altar atau perapian. Di atasnya entah kutaruh lilin wangi atau pembakar wewangian. Di atas kepalaku, tepatnya di atas rak lemari dapur, ada lampu sok cerdik dengan peredup, yang bisa sangat diredupkan. Tidak sampai mati namun jadi sangat redup sekali. Di pojokan situ kutidur tiap malam.

Seperti waktu di Maastricht, di Amsterdam pun kubawa beberapa buku agama. Aku tidak ingat adakah yang kubaca ketika di Maastricht. Di Amsterdam aku ingat membaca beberapa, kurasa hanya dua judul. Itu pun jelas-jelas tidak sampai tamat. Terlebih salah satunya sekadar membaca lagi penjelasan Habib Quraish mengenai Asmaul Husna, yang sangat kusuka. Di titik ini ingin kuratapi dengan sepenuh hati lagunya Uthe, sedang badanku sudah berhari-hari rasanya seperti ini. Entah tak terhitung banyaknya hari ketika begini rasa badanku. Entah apa jadinya.

Ketergantunganku pada rata kanan-kiri sudah sedemikian parahnya, ia membatasi kreativitasku (halah!). Ada waktunya dulu bertujuh-lima tujuh kali jadi lima dua lima. Dulu ketika diketik dulu di MS Word, dipindah ke Notepad, baru ke editor blogger. Dulu, dulu, selalu saja dulu. Dulu sudah tiada, kelak entahlah. Dalam keadaan seperti ini, kenangan akan waktu-waktu yang telah lalu, yang berhasil kulampaui dengan selamat sehingga aku bisa sampai sekarang ini, terasa begitu tak berdayanya. Hanya Farid yang berminat bicara entah-entah sok sufistik, itu pun karena ia kusmasai.

Rian maunya emaknya Gideon, tidak mau Ruby Soemadipradja atau Maharani Djody. Baiklah. Sesungguhnya kukatakan kepadamu, 'Ian, yang kutertawakan itu kesakitan-kesakitan. Pernahkah kau mengelupasi keropeng-keropeng yang belum kering benar, yang masih pedih rasanya karena belum terbentuk kulit. Nah, seperti itulah. Luka-luka yang tak pernah kering, rasa sesal di dalam hati yang diam tak mau pergi. Haruskah aku lari dari kenyataan ini. Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi, namun senyum mereka tetap mengikuti. Kemana pun aku lari, terus saja 'ngikuti. 

Wednesday, November 20, 2024

Badai Biawak Menggigil, Terengah-engah. [Gila 'Lu]


Jika pun judulnya begitu itu, tidak berarti ini adalah suatu ceritera. Jika 'ku menganalisis kitikanku sendiri, itu karena tidak ada yang menganalisisnya. Jika 'ku mengitiki sambil memandang keluar jendela sementara di luar sana hujan menderas, jika pun badanku basah itu karena keringat. Itu karena habis makan bihun siram ayam yang cenderung asin, masih kutimpa dengan air hangat segelas lagi. Jika pun tidak rata kiri-kanan, itu karena kubablaskan saja enam. Percayakah engkau, karena kulanjut dengan atas-meja, maka ia menjadiku bertambah.
Sudah lama aku tidak bercerita seperti orang benar, terlebih mengenai keseharianku, terlebih mengenai apa-apa yang menimpaku. Apa yang dapat diketahui dari seseorang yang pura-pura gila, meski mungkin karena belum pernah diperiksa dengan seksama. Namun aku hampir saja berlarian telanjang, hanya berkaus dalam dan bercelana dalam kesempitan, namun kering. Hampir saja kulakukan itu di Alfamart Kedondong, Kemirimuka, Beji, Depok. Sungguh. Panjang, meski hanya di ujung-ujungnya saja. Meski hanya dua paragraf. Bertambah. Panjangnya.

Bisa saja aku lupa ini entri tentang biawak, gara-gara honda kocak. Bisa jadi honda kocak orang dengan gangguan jiwa yang harus terus meminum obat-obatan, psikotropika katanya, agar tetap cerdas. Bisa jadi aku, seperti halnya Soetan Bathoegana, diminta oleh kawan-kawan sebidang untuk menyerahkan surat keterangan sehat jiwa-raga. Untung aku tidak punya kawan-kawan, jangankan sebidang. Entah mengapa aku bertemu Mas Untung di samping sahabat lamanya, Mas Wirok, di PDRH. Mengapa tidak bisa: 'Ku kembali saja ke Jakarta 'kan terjadi; walaupun apa, 'Yang...'

Kebiasaan untuk menambahkan tanda-tandanya bunga asrama ingin bersemi sekali lagi, seakan-akan bermakna, atau tunawusana. Untuk apa kurung persegi itu, atau apostrof. Apa maknanya ia berada di situ. Mengapa dibuat sebaris sebaris seperti puisi kecerdasan itu, 'Cak. Mengapa lagi ada apostrof seakan ia mengganggu, seakan ia memang harus ada di situ. Keengganan untuk berbusana sepatutnya, selayaknya, apakah juga merupakan tanda-tandanya bunga asrama. Aku masih suka mandi. Aku tak tahan jika tak-mandi berlama-lama [kalimat ini ambigu].

Rabu pagi menjelang siang, seperti biasa, Awful sekolah. Cantik dan kambing berangkat ke kampus. Aku di rumah bersama biawak. Ketika ia mencoba masuk ke lemari baju, ketika kami sama-sama menggigil, terengah-engah, kubetot pada ekornya. Kulempar ia ke permukaan yang sedikit sekali memberinya traksi. Dalam keadaan seperti itu, biawak menganga lebar-lebar, mempertontonkan rahang mungilnya. Sungguh, seandainya saja kupaham bahasa biawak, ingin kukatakan padanya: 'Nak, biarkan aku menggendongmu, membawamu, meletakkan lembut-lembut'. 

Aha, akhirnya judul-judul tertuturkan sepatah demi sepatah, tinggal badainya. Badai, apa lagi yang harus dituturkan mengenainya di tengah krisis iklim ini. Zefanya bertanya, kapan mengembangkan mata kuliah hukum dan konservasi keanekaragaman hayati. Kukatakan padanya, itu 'kan untuk S2 sumber daya alam. Badai hanya terjadi di punggung bumi. Di perut bumi entah apa yang terjadi. Di perut Jane Doe entah ada apa saja: bunga beracun, lupa namanya, gigi yang dicabut, dibungkus kain kafan berajah. 'Nenek sihir dia, meski belum nenek-nenek', kata Sheldon.

Di titik ini aku teringat wanara, ke mana ia pergi. Sudah kutemukan dalam bentuk anak anjing agar mengibing. Mungkinkah ia menenangkan gejolak prahara yang mengaduk-aduk kesehatan jiwa. Tentu bukan ia, tapi aku tak ingin membicarakannya. Aku tak ingin berbagi apapun dengan apapun yang berada di punggung bumi. Apapun aku entah akan bersatu dengan isi perut bumi atau bagaimana aku tak tahu. Siapakah nanti yang diadili, aku atau aku, Dia yang mengadili. Selama masih berjasad gemuk begini, biar aku mengibing bersama anak anjing; jingkrak-jingkrak 'nyala berkobaran.

Sunday, November 17, 2024

"Waktu Sudah Hampir Habis," Hampirku Mengkami


Hampir saja aku serius, maka kembali saja aku ke... mana: ke Indoremat gara-gara cantik nonton yutub mengenai bagaimana menjaga agar kulit dan rambut tidak rusak gara-gara kebanyakan kena klorin. Serius itu mau bahagia seperti Ki Ageng Suryomentaram. Pangeran-pangeran Jogja ini sebenarnya serius tidak, sih, Ki Hajar Dewantara, Gratianus Prika. Maka kembali saja aku ke 21 tahun yang lalu, ke sebelah Zoon entah sedang apa, sedang aku melatih Sun Jihai agar menjadi bek sayap serang yang dahsyat. Mengapa dari era itu aku ingatnya dia dan Peter Løvenkrands. Jadi susah. 
Dengan Advan Sketsa 3 ini, semua tak sama, tak pernah sama. Apa yang rata kanan, apa yang berapa baris, semua tak sama. Ya, sudah 'lah mari lakukan lagi. Hahaha, hanya dihilangkan apostrofnya saja langsung cukup. Meski kita semua tahu, apalah artinya cukup, apatah artinya kurang. Mengitiki memang selalu begini saja rasanya. Awal-awal terasa masakan tiap hari ada entrinya. Setelah bergubal dalam suasana hati sehari-hari, bersekebat bersekebit ke sana ke mari, tiba-tiba sudah lewat setengah bulan. Maka di Minggu berkabut berjelaga ini, di sini kembaliku.

Jelas tidak sama dengan entri-entri dari sepuluh tahunan lalu. Kini waktu menjadi sesuatu yang... uah, rasa-rasanya aku ingin berhenti lagi di sini. Rasa-rasanya seperti ingin menengok map hukum adat pindaian, demi mengingat bahwasanya hubungan antara individu dan masyarakat dalam hukum adat ada di bawah situ. Apa ada gunanya entah apa udara itu kata Boyan Hidayat, jelasnya kini ada yang bermimpi bervakansi ke pulau tropis. Ayo jangan berhenti, apapun itu, meski sebersit rasa bahagia karena mendengar suara anak perempuan sendiri; tetap terus'ku menulisi.

Aku bahkan tidak ingin bicara mengenai dunia, ada berapa pun ia, meski'ku merasa memiliki satu teori mengenai hukum yang refleksif, yang tentu saja relasional, yakni, relasi antara ingatan, hasrat, dan tindakan sebagai habitus dan keadaan nyaman-damai ataupun tidak pada persekitaran sosialnya sebagai arena. Habis ngomyang begini aku merasa agak baikan, maka kupenuhi lagi cangkir dengan air hampir mendidih. Semoga anak-anak perempuanku yang jauh-jauh di sana selalu berada dalam lindunganNya lahir batin; begitulah munajat cinta seorang bapak.

Tadinya aku ingin berteori mengenai doxa, episteme, dan aletheia di sini, tapi terlalu gaya-gaya'an macam betol; mana esok hari lebih baik adalah upaya artis-artis Cina Kanton untuk menyumbang bagi kelaparan Afrika seperti yang dilakukan Bob Geldof. Aku menyesal mencari tahu mengenai apa jadinya Tevin sedang kenanganku mengenai esok hari akan menjadi kamu lebih baik, aku lebih baik. Sekali lagi aku tak hendak bicara mengenai dunia yang manapun. Dunia cinta, dunia tua, dunia muda, ketika Bang Mansur bicara tentang dunia yang sudah tua. Samber gledek.

Apa harus kutulis di sini suatu ketika kunyuk-kunyuk dari jakarta empat dan gama dua itu datang ke Yado menghancurkan diorama yang susah-payah kami buat dengan senjata-senjata kami sendiri. Senjata-senjata adikku tepatnya, yang jika dibawa ke 30-an tahun ke depan terasa amat memilukannya. Aku sedang tidak kuat pilu dalam bentuk apapun, seperti halnya, sebenarnya aku tidak kuat makan apapun. Ini semua dipicu oleh malam ini laki-laki muda beranting-anting yang digilai anak-anak perempuan sebaya kami di kala itu. La la la 2x malam ini (sampai pudar).

Siakle ditunggu lama-lama ya pasti jadinya begitu-begitu saja. Aku sekadar membatin, akankah campuran ZTE yang dulu pernah bernama sucktwilite campur i-profile jadi suckprofile akan tetap sedap sampai kapan. Tidak. Ketika itu kuharap 'ku bertemu sedap-sedapnya Maha Sedap. Baca al-Kahfi dong makanya, setidaknya tiap Jumat. Bagaimana mau membacanya kalau masih terus-terusan mesum lahir batin. Ahahaha sudah hampir selesai ini setelah 10 harian lebih. Apa habis ini ada tenaga dalam untuk menyelesaikan yang diminta Harriet, jari-jemariku bersilang.

Wednesday, November 13, 2024

Cinta Bukan Gawai Bukan Mainan. Bukan Buatan


Apa-apa'an ini mendekati tengah malam malah mendesah-desah ditingkahi nina bobo Spanyol di kubikel Dedi Sudedi di LKHT bekas M-Web, dari 20-an tahun lalu. Pantas saja kencingku berbusa, sudah 20 tahun berlalu dari ketika Dedi kupaksa memilih di antara susu coklat atau susu merah jambu. Menyeringai ia. Itulah waktu-waktu bahkan John Gonnadie hasn't died yet. Kugenggam alat vital, kuangkat tubuhku sendiri, kuserukan: "Ini kemaluan kecil begini!" Maka dipanahlah tepat pada kepalanya. Kepalanya yang bego ini.
Asatron tidak pernah berdentam membahana begini. Lalu dengan apa aku menikmati dara puspita di kamar kedua dari barat deretan selatan di kost Babe Tafran [lalu Annisa itu siapa], berkelesetan di ubin kuning berdebu namun sejuk belaka. Di luar udara panas, badanku juga lelah berpeluh, namun hanya kesejukan yang kuingat. Sebagaimana halnya ubin kelabu bekas kamar praktek dokter Hardi Leman atau entah di mana. Belum sampai di situ. Ubin juga, mungkin putih tua, atau kuning merah. Ubin-ubin sejuk itu...

Tugas mengitiki tidak satu, tidak dua, tidak tiga, tidak empat, tetapi lima paragraf terasa beratnya di pagi hari ketika matahari sudah di seperempat perjalanannya. Di AAL dulu, pada waktu ini hari sudah terasa panjangnya. Mungkin sama dengan perasaan Bagus Suryahutama ketika siksaan peloncoan tiba-tiba berhenti dan kami cengar-cengir '96 digiring keluar audit untuk makan roti dan minum teh manis hangat a la kadarnya. Bagus kesal kala itu. Jahat betul ini para senior, batinnya, masa makan siang hanya begini. Betapa lemasnya Bagus ketika menyadari ini masih jam 10, belum waktu makan siang.

Itu ketika kami masih tolol. Sebenarnya masalahnya bukan di tololnya. Kami, setidaknya aku, masih sama tololnya sekarang. Bedanya, dulu itu kami masih muda. Sekarang kami sudah tua, sudah hampir 30 tahun lalu. Apakah terlalu banyak kepala gula kuminum pagi ini, setelah satu saset tropikana langsing masih ditambah satu saset lagi teh ala-ala susu prenjak yang jelas-jelas berpemanis kepala gula. Begitu saja aku dilontarkan, pertama ke New York, lalu Rio de Janeiro, lalu ke Tokyo sekali, di pagi nan amat permai.

Tinggal menunggu waktunya Rian, Hari, Togar, Sandoro, Farid, Ega meninggalkanku. Ega saja sudah lama sekadar bersepatah-dua di perimbas. Farid dan Sandoro sibuk di luar, keluar di dalam. Hari dan Togar karena sekantor, Rian karena sedang doktor. Pada waktunya nanti, 'ku mau tak seorang pun 'kan peduli. Aku ini binatang lajang, dari kumpulannya telanjang. Orang kebanyakan tidak tahan pada kegilaan. Aku pun. Seperti kambing yang ingin membasmi semua homoseksual dari muka bumi, kecewa ia pertama.

Entah bagaimana dulu 'ku merasa teh susu prenjak ini biasa-biasa saja. Jelas tidak istimewa rasanya, apalagi dibanding teh ma xxx. Satu-satunya keistimewaannya adalah harganya murah. Rasanya sekadar tertahankan. Namun mengapa pagi ini aku akhirnya sepakat dengan cantik, rasanya tidak enak. Apa karena aku sudah kebanyakan kepala gula pagi ini. Belum lama rasanya kurasakan saset-sasetan ini untuk kali pertama, tentu saja Indocafe campuran kopi, padahal itu sudah 30-an tahun yang lalu, t'lah lama sekali.

Ketika entri ini ditayangkan, tentu 'kan muncul perasaan masygul. Tidak teratur, tidak tertib, sesuai dengan aturanku, ketertibanku. Sungguh aku tidak suka mengatur menertibkan siapapun, bahkan diriku sendiri. Akan halnya entri harus teratur, harus tertib, itu sekadar mengurangi kesakitanku sendiri. Mengapa harus sakit 'ku tak tahu. Apa aku lupa caranya bahagia, apa aku harus belajar pada Ki Ageng Suryomentaram. Apa harus kuunggah pengetahuan jiwa bahagia satu dan dua di situs web bakti institut hukum adat. 

Wednesday, November 06, 2024

Nostalgia Gaya Bercinta Dulu, Mohon Kentutanmu


Ketak-acuhan bahkan bisa membosankan, bahkan berhati-hati dengan penggunaan kata dan ejaan. Tidak benar-benar bosan, tetapi perasaan berada di pangkal gang buntu, yang berarti kebuntuan itu sendiri. Jelasnya, aku tidak baru saja memulai. Jelasnya, entah apa yang kumulai dulu, di mana aku kini, ke mana 'ku menuju. Ketika perumpamaan hebat bahkan lunglai tak berdaya di hadapan gadis-gadis muda awal duapuluhan. Ketika kecerdasan buatan pun sampai pada simpulan yang sama. Semua kalimat-kalimat tak-selesai, tak-sempurna, rata kiri-kanan.
Masih sekitar sepertiga jebung lagi teh jawa. Rasa tehnya jadi ala kadarnya, apalagi gulanya, karena yang penting airnya, setengah liter lebih kurasa. Entri-entri begini semakin lama semakin tidak berdaya. Membuatnya pun terasa seperti memaksakan diri. Apakah dulu gunting-gunting begitu juga, ada waktu-waktunya mengalir begitu saja, ada waktu-waktunya dipaksakan tidak jadi apa-apa. Sepuitis kulit ari-ari, Ari Setiawan sudah mati, kapten laut teknik itu. Apa yang membuatnya teknik, apa yang membuatku pelaut, psikologi katanya, entah'lah tepatnya.

Hahaha para kecerdas-bukan-buatan ini pasti merasa aku sungguh tidak lucu, meminta mereka memahamiku dari kitikan-kitikan tunamakna ini. Padahal kurang dari setengah jam lagi aku harus mendengarkan bocah mengoceh entah-entah mengenai UUD 1945, aku malah di sini mengitiki ditemani secangkir sedang teh susu prenjak berkepala gula sungguh besarnya. Kata-kata ini diberondongkan, jika tidak dihentikan, diberi tanda baca, menghambur berhembalangan. Tanda-tanda baca, seperti tanda-tanda zaman, seperti tanda-tanda badan sendiri, menyedihkan hati. 

Berjam-jam sudah berlalu sejak 'ngoceh-'ngoceh membocah mengenai amandemen pertama sampai keempat. Aku tidak mau bertekad-tekad sebagaimana tak hendak'ku bernekad-nekad. Aku, lelaki paruh baya yang buruk kesehatan dan kesegaran jasmaninya. Itu takkan terjadi lagi [dalam bahasa Italia], dimainkan dengan riang tidak oleh kapital ventura, tetapi oleh antonius ventura. Ya, begitu saja sebelum Mama Leone, yang pernah kunyanyikan dengan nada 'ku belum cukup umur [juga dalam bahasa Italia]. Kau yang membaca ini mungkin 'kan menyangka'ku gaya-gaya'an.

Kini kuseruput lagi teh susu prenjak berkepala besar gulanya dengan air banyak-banyak, yang bahkan kutambahkan lagi air hangat cenderung panas sebanyak itu. Ahaha, dari etiketnya langsung tampak bahwa ini untuk Lucia. Nyaman. Adakah ini semua di kaset ibu yang sampulnya jauh lebih sopan dari aslinya. Etiket ini pun tidak berani kuklik, entah bagaimana jika harus menggantinya nanti. Nah, akhirnya sampai juga'ku belum cukup umur bagi Lucia. Perlu kutekankan di sini aku cuma begitu-begitu saja bermusik. Mungkin cukup berbakat, tapi ya hanya begitu saja.

Kesedapan ini, yang tidak lagi diproduksi karena pasarnya hilang, takkan hilang begitu saja dari hati sanubariku. Namun itu dari tadi malam. Kini seharian bermendung dan badanku, kurasa, sedang menyesuaikan dengan perubahan cuaca ini. Jika ingat seminggu kemarin panasnya Illahi Rabbi, sekarang sudah tidak panas lagi. Secangkir cokelat belgia panas kuseruputi meski tanda bahaya sudah berbunyi. Aku benar-benar lupa bagaimana rasa chocomel gelap, dan tidak ada kerugiannya pula pada itu. Sedikit pun aku tidak keberatan bahkan meski tanpa seruputan. Aku siap. Insya Allah.

Tepat di sini sinar matahari menyuak tabir awan yang telah menghalangi hampir sepanjang pagi. Tidak bisa lain, rata kanan-kiri memang memberi kenyamanan, seperti ladang yang berkeliling, delapan petak jumlahnya, di seputar lumbung berkincir angin untuk menggiling bebijian menjadi tepung. Seperti rumah-rumah para samurai yang berbaris rapi dalam benteng Kiyoshu. Aku memang tidak lagi mengelola benteng, kota, propinsi, bahkan peradaban sekali. Entah akankah kulakukan lagi, entah kapan, tapi ratanya kanan kiri, untuk sementara ini, 'njadi kenyamananku.

Monday, October 28, 2024

Sianjritos, Sikampretos, Sikunyuk Berbulu Kuduk


Kalau mengitiki, apakah itu ketiak sendiri apalagi sampai ketiak orang lain, mau tidak mau harus ditemani rubah pemberian Tuhan. Kalau sampai nirwana apalagi penyakit sapi, itu hanya cocok untuk pekerjaan-pekerjaan menjengkelkan seperti mencocokkan sitasi dengan referensi atau membuat kuis di emas dua. Ini sepertinya dari anak petani banyak rendah. Hahaha kalau aku membaca ini kelak aku pasti lupa apa maksudnya. Biar saja. Itulah seni mengitiki: Mengabadikan kebatan dan kebitan sesaat yang entah-entah apa. Ditambahi cuma agar mentok kanan.
Oktober mengapa jadi banyak entri begini. Apa lupa kau Oktober di Amsterdam, 2018 dan 2020 itu, Kees Broekman dan Kraanspoor. Uah, suasananya jauh berbeda. Di sini keempat toa menyeru berbarengan ke segala penjuru. Sudah ashar dan suhu terasa seperti 41 derajat selsius.  Maka aku melompat ke depan lebih dari 50 jam, kembali ke sejuknya setentang masjid persaudaraan Islam, membayangkan waktu itu sambil berkata ya, ya. Entah mengapa pagi ini aku ditemani seekor burung dara puspita. Waktu itu aku belum mengenal sakitnya dunia, tak hendak juga.

Maka di mana pun mungkin akan begini aturannya, duhai, burung walet silayang-layang. Tidak ada yang mengenakan cincinku karena memang tidak ada yang pernah kuberi. Semua kemampusan adalah semacam ketokaian bagiku, seperti bagi Sugiharto Nasrun Sijakru. Uah, akhirnya sampai juga telo lelolet gembrot gembrot kampret, yang seperti ini malah tidak dikursif. Seperti merekahnya perut dikasih makan Sopuyan nasi bungkus kantin Mares tempat Rian pinjam pisau pemutilasi, seperti itu ia mengempis kembali. Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut lapar lagi.

Pengkhianatan! Mengapa justru di situ aku berusaha menghafalkan sebisa-bisanya, sebunyi-bunyinya, di akhir 1998 itu atau masih di pertengahannya. Ditingkahi nasi padang bunga cempaka bertauge-tauge ria, berempeyek udang bersimbah siram kuah bawahnya, beres doger aduhai manis-manisnya. Betapa banyak waktu kusia-siakan bahkan mungkin saat ini pun kuterus-teruskan. Cintailah aku sebanyak-banyaknya. Tak perlu kuminta, cantik melakukannya setiap hari setiap saat. Ia betul mencintaiku meski seperti anjritos, kampretos, atau moshet.

Sempat berhenti gara-gara berlatih menggambar berontosawur dengan alat ini, untuk menyadari bahwa kaki-kakinya hanya segaris segaris. Aku terus mengitiki tidak peduli dunia ini sedang anak-anak muda dengan kerikil-kerikil saling melempari. Kesenduan ini mengingatkanku pada ibuku sayang dan semua yang ia sayangi. Memang inilah asal-muasal dari semua ini, perasaan-perasaan ini; dari suatu ashar bermendung di apron timur lapangan udara Kemayoran. Bagaimana hendak kukelabui jika rimbun menghijau aku tak peduli, di titik ini pun kuterusi: Menyang kali.  

Meskipun tadi sesaset teh maksimum dengan tiga "x" sudah ditenggaki, masih terasa ingin cafe latte dari teras sekolah tinggi hukum. Dunia ini, hidup ini, bukanlah misteri. Sekadar menahankan keinginan mengganti antigores yang antisilau. Namun begitu mengetik "antisilau" ini keinginan justru menguat. Apa betul segera kupergi saja sekalian pulang. Tiada apa-apa bagiku di sini kecuali halaman luas berkeramik terakota. Tiada jalan keluar bagiku dari sana, entah bagaimana sampai aku tersesat ke sana. Aku bahkan menahan diri 'tuk tidak beli paket data. Dua juta tak ke mana.

Orang macam apa yang tidak pakai berpikir dua kali hanya sekadar untuk membeli antigores yang antisilau. Gelombang-gelombang liar ini sedap-sedapnya melangutkan, membawaku entah ke mana-mana di dekat ndalemnya Akung-Uti, Bapak-Ibu. Ya Allah, jangan sakiti aku ketika sampai ajalku, pada sakaratul mautku. Biarkanlah seperti ini, melodi-melodi lembut ini. Harus kupaksakan selesainya kini, karena tiada lain cara menikmati kecuali diterjemahi. Membawaku kembali ke perempatan antara Santa, Wijaya, dan Mampang. Di sini saja kuakhiri, entri ini. Rapih.

Monday, October 21, 2024

Ini Semua Tahi Cintaku Terbuang Setelah Semua Ini


Memang di HP-11CB itu alat-alatnya lebih lengkap dari Advan Sketsa 3, namun lebih berat dan tidak bisa dibuat menggambar. Setidaknya dua ini kelebihan Kangguru. Uah, itu ternyata sebutanmu. Bagaimana dengan mereka yang tidak dapat sepertiku menikmati desauan ombak ditingkahi irama baru. Makanku berantakan lagi apalagi olahraga; seperti biasa, dari satu kalimat ke kalimat berikutnya tidak menunjukkan hubungan apapun. Apakah harus kubeli semacam stiker kangguru yang lucu begitu, tempel di sampul. Betul 'kan seperti sudah kuduga. Ukurannya beda sendiri, Advan.
Benar saja, habis mengajar entah-entah malah menelusur stiker kangguru. Tidak lah. Level kegabutanku belum sampai pada membeli Z'gok apalagi Acguy yang dibaca saja sulit. Akan halnya mengitiki di setentang masjid persaudaran Islam memang dapat terjadi kapanpun, meski nyaris mustahil dilakukan pada suatu Sabtu. Semata karena aku terlalu malas meminjam kunci Pak Tarno. Aku sudah terlalu terbiasa meminjam kunci Pak Mono, lalu Fajar. Dulu bahkan aku tak perlu meminjam kunci. Aku punya kuncinya. Gilanya, kutambahi begitu saja tiap-tiap akhir paragraf.

Rasanya seperti terkena sihir meski aku belum pernah kena sihir, dan tidak ada rencana sampai kena sihir dalam waktu dekat ini maupun sejauh-jauhnya. Di kejauhan sana kulihat seorang ibu dan anak perempuan satu-satunya sedang berbincang-bincang sambil menyeruput entah minuman-minuman apa di teras sekolah tinggi hukum itu. Pada titik ini aku diinterupsi oleh Sopuyan Bosque. Ia sekadar memastikan aku berfungsi. Bulan biru bersinar terang di ufuk kesadaranku, meski hatiku, seperti biasa, berselaput mendung. Lebih edan, tetap kutinjau pratinjau.

Kopi putih cap luwak kurang gula sudah dingin gara-gara kutinggal berbual-bual dengan Sopuyan, namun tak mengurangi kenikmatannya; seperti nikmatnya mengitiki kangguru di suatu siang bermendung, di setentang mesjid persaudaraan Islam. Bagaimanapun jadi kepikiran, ukuran apa yang harus kugunakan bersama kangguru ini. Adakah 'ku harus kembali ke aturan tujuh lima tujuh lima jadi lima dua lima. Dengan apa harus kuperiksa saban-saban jumlah katanya. Atau mungkinkah ini waktunya membabat membabi-buta tanpa meninjau pratinjau. Sekarang?

Perilaku mendengarkan? Mengapa sudah dua kali ini muncul tanda tanya. Sudah cukup, tidak akan kutambah lagi. Lantas bagaimana menghentikannya jika tidak ada patokan sementara yang ada selalu sekadar asal goblek asal ngomyang. Apa harus kukatakan betapa tidak pernah lepas. Ah, akhirnya keluar sedikit dari perilaku mendengarkan. Katakan padaku, bagaimana caranya aku hidup tanpamu. Haruskah kuterima hidup selalu bersamamu, ketololan. Akhirnya menyerah juga. Harus teratur meski keteraturan itu berarti tiap-tiap kali harus meninjau. 

Aku merindukanmu seperti gila, suatu siang di ruang praktek dokter Hardi Leman. Musim kemarau, dapat kubayangkan apa ketika itu isi benakku. Lebih baik kucoba mengingat, apakah Patas 24 atau losbak. Kepahlawanan yang selalu hanya pura-puranya. Apa betul menjadi jenderal bintang dua pasukan khusus suatu kepahlawanan, atau cukup mengingat suatu artikel di Forum Keadilan berjudul fenomena pahalawan-dosawan. Pada ketika itu saja sudah begitu, apalagi sekarang, dosawan-begajulan. Dunia 'mayan. Ternyata masih harus diteruskan sampai sebaris lagi, biar genap delapan.

Apakah musim semi atau September, apakah harus mengulanginya kembali atau dalam keadaan yang jauh lebih baik. Sudah cukup lamakah 'ku hidup. Belum. Aku hanya harus menyanyikan air mataku habis-habisan, tumpah-ruah. Derai tawa yang menyakitkan hati yang benar-benar sakit-sakit, untukmu, untuk diingat-ingat. Aku begini saja, berjuang apanya yang diperjuangkan, apa iya berjuang. Aku tidak bisa ke mana-mana atau memang ada dijanjikan entah di mana. Atau 'ku harus mencari, masih. Meneruskan: seandainya kau bayiku, Mas Manto-mu. Kesakitanku.

Sunday, October 13, 2024

Termulus dari yang Mulus: Dari Lebak Bulus


Kesepianku kemasygulan. Kekecewaanku kemajuan. Aku seperti berpuisi tapi menulis prosa, berdeklamasi tapi berpidato. Aku dilawan, dihina, disepelekan. Kudengarkan musik dari tabungmu premium, sudah tidak ada. Adanya pertalite dan pertamax, bahkan di Belitung Timur sekalipun. Kesepianku adakah kutemui jaringan internet di sana, atau sama saja. Bahkan dengan mesin ketik pun tidak menjadi apa. Kertas dari mana, pita dari mana, untuk apa. Ketrampilanku tidak berguna, dan ini membuatku stres cari uang.
Bicara mengenai Lebak Bulus, aku jadi teringat jembatan penyeberangan orang yang menghubungkan antara Poin Square dengan tanah kosong. Di bagian tanah kosongnya itu, yang gelap jika malam, dahulu sekira awal 2000-an, suka ada beberapa transpuan menawarkan jasanya. Bahkan pada saat itu ada yang menawarkan Rp 10.000 saja untuk menghisap penis. Astaga, aku baru sadar; jumlah itu, pada saat itu, untuk membeli dua bungkus Djarum Super saja tak dapat. Apa kabar transpuan-transpuan itu, masih hidupkah.

Tepat di sini aku menggilai dan mengelu-elukan lagi. Apa tepat jez halus mulus menemani jelang tengah malamku kini. Apa tepat secangkir Torabika Cappuccino daluwarsa bulan ini menemani di samping kanan tabletku nan baru Advan Sketsa 3 boleh diberi Togar dan Farid. Apa tepat kubiarkan mereka memberiku agar berpahala untuk mereka. Kepalaku penuh bertanya-tanya. "Apa kurindukan HP Stream 8 dari waktu-waktu di kubikel UNHCR sampai perpustakaan HAN lama, bahkan flexkammer dan Uilenstede?" tanyaku berkepala.

Dalam kenanganku, kuhisap dalam-dalam asap kretek Sampoerna King Size merah. Sedap-sedapnya, pahit-getirnya bir hitam, sungguh aku tidak berkeberatan. Dapatkah kudapatkan lagi kebugaranku sehingga aku dapat melesat berlari ke dalam kelamnya malam, di antara ngarai-ngarainya dalam tak berdasar tak berkesudahan. Ini memang Torabika bukan Indocafe. Seekor kecoa berkeresek-keresek di dalam lemari penuh berpakaian-pakaian. Apakah sama caplak dan kutu anjing. Apa lebih sedap kejora dari kecubung tiada henti.

Mendekati tengah malam begini kurasakan kembali sedap-sedapnya kebangsaan Indonesia di akhir Abad ke-20, belum sampai Y2K, bahkan Pak Harto masih sehat segar-bugar bersama Bu Tien di hari-hari terakhirnya. Adakah Bu Tien mengenakan daster bila di rumah saja, adakah Pak Harto berkaus oblong bersarung. Kuredupkan sangat layar tabletku karena terangnya di gelap malam menyakiti mata. Teringatku pada lampu teplok di rumah petakan atau pavilyun itu. Tentu tidak dengan komputer atas-meja, tentu saja buku tulisku.

Kesedapanku kegelapannya. Remangku menggeremangnya. Bulu kudukmu bulu-bulu sekujur tubuhmu. Semua itu tidak terlalu penting terlebih bidang yang berhias mata, hidung, dan mulut. Semua ini hanya harus kusyukuri dan kuambil hikmahnya saja. Ingatkah kau pada suatu malam Ramadan di setentang Mal Depok, di depan Hero Supermarket, menjelang sahur. Apa benar yang kau lakukan di situ. Semuanya sekadar ketololan dan kemunafikan yang kurasa esoknya pun tidak puasa. Kuteruskan karena belum sampai.

Advan Sketsa 3, akankah kau menjadi teman baikku, menemaniku ketika aku terpuruk merasa tidak berguna. Seperti malam-malam ketika kurasakan jantungku berdentam-dentam bagai hantaman palu godam pada kemaluanku. Sampai subuh, kata Kim Waters. Edan! Setelah ini aku tak tahu apakah akan kembali ke depan tivi seperti malam-malam di Uilenstede, menololi diri sendiri dengan teori ledakan besar. Daftar-main ini memang harus diakui sedap bukan buatan, yang termulus dari yang mulus, dicukurmu plontos!

Friday, October 11, 2024

Indung Kepala, Lindung Telur. Saluran Telur


Masa bisanya cuma menulis entri, lalu apa gunanya. Apa akan kutulis dalam bahasa Inggris semuanya agar tidak ada garis merah berkriwil-kriwil di bawahnya macam mie keriting. Segalaku memberikan padamu hatiku, seperti biasa, aklimatisasi dulu 'pala lu peyang. Jika orang melihatku, bapak-bapak gendut botak berkaus oblong bertuliskan "London" yang asli dari London, bercelana komprang biru dongker merek al-Ihsan, mengetik-ngetik menggunakan Advan Sketsa 3 gres boleh dibelikan Togar dan Farid, tentulah mereka akan menyangka aku miskin masai bukan buatan.
Tadi sudah sempat kucicip ah kusesap teh lemonnya, padahal yang kupesan adalah teh hijau. Tiada niatku meminta tukar. Aku kembali hanya untuk menambahkan es batu padanya, agar mencair dan menjadi kurang manis. Namun memang ada kubilang pada anak itu tadi, yang kupesan teh hijau. Maka diambilkanlah segelas baru teh hijau, diberinya es batu banyak-banyak. Begitulah maka di hadapanku kini ada segelas kertas teh hijau dingin seharga 50 sen Euro; yang aslinya kuminta dalam gelas plastik, dapat gelas kertas.

Segelas kertas teh hijau dingin yang tadinya diniatkan sekadar sebagai pajangan ternyata sudah habis setengah. Di titik in tiba-tibaku merindukan istriku cantik, istriku sayang. Jika kuulang demikian tidak berarti istriku ada dua. Istriku tentu satu, karena aku tahu monogami itu bukan sejenis kayu dan mahagoni adalah nama klaster perumahan yang ada kolam renangnya di graha bintaro sana. Pantas. Memang Masih jauh. Apa yang bertengger di atas leher tidak banyak gunanya. Lebih penting yang bergelantungan di bawahnya.

Tidak bisa ditukar-tukar urutannya. Diurutkan begini tentu ada alasannya, dan ketika sesuai dengan urutan memang terasa sedap-sedapnya. Kurasa sama dengan kibor HP Stream 8 dulu, aku tidak bisa gaya-gaya'an sok mengetik rampak dengan sampul kibor Advan Sketsa 3 ini. Nanti ada 'lah ia melompat-lompat. Uah, kepalaku sakit secara figuratif gara-gara desakan-desakan ketololan, maka baiknya kulepas saja arloji Casio bertali kulit pemberian istriku sayang ini. Sebentar lagi harus wudhu, kusimpan kembali di kantong depan tas. 

Jika kukata aku ingin jadi seperti Syahmardan, itu jauh lebih baik dari apapun yang berkebat-kebit di benakku. Meski itu basuhan air hampir mendidih pada cangkir bekas coklat panasku, meski tidak seperti Chocomel; karena aku lupa seperti apa rasanya, dan aku tidak ingin ingat. Aku, yang jelas, tidak seperti Syahmardan, apalagi Seno Gumira, apalagi Umar Kayam. Apa aku seperti seniorku Denny Januar Ali, lebih baik aku jadi Jimny Quasi Assiliqiddhieq. Berkeringat-keringat begini, jangan sampai tak habis lagi air hangat.

Aduh, harmonika begini, jaman segitu, pasti asli. Apakah di apron barat, apakah seorang pramugari kulit putih berjalan seorang diri menuju terminal hanya untuk hilang di kegelapan. Legenda perkotaan begini, sedang sekitar rumahku saja dulu masih banyak pohon kelapa. Masih kampung begitu, mengapa ambil pusing di mana kata diakhiri, di mana diberi bertitik. Mengetik di tablet begini, seperti antara 2016 sampai awal 2020, sampai pertengahannya. Apa 'ku mengetik terlalu rampak. Rawa-rawa bau oli, melodi sedih 'gini.

Mana berani kudengarkan ketika di Kraanspoor, meski tadi tiada sengaja bertemu Japri. Di Uilenstede masih berani bila ada Hadi. Kalau ia sedang bermalam entah di mana juga tidak berani. Malam-malam panjang begini, atau ketika sudah begitu pendek. Astaga tiada hendak berhenti juga melodi-melodi sedih ini. Untunglah tak jauh dari sini ada Cantik dan keponakannya. Untunglah aku di rumah sendiri. Untunglah aku tidak sedang di hotel termewah di dunia meski ditemani bidadari. Aku mau selalu bersama Cantik istriku.