Memang di HP-11CB itu alat-alatnya lebih lengkap dari Advan Sketsa 3, namun lebih berat dan tidak bisa dibuat menggambar. Setidaknya dua ini kelebihan Kangguru. Uah, itu ternyata sebutanmu. Bagaimana dengan mereka yang tidak dapat sepertiku menikmati desauan ombak ditingkahi irama baru. Makanku berantakan lagi apalagi olahraga; seperti biasa, dari satu kalimat ke kalimat berikutnya tidak menunjukkan hubungan apapun. Apakah harus kubeli semacam stiker kangguru yang lucu begitu, tempel di sampul. Betul 'kan seperti sudah kuduga. Ukurannya beda sendiri, Advan.
Benar saja, habis mengajar entah-entah malah menelusur stiker kangguru. Tidak lah. Level kegabutanku belum sampai pada membeli Z'gok apalagi Acguy yang dibaca saja sulit. Akan halnya mengitiki di setentang masjid persaudaran Islam memang dapat terjadi kapanpun, meski nyaris mustahil dilakukan pada suatu Sabtu. Semata karena aku terlalu malas meminjam kunci Pak Tarno. Aku sudah terlalu terbiasa meminjam kunci Pak Mono, lalu Fajar. Dulu bahkan aku tak perlu meminjam kunci. Aku punya kuncinya. Gilanya, kutambahi begitu saja tiap-tiap akhir paragraf.
Rasanya seperti terkena sihir meski aku belum pernah kena sihir, dan tidak ada rencana sampai kena sihir dalam waktu dekat ini maupun sejauh-jauhnya. Di kejauhan sana kulihat seorang ibu dan anak perempuan satu-satunya sedang berbincang-bincang sambil menyeruput entah minuman-minuman apa di teras sekolah tinggi hukum itu. Pada titik ini aku diinterupsi oleh Sopuyan Bosque. Ia sekadar memastikan aku berfungsi. Bulan biru bersinar terang di ufuk kesadaranku, meski hatiku, seperti biasa, berselaput mendung. Lebih edan, tetap kutinjau pratinjau.
Kopi putih cap luwak kurang gula sudah dingin gara-gara kutinggal berbual-bual dengan Sopuyan, namun tak mengurangi kenikmatannya; seperti nikmatnya mengitiki kangguru di suatu siang bermendung, di setentang mesjid persaudaraan Islam. Bagaimanapun jadi kepikiran, ukuran apa yang harus kugunakan bersama kangguru ini. Adakah 'ku harus kembali ke aturan tujuh lima tujuh lima jadi lima dua lima. Dengan apa harus kuperiksa saban-saban jumlah katanya. Atau mungkinkah ini waktunya membabat membabi-buta tanpa meninjau pratinjau. Sekarang?
Perilaku mendengarkan? Mengapa sudah dua kali ini muncul tanda tanya. Sudah cukup, tidak akan kutambah lagi. Lantas bagaimana menghentikannya jika tidak ada patokan sementara yang ada selalu sekadar asal goblek asal ngomyang. Apa harus kukatakan betapa tidak pernah lepas. Ah, akhirnya keluar sedikit dari perilaku mendengarkan. Katakan padaku, bagaimana caranya aku hidup tanpamu. Haruskah kuterima hidup selalu bersamamu, ketololan. Akhirnya menyerah juga. Harus teratur meski keteraturan itu berarti tiap-tiap kali harus meninjau.
Aku merindukanmu seperti gila, suatu siang di ruang praktek dokter Hardi Leman. Musim kemarau, dapat kubayangkan apa ketika itu isi benakku. Lebih baik kucoba mengingat, apakah Patas 24 atau losbak. Kepahlawanan yang selalu hanya pura-puranya. Apa betul menjadi jenderal bintang dua pasukan khusus suatu kepahlawanan, atau cukup mengingat suatu artikel di Forum Keadilan berjudul fenomena pahalawan-dosawan. Pada ketika itu saja sudah begitu, apalagi sekarang, dosawan-begajulan. Dunia 'mayan. Ternyata masih harus diteruskan sampai sebaris lagi, biar genap delapan.
Apakah musim semi atau September, apakah harus mengulanginya kembali atau dalam keadaan yang jauh lebih baik. Sudah cukup lamakah 'ku hidup. Belum. Aku hanya harus menyanyikan air mataku habis-habisan, tumpah-ruah. Derai tawa yang menyakitkan hati yang benar-benar sakit-sakit, untukmu, untuk diingat-ingat. Aku begini saja, berjuang apanya yang diperjuangkan, apa iya berjuang. Aku tidak bisa ke mana-mana atau memang ada dijanjikan entah di mana. Atau 'ku harus mencari, masih. Meneruskan: seandainya kau bayiku, Mas Manto-mu. Kesakitanku.
Benar saja, habis mengajar entah-entah malah menelusur stiker kangguru. Tidak lah. Level kegabutanku belum sampai pada membeli Z'gok apalagi Acguy yang dibaca saja sulit. Akan halnya mengitiki di setentang masjid persaudaran Islam memang dapat terjadi kapanpun, meski nyaris mustahil dilakukan pada suatu Sabtu. Semata karena aku terlalu malas meminjam kunci Pak Tarno. Aku sudah terlalu terbiasa meminjam kunci Pak Mono, lalu Fajar. Dulu bahkan aku tak perlu meminjam kunci. Aku punya kuncinya. Gilanya, kutambahi begitu saja tiap-tiap akhir paragraf.
Rasanya seperti terkena sihir meski aku belum pernah kena sihir, dan tidak ada rencana sampai kena sihir dalam waktu dekat ini maupun sejauh-jauhnya. Di kejauhan sana kulihat seorang ibu dan anak perempuan satu-satunya sedang berbincang-bincang sambil menyeruput entah minuman-minuman apa di teras sekolah tinggi hukum itu. Pada titik ini aku diinterupsi oleh Sopuyan Bosque. Ia sekadar memastikan aku berfungsi. Bulan biru bersinar terang di ufuk kesadaranku, meski hatiku, seperti biasa, berselaput mendung. Lebih edan, tetap kutinjau pratinjau.
Kopi putih cap luwak kurang gula sudah dingin gara-gara kutinggal berbual-bual dengan Sopuyan, namun tak mengurangi kenikmatannya; seperti nikmatnya mengitiki kangguru di suatu siang bermendung, di setentang mesjid persaudaraan Islam. Bagaimanapun jadi kepikiran, ukuran apa yang harus kugunakan bersama kangguru ini. Adakah 'ku harus kembali ke aturan tujuh lima tujuh lima jadi lima dua lima. Dengan apa harus kuperiksa saban-saban jumlah katanya. Atau mungkinkah ini waktunya membabat membabi-buta tanpa meninjau pratinjau. Sekarang?
Perilaku mendengarkan? Mengapa sudah dua kali ini muncul tanda tanya. Sudah cukup, tidak akan kutambah lagi. Lantas bagaimana menghentikannya jika tidak ada patokan sementara yang ada selalu sekadar asal goblek asal ngomyang. Apa harus kukatakan betapa tidak pernah lepas. Ah, akhirnya keluar sedikit dari perilaku mendengarkan. Katakan padaku, bagaimana caranya aku hidup tanpamu. Haruskah kuterima hidup selalu bersamamu, ketololan. Akhirnya menyerah juga. Harus teratur meski keteraturan itu berarti tiap-tiap kali harus meninjau.
Aku merindukanmu seperti gila, suatu siang di ruang praktek dokter Hardi Leman. Musim kemarau, dapat kubayangkan apa ketika itu isi benakku. Lebih baik kucoba mengingat, apakah Patas 24 atau losbak. Kepahlawanan yang selalu hanya pura-puranya. Apa betul menjadi jenderal bintang dua pasukan khusus suatu kepahlawanan, atau cukup mengingat suatu artikel di Forum Keadilan berjudul fenomena pahalawan-dosawan. Pada ketika itu saja sudah begitu, apalagi sekarang, dosawan-begajulan. Dunia 'mayan. Ternyata masih harus diteruskan sampai sebaris lagi, biar genap delapan.
Apakah musim semi atau September, apakah harus mengulanginya kembali atau dalam keadaan yang jauh lebih baik. Sudah cukup lamakah 'ku hidup. Belum. Aku hanya harus menyanyikan air mataku habis-habisan, tumpah-ruah. Derai tawa yang menyakitkan hati yang benar-benar sakit-sakit, untukmu, untuk diingat-ingat. Aku begini saja, berjuang apanya yang diperjuangkan, apa iya berjuang. Aku tidak bisa ke mana-mana atau memang ada dijanjikan entah di mana. Atau 'ku harus mencari, masih. Meneruskan: seandainya kau bayiku, Mas Manto-mu. Kesakitanku.
No comments:
Post a Comment