Wednesday, December 25, 2024

Malam Natal Ini... Damai di Bumi, Damaiku di Hati


Ini adalah postingan malam natal. Tidak ada salahnya jika 'ku ceritakan di sini bahwa 9 tahun lalu, ketika aku masih kuat menyongklang variosty, 'ku rasa dari Radio Dalam ke Depok, 'ku hentikan tungganganku di dekat panti pijat satu putri di mulut tol pancasila arah Depok, hanya untuk mengapdet setatus pesbuk demikian: "Di malam natal ini aku seorang diri namun tak merasa sepi, karena hatiku menyala-nyala, menyambar-nyambar terbakar bara revolusi, yang laksana malaekat menyerbu dari langit. Semoga Tuhan memberkati sumpah dan janjiku untuk menyerahkan seluruh jiwa raga bagi cita-cita perjuangan bangsaku. Bapak, ibu, guru-guru, mohon doa restu." Begitu kataku, seperti biasa, pada diri sendiri. Memang hampir selalu begitu aku. Sunyi sepi sendiri merintangi.

Namun kini bapak telah tiada, begitu juga mpok mar. Sudah barang tentu ibu warung laler, begitu juga penjual ketan bakar suami mpok mar. Yang masih ada adalah penjual bubur kacang ijo ketan item madura, yang buka di samping rumah tante yunani, yang sudah sejak lama menjadi sushi tengoku. Artinya, 9 tahun setelah 'ku tulis status itu aku masih seorang diri namun tak merasa sepi, karena hatiku menyala-nyala, menyambar-nyambar terbakar bara revolusi, yang laksana malaekat menyerbu dari langit jalannya revolusi Bung Karno. Setelah 9 tahun aku masih berjuang.

Dalam pada itu aku seperti merah. Aku anung-un-rama. Tak hendak 'ku menuruti keinginan grigori untuk mengundang ogdru jahad ke alam dunia ini. Sebaliknya, seraya 'ku memeluk berkah Tuhan, aku diliputi api kebiruan tak berasap tak berbau, menyelimutiku bagaikan dekapan ibu yang tak pernah 'ku rasakan setelah aku mengerti pembicaraan. Seperti itulah malam natalku tahun ini. Tidak lagi seperti ketika suaraku tercekat, dan ketika 'ku paksa keluar, parau mengatakan pada diriku sendiri: "natal ini aku pulang". Di ambang jendela itu, tiada sesiapa, dingin di luar sana. 

Natal itu aku memang tidak pulang. Baru natal tahun berikutnya aku di rumah, tanpa kehadiran ragawi bapak. Namun bapak tentu saja selalu di hati, bahkan di tiap detak jantungku, bahkan dalam tiap kejatan pikiranku. Karena aku adalah bapak. Segala sesuatu mengenaiku adalah bapak, dan tentu saja ibu. Saat ini indera pendengaranku terpapar pada geremang beratus-ratus orang, namun biasanya ia dibelai-belai untaian nada mengalun yang biasa membuai jiwa ibu. Bapak adalah apiku, ibu airku. Ragaan tak berdaya bagai khayalanmu mengenai Bu Susiana Suryandari. 

Berdamai dengan hati sendiri tidak perlu sampai mengikuti kursus apapun, meski itu menurutku sendiri. Aku tidak punya uang, lagipula, untuk membayar biaya kursus, kursus apapun. Seperti Nugroho menyewa sepeda di pare kampung inggris. Ia hanya berkeliling-keliling naik sepeda di situ, tidak mendaftarkan diri ke salah satu tempat kursus bahasa inggris yang menjamur di situ. Ia justru lebih tertarik pada kenyataan bahwa di pare yang dulu merupakan pusat kota kediri terdapat maskapai trem uap. Ya, Nugroho berdamai dengan hatinya sendiri. Sepertinya, aku pun begini.

Ada lagi satu kata dalam bahasa Indonesia, kata sifat, yang dapat digunakan untuk menggambarkan suasana ini: teduh. Dulu aku sangat terpukau dengan saat teduh, buletin jumat, sedarlah dan sebangsanya itu. Sesungguhnya sampai detik ini juga, meski keterpukauan itu harus disiram air comberan agar padam, karena dapat menimbulkan gejolak jiwa yang merusak keamanan dan ketertiban masyarakat. Lihatlah orang-orang yang kausebut di paragraf kedua tadi. Engkau pasti suka berpikir jika mereka sudah merasakan kedamaian, bukan, dalam istirahat panjang.

Namun Yesus Kristus belum beristirahat. Ia akan kembali di tengah-tengah kita membunuh si penipu yang mengaku juru selamat. Aku yang buta tuli mata telinga hati ini masih terus merasa tertipu habis-habisan setiap hari, jadi mungkin saja sang penipu ulung ini belum mati. Berarti Yesus Kristus belum berada kembali di tengah-tengah kita. Jika pun takkan pernah 'ku saksikan matinya si penipu dengan segala tipuannya, aku berdoa kepada Allah agar anak-anakku sempat menyaksikannya sebelum mereka sendiri mati. Kerinduanku, kedamaian dalam hati nurani.

Selamat Natal dan Tahun Baru. Damai di Bumi, Damai di Hati.

No comments: