Begitu kubuka pintu masuknya, hidungku langsung disergap aroma yang membekas lembut pada ingatanku: buku kafe, dari 20 tahunan lalu. Biarlah aku hidup di masa lalu, meski ketika itu aku, seingatku, tidak pernah memesan kopi apapun. Jadi adalah tahun-tahun di mana lambungku tak tersentuh kopi sama sekali, setelah selama sekitar enam tahunan hampir tidak pernah tidak tersentuh kopi, tubruk maupun instan sasetan. Di sini ada beberapa jilid buku, tetapi kurasa lebih seperti pajangan saja. Dekorasi ruangan. Sedang di buku kafe dulu itulah menu utama, meski tetap harus pesan minuman juga, setidaknya, atau makanan.
Ambiens boleh saja, asal jangan mendominasi. Barusan kukecilkan volume pelantang agar jazz mulus dari kamar loteng ini tetap hangat mendekap jiwaku. Padahal yang kubuat ya hanya ini, entri ini. Kalau berkantor di sini, bisa jadi 50 ribu sehari tidak akan ke mana. Uh oh, apa akan ada musik hidup. Ini bisa jadi bencana. Aku tak ingin suarainti A20i-ku bersaing dengan salon-salon segede gaban. Awas kalau sampai mengganggu benar-benar akan kutinggal ke tempat lain, meski pada detik ini aku belum punya ide mau ke mana. Uah, benar-benar keras suaranya.
Sampai 'ku tak bisa mendengar otakku sendiri berpikir. Ia menyanyikan nuansa bening, lagunya Bung Ippul. Sungguh mengerikan waktu-waktu itu, di tepi Ciliwung ujung jalan kober, bahkan sudah lewat kobernya itu sendiri. Tempat bersemayam Bung Biawak, membuat jeri Bung Yori Yapani. Ia melanjutkannya dengan janji putihnya Doddie Latuharhary. Kalau tidak gara-gara dia, jangankan tahu, terpikir saja lagu ini tidak akan. Ini sudah memasuki lagu ketiga. Kopi susu masih sepertiga cangkir. Pantatku terasa seperti enggan geser. Telingaku masih mencoba bersabar.
Baru tahu, ternyata makanan dari pondok gurame bisa dibawa ke sini. Di depanku sekeluarga bersantap siang lengkap. Dengan standar apapun yang pernah ditetapkan NATO atau Pakta Warsawa, ini semua sesungguhnya sudak tak berterima, kekacauan ini. Kaki kanan kuselonjorkan ke kursi depan. Kaki kiri kuletakkan santai di lantai. Setidaknya sekarang aku tahu minggu siang begini ada musik hidup di sini, jadi bisa dihindari. Libur t'lah tiba. Titik-titik penggilingan ini bisa jadi alternatif kantor, untuk berganti-ganti dengan suhu yo. Berapa lama.
Jangan diteguk lagi kopi susunya, paling tinggal tiga teguk lagi. Jadikan ia alasan untuk melatih kesabaran. Apa rasanya tampil di depan tiada sesiapa, tidakkah dalam hidupku beberapa kali pula kurasakan yang seperti itu. Seperti ketika kubawa gitar, bahkan mungkin ukulele sekalian, ke acara korjek. Bahkan bawa sisun segala. Seperti juga ketika kubawa gitar ke... apa dahulu nama tempat itu, ternyata teman seangkatanku malah ajep-ajep di dalam situ. Ah, sial, aku memang tidak pernah berhenti jadi pemain watak bahkan sampai kini. Keple'ne pol aku iki. Jan tenane.
Orang keple sepertiku ini memang cocoknya ditakut-takuti dengan lelepah. Lelepah, lelepah. Panganane iwak mentah. Lalapane brambang uyah. Mangane neng tritis ngomah. Entah kesambet apa, ketika Pak Jeje menawarkan ada yang ingin menyanyi, kugantikan ia sebentar. Pasti sakit lama-lama memainkan senar-senar kawat itu. Ia ternyata seorang profesional. Semoga ia dibayar pantas, meski titik-titik penggilingan minggu siang ini sepi; hanya dua meja terisi penuh, ya oleh keluarga tadi. Salah satunya meja yang kupakai kemarin sesiangan 'sama istriku cantik.
Meski tak pernah benar-benar menonton pagelaran wayang kulit, apalagi yang semalam suntuk, [ha]lelepah selalu berada dalam benakku. Itulah kurasa yang menuntunku untuk berselancar mencari-cari wayang setanan. Betapa suara tangisan anak halelepah sangat lekat dalam ingatan, yang ternyata suara traktor penarik kereta-kereta bagasi yang terkadang melalui jalan apron timur, entah mau apa. Sekarang, aku cukup bersyukur badanku, setidaknya secara ritual, terhitung suci. Meski pikiranku lethek, karena aku wis tuwo, bacin. Amit-amit jangan sampai mati jadi halelepah.
Ambiens boleh saja, asal jangan mendominasi. Barusan kukecilkan volume pelantang agar jazz mulus dari kamar loteng ini tetap hangat mendekap jiwaku. Padahal yang kubuat ya hanya ini, entri ini. Kalau berkantor di sini, bisa jadi 50 ribu sehari tidak akan ke mana. Uh oh, apa akan ada musik hidup. Ini bisa jadi bencana. Aku tak ingin suarainti A20i-ku bersaing dengan salon-salon segede gaban. Awas kalau sampai mengganggu benar-benar akan kutinggal ke tempat lain, meski pada detik ini aku belum punya ide mau ke mana. Uah, benar-benar keras suaranya.
Sampai 'ku tak bisa mendengar otakku sendiri berpikir. Ia menyanyikan nuansa bening, lagunya Bung Ippul. Sungguh mengerikan waktu-waktu itu, di tepi Ciliwung ujung jalan kober, bahkan sudah lewat kobernya itu sendiri. Tempat bersemayam Bung Biawak, membuat jeri Bung Yori Yapani. Ia melanjutkannya dengan janji putihnya Doddie Latuharhary. Kalau tidak gara-gara dia, jangankan tahu, terpikir saja lagu ini tidak akan. Ini sudah memasuki lagu ketiga. Kopi susu masih sepertiga cangkir. Pantatku terasa seperti enggan geser. Telingaku masih mencoba bersabar.
Baru tahu, ternyata makanan dari pondok gurame bisa dibawa ke sini. Di depanku sekeluarga bersantap siang lengkap. Dengan standar apapun yang pernah ditetapkan NATO atau Pakta Warsawa, ini semua sesungguhnya sudak tak berterima, kekacauan ini. Kaki kanan kuselonjorkan ke kursi depan. Kaki kiri kuletakkan santai di lantai. Setidaknya sekarang aku tahu minggu siang begini ada musik hidup di sini, jadi bisa dihindari. Libur t'lah tiba. Titik-titik penggilingan ini bisa jadi alternatif kantor, untuk berganti-ganti dengan suhu yo. Berapa lama.
Jangan diteguk lagi kopi susunya, paling tinggal tiga teguk lagi. Jadikan ia alasan untuk melatih kesabaran. Apa rasanya tampil di depan tiada sesiapa, tidakkah dalam hidupku beberapa kali pula kurasakan yang seperti itu. Seperti ketika kubawa gitar, bahkan mungkin ukulele sekalian, ke acara korjek. Bahkan bawa sisun segala. Seperti juga ketika kubawa gitar ke... apa dahulu nama tempat itu, ternyata teman seangkatanku malah ajep-ajep di dalam situ. Ah, sial, aku memang tidak pernah berhenti jadi pemain watak bahkan sampai kini. Keple'ne pol aku iki. Jan tenane.
Orang keple sepertiku ini memang cocoknya ditakut-takuti dengan lelepah. Lelepah, lelepah. Panganane iwak mentah. Lalapane brambang uyah. Mangane neng tritis ngomah. Entah kesambet apa, ketika Pak Jeje menawarkan ada yang ingin menyanyi, kugantikan ia sebentar. Pasti sakit lama-lama memainkan senar-senar kawat itu. Ia ternyata seorang profesional. Semoga ia dibayar pantas, meski titik-titik penggilingan minggu siang ini sepi; hanya dua meja terisi penuh, ya oleh keluarga tadi. Salah satunya meja yang kupakai kemarin sesiangan 'sama istriku cantik.
Meski tak pernah benar-benar menonton pagelaran wayang kulit, apalagi yang semalam suntuk, [ha]lelepah selalu berada dalam benakku. Itulah kurasa yang menuntunku untuk berselancar mencari-cari wayang setanan. Betapa suara tangisan anak halelepah sangat lekat dalam ingatan, yang ternyata suara traktor penarik kereta-kereta bagasi yang terkadang melalui jalan apron timur, entah mau apa. Sekarang, aku cukup bersyukur badanku, setidaknya secara ritual, terhitung suci. Meski pikiranku lethek, karena aku wis tuwo, bacin. Amit-amit jangan sampai mati jadi halelepah.
No comments:
Post a Comment