Monday, October 28, 2024

Sianjritos, Sikampretos, Sikunyuk Berbulu Kuduk


Kalau mengitiki, apakah itu ketiak sendiri apalagi sampai ketiak orang lain, mau tidak mau harus ditemani rubah pemberian Tuhan. Kalau sampai nirwana apalagi penyakit sapi, itu hanya cocok untuk pekerjaan-pekerjaan menjengkelkan seperti mencocokkan sitasi dengan referensi atau membuat kuis di emas dua. Ini sepertinya dari anak petani banyak rendah. Hahaha kalau aku membaca ini kelak aku pasti lupa apa maksudnya. Biar saja. Itulah seni mengitiki: Mengabadikan kebatan dan kebitan sesaat yang entah-entah apa. Ditambahi cuma agar mentok kanan.
Oktober mengapa jadi banyak entri begini. Apa lupa kau Oktober di Amsterdam, 2018 dan 2020 itu, Kees Broekman dan Kraanspoor. Uah, suasananya jauh berbeda. Di sini keempat toa menyeru berbarengan ke segala penjuru. Sudah ashar dan suhu terasa seperti 41 derajat selsius.  Maka aku melompat ke depan lebih dari 50 jam, kembali ke sejuknya setentang masjid persaudaraan Islam, membayangkan waktu itu sambil berkata ya, ya. Entah mengapa pagi ini aku ditemani seekor burung dara puspita. Waktu itu aku belum mengenal sakitnya dunia, tak hendak juga.

Maka di mana pun mungkin akan begini aturannya, duhai, burung walet silayang-layang. Tidak ada yang mengenakan cincinku karena memang tidak ada yang pernah kuberi. Semua kemampusan adalah semacam ketokaian bagiku, seperti bagi Sugiharto Nasrun Sijakru. Uah, akhirnya sampai juga telo lelolet gembrot gembrot kampret, yang seperti ini malah tidak dikursif. Seperti merekahnya perut dikasih makan Sopuyan nasi bungkus kantin Mares tempat Rian pinjam pisau pemutilasi, seperti itu ia mengempis kembali. Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut lapar lagi.

Pengkhianatan! Mengapa justru di situ aku berusaha menghafalkan sebisa-bisanya, sebunyi-bunyinya, di akhir 1998 itu atau masih di pertengahannya. Ditingkahi nasi padang bunga cempaka bertauge-tauge ria, berempeyek udang bersimbah siram kuah bawahnya, beres doger aduhai manis-manisnya. Betapa banyak waktu kusia-siakan bahkan mungkin saat ini pun kuterus-teruskan. Cintailah aku sebanyak-banyaknya. Tak perlu kuminta, cantik melakukannya setiap hari setiap saat. Ia betul mencintaiku meski seperti anjritos, kampretos, atau moshet.

Sempat berhenti gara-gara berlatih menggambar berontosawur dengan alat ini, untuk menyadari bahwa kaki-kakinya hanya segaris segaris. Aku terus mengitiki tidak peduli dunia ini sedang anak-anak muda dengan kerikil-kerikil saling melempari. Kesenduan ini mengingatkanku pada ibuku sayang dan semua yang ia sayangi. Memang inilah asal-muasal dari semua ini, perasaan-perasaan ini; dari suatu ashar bermendung di apron timur lapangan udara Kemayoran. Bagaimana hendak kukelabui jika rimbun menghijau aku tak peduli, di titik ini pun kuterusi: Menyang kali.  

Meskipun tadi sesaset teh maksimum dengan tiga "x" sudah ditenggaki, masih terasa ingin cafe latte dari teras sekolah tinggi hukum. Dunia ini, hidup ini, bukanlah misteri. Sekadar menahankan keinginan mengganti antigores yang antisilau. Namun begitu mengetik "antisilau" ini keinginan justru menguat. Apa betul segera kupergi saja sekalian pulang. Tiada apa-apa bagiku di sini kecuali halaman luas berkeramik terakota. Tiada jalan keluar bagiku dari sana, entah bagaimana sampai aku tersesat ke sana. Aku bahkan menahan diri 'tuk tidak beli paket data. Dua juta tak ke mana.

Orang macam apa yang tidak pakai berpikir dua kali hanya sekadar untuk membeli antigores yang antisilau. Gelombang-gelombang liar ini sedap-sedapnya melangutkan, membawaku entah ke mana-mana di dekat ndalemnya Akung-Uti, Bapak-Ibu. Ya Allah, jangan sakiti aku ketika sampai ajalku, pada sakaratul mautku. Biarkanlah seperti ini, melodi-melodi lembut ini. Harus kupaksakan selesainya kini, karena tiada lain cara menikmati kecuali diterjemahi. Membawaku kembali ke perempatan antara Santa, Wijaya, dan Mampang. Di sini saja kuakhiri, entri ini. Rapih.

No comments: