Friday, December 27, 2024

Balada Sebutir Granat, Sepucuk Pistol. Seselesainya


Kopiku encer, musikku menyek, rokok kretekku mana. Lonte punya selera, jarum super filter, jarum super internasional. Aku paham sepenuhnya maksud diberinya selongsong kardus pada cangkir kardus, agar tidak panas memegangnya. Namun, selain tidak panas, selongsong itu membuat peganganku tidak mantap pada cangkir kardus; jadi meleset-meleset begitu. Aku hampir lupa rasanya ketika aku membenci mereka, ketika yang kuinginkan adalah sepucuk pistol dan sebutir granat. Ketika mereka bercericau, lemparkan granat ke tengah-tengahnya [onomatope ledakan]. 
Pistolnya untuk apa. Karena aku pada dasarnya gak tega'an, jadi untuk mengakhiri penderitaan yang tidak langsung mati. Karena granat Mk. II alias granat nanas serpihannya bisa besar-besar, bisa memangkas anggota badan bahkan leher, tapi bisa juga sekadar merusak jaringan namun tidak fatal. Sebutir peluru tepat di kening akan mengakhiri penderitaan terpangkas anggota badan oleh serpihan granat, atau rusak jaringan namun tidak fatal lainnya. Itulah benar mungkin yang mendorongku masuk tentara. Seragam, apalagi kekayaan, aku tak peduli. Granat! Pistol!

Hahaha, nyatanya semua berakhir dengan romansa. Cintaku pada rakyat jelata dan kepapaan mereka sudah dipupuk sejak dini. Aku bersahabat dengan anak-anak pedagang beras, supir bajaj, dan supir bis malam. Kecintaanku kepada mereka semakin mendalam, melesak ke dalam gua garba, menghunjam liang-liang kewanitaan mereka. Bersama mereka aku merasa seperti menemukan pembenaran, alasan untuk ada, dan, terlebih penting, cinta. Ya, aku menemukan cinta bersama mereka, menghapus berbutir-butir granat dan berpucuk-pucuk pistol beserta munisinya sekali.

Dari mereka pula, kaum jembel mudlarat ini, aku belajar betapa cinta itu tak ragawi. Seberapa banyak pun gua garba kujelajahi, sebanyak apa pun tahi macan kuecer-ecer di dalamnya, seberapa pasang pun buah-buahan kukeremus kugelegak [daftar ini bisa panjang sekali jika diteruskan], tak membuatku menemui cinta, apalagi Cinta. Baru kutersadar, aku seperti ibunda rahwana yang meminta sastra jendra ketika selaput daranya masih utuh, belum ditembus oleh pestol gombyor calon bapak mertuanya sendiri. Di titik ini aku tertawa-tawa sambil mencengkam pistolku sendiri. 

Tidak setiap hari, setiap saat aku cerdas barus begini; semoga kelak aku masih ingat bagaimana sampai secerdas barus ini. Modalnya hanya 50 ribu lebih sedikit, namun entah kerugian apa yang ditimbulkan pada kesehatan badan. Di dunia macan yang perutnya gondrong ini, aku cerdas barus sendiri, aku senang sendiri. Mau kuecer-ecer tahi sebanyak apapun takkan seorang pun peduli. Takkan pula mau kutambah modal sendiri. Tak mungkin pula terus-terusan seberuntung ini, dua bulan terakhir ini. Uah, rampak sekali aku mengitiki ketiak sendiri. Seperti biasa, tidak geli.

Eh, baru sadar. Pistol masih dalam genggaman, yang bila diberi bersabun sedikit, diberi air sedikit, lalu genggaman digerakkan ritmis maju mundur, bisa geli. Inilah kegelian hakiki. Ustadz Firanda boleh berkata sesuka hati. Jika ukurannya masih ragawi, maka kubulatkan jari-jemari, kutarik ke belakang sambil kurapalkan "kamehame.." lantas kudorong ke depan sambil berseru "HA!" Siapapun bebas berkata-kata apapun suka-suka hatinya. Namun jika kau belum pernah main monopoli melawan Ahmad Suroji, Siswanto, dan Sumanto, cari tahulah siapa Kamehameha. Tak apa.

Tahukah engkau bahwa ketika ibunda Kamehameha mengandungnya, ia mengidam mata-mata hiu putih raksasa. Ayahnya yang juga seorang raja menyadari bahwa anak perempuannya ini sedang mengandung seorang calon raja besar. Di titik ini aku menari-nari berputar-putar, sedang pelir dan biji-bijinya sekalian berayun-ayun riang gembira. Ya, aku tak berkain tak bercelana. Apa ini seperti pengelana menjadikan dirinya umpan untuk menangkap entah megalodon atau mosasaurus, membagi-bagi dagingnya dengan dua perempuan dewasa dan kecil, sedang ia 'ndiri makan matanya.

No comments: