Monday, December 23, 2024

Membersamai Kecicipan Mencicipi Kebersamaanku


Alkisah, taring atas Jomajujo menancap dalam ke tanah, sedang taring bawahnya tembus menusuk langit. Itulah maka namanya begitu: jangan maju, jangan. Apa lantas satu kalimat harus disusul dengan kalimat yang segagasan dalam satu paragraf, menjadi satu wacana. Mengapa di akhir abad lalu, awal abad ini aku sempat berpikir-pikir mengenai analisis wacana, aku benar-benar lupa. Yang benar-benar menarik kini adalah memeriksa, apakah enam baris di HP-11CB ini sama dengan PC AiO Lenovo 520; sebab Advan Sketsa 3 sudah kuberikan kepada adikku. Sama.
Suasana apa ini yang dibentuk oleh mendung-mendungnya langit selewat hujan, rayuan mendekati rengekan untuk berdiri di sisiku, dan musik yang dimainkan. Pavilyun sepulangku sekolah bisa begini juga, meski aku lupa berapa lama libur setelah terima rapot semesteran di SMP 56 dulu, dan kupakai untuk apa liburan itu. Lebih bisa lagi entah di graha yang mana ketika langit Magelang sama mendungnya dengan yang sekarang ini menaungi, malah dilanjutkan akhir dunia oleh Brenda Lee. Ataukah justru ini Srengseng Sawah akhir 1997 Delta FM 99.5 stasiun lelagu tua terbaik.

Suasana siang bermendung seperti ini sebenarnya sungguh mengilhami. Tidakkah begini pula suasananya ketika memulai hari-hari, bahkan menjalaninya, di Radar AURI hampir 20 tahunan yang lalu. Sungguh hampir 'ku tak percaya, 30 tahun, 40 tahun terakhir hidupku, jangan-jangan sampai ia berakhir begini saja nasibku bahkan sejak dimulainya. Ini kali pertamanya 'ku mengitiki diiringi Omar Garcia, ya, meski sekadar mengitiki. Siapa tahu besok-besok aku menghasilkan entah apa dengan iringan yang sama. Beda sensasinya begini dengan di depan televisi. Biasa.

Bukan, meski sama kopi susunya, ini bukan di lantai 5 gedung B kampus pulau roeter di kanal belakang baru. Meski suasananya ada mirip-miripnya, meja sama putihnya, kursi sama hitamnya, langit sama mendungnya, udara pun cenderung sejuknya, ini bukan di ruang lentur. Di sini tidak ada Isdah, tidak ada Icha, tidak ada Mbak Vita, tidak ada Japri, tidak ada Arum. Di sini tiada sesiapa, sedang adzan ashar mulai berkumandang. Tidak mungkin ini di situ. Ini di laboratorium hukum entah apa-apa, di setentang masjid UI yang nyaris 30 tahun 'bersamaiku.

Hari-hari apa yang bermendung kulalui di sepanjang gang sawo. Apakah ketika anakku sayang mondok di pondok ganesha, ketika variosua kehujanan dengan tasku ada di injakan-kakinya, di dalamnya ada HP-11CBnya, yang hingga kini di tepi-tepi layarnya membekas sentuhan belai manja air hujannya. Ataukah markas bersama gimin yang kusewakan, kubersihkan di tengah rinai hujan, kubelikan berbagai-bagainya, bau kamar sewaan lama tak berpenghuni yang sangat lekat dalam ingatannya. Entah sudah berapa kamar semacam itu kulalui dalam hidupku sejijiknya.

Jika bukan karena ketercicipan, jika bukan karena membersamai, mungkin sudah kunamakan entri ini hari-hari bermendung, seperti mega mendung begitu mungkin. Sebanyak apa, sesedikit apa nikmat dunia, ketika hujan menderas, hidangan sudah tersedia, perut hangat, badan kering dan hangat, bahkan di rekening ada uangnya. Sebanyak apa waktu yang kubuang tolol-tololan bersama Dedi Sudedi dan John Gunadi di sepanjang tepian Margonda, berlatih infantri lintas udara yang tidak pernah melintasi udara. Tiga tahun kemudian, sejak pertengahan 2005 'tu.

'Ku menjalani, 'ku berbagi hari-hari entah bagaimana ketika itu sekadar mengandalkan imaji. Begitu September 2008 menggilai, di lantai 2 Laathofpad Zes itu, meski tepatnya bagaimana tak ingat lagi. Jari-jari ini sudah tak ingat lagi apakah ini penyebabnya sholat sampai terlupa berapa rakaat telah diulangi. Ketololan yang tulus jangan dirancukan dengan ketulusan yang tolol, ketika nothing to lose artinya tidak ada yang tulus. Si Tolol! Bagaimana kau bisa berpikir menarik minat anak bocil dengan posting instagram yang bahkan pada jamanmu saja sudah kuno. Berhenti!

Bagai mengelantang di hari bermendung, aku ini

No comments: