Monday, December 30, 2024

Pergi Saja Engkau Pergi Dariku Biar Kubunuh. Diri


Berhubung esok besar kemungkinannya takkan sempat menulis entri (halah!), ada baiknya kutulis sekarang saja. Mumpung gabut. Ini koq rasanya seperti musim panas di Amsterdam atau Amstelveen. Aku tidak sempat merasakan musim panas di Kraanspoor. Musim panasku di Kees Broekman dan Uilenstede. Di Kees aku ingat sekali. Gelap-gelap begini lebih seperti kamarku di Uilenstede 79C. Masih ada jejaknya di Google Maps. Namun terangnya tidak dari depan begini. Dari samping. Kurasa di situ pula mulai kukumpulkan lagu-lagu menyek mengiringiku petang ini. 
Biarkanlah aku kembali ke petang yang lain lagi, 20 tahunan lalu bahkan di Palembang. Bukan aula benar, remang-remang suasananya, bersama bocil-bocil entah angkatan berapa yang sekarang pasti sudah menjadi bapak-bapak dan ibu-ibu. Nah, mending ini sekalian. Tidak ada kenangannya. Entah mengapa ia bisa berada dalam daftar ini. Menurut Angga ini adalah lagu tema anime. Liriknya dibuat menjengkelkan begini. Mengapa sekarang tema-tema seperti ini disukai. Uah, romansa memang tidak pernah baru sejak jaman Romeo dan Yuliet: sekadar diulang-ulang.

Nah, kalau ini di dalam taksi. Entah mengapa aku ingatnya taksi. Padahal naik taksi ke Radio Dalam baru nanti pagi, Insya Allah, tapi melodi cantik ini seingatku kudengar di sebuah taksi kali pertama. Tepat di perempatan Pondok Indah Mall sebelum berbelok ke kanan arah Margaguna. Sangat bisa jadi. Mungkin ketika itu juga membawa anak-anak. Ada dua seingatku yang begini kisahnya, anaknya Indra Lesmana dan anaknya Soegi entah siapa. Pintar anak-anak ini. Bagus, kata Pak Tino Sidin. Jika di situ ada Nino Kayam, mau bagaimana lagi. Cucunya Umar Kayam dia ini.

Berikutnya membawaku ke petang lain lagi, menyusuri graha bintaro entah lewat mana lagi. Mungkin tentu saja sampai sektor satu, deplu, veteran, tanah kusir, arteri, sampai masuk lewat kostrad, kwini, baru Yado. Astaga, dahulu badanku masih cukup perkasa melakukan itu, sekitar 12-an tahun lalu. Luka, luka, luka yang kurasakan. Bertubi-tubi-tubi yang kauberikan. Tak apa, 'Nak. Tadi sempat terpikir olehku, jika sampai tak ada padaku dan adikku anak, ada dua kemungkinan. (1) tak boleh diteruskan; atau, (2) harus diselesaikan sekarang juga, seperti senantiasa.

Apa tidak sebaiknya dihentikan dulu. Ya, baiknya begitu. Baru saja aku keluar dari kamar hotelku untuk mencari makanan. Ya, seperti sudah menjadi mafhum, layanan kamar biasanya harganya tidak bersaing. Maka turunlah aku menemukan warung mi aceh. Lapar, begitu tanyanya, mi aceh paling benar, begitu katanya. Malam ini tiada berapa ramai, mungkin seperti malam-malam yang telah lalu. Ada satu meja lesehan berisi satu keluarga. Di antaranya, seorang perempuan gemuk meminta mikrofon untuk berkaraoke. Setelah dua lagu ia berhenti, dilanjut setelah aku pergi.

Roberto Bellarmino Gratio memberiku oleh-oleh, yakni sebentuk patung dada Josif Stalin dari kuningan dan sebuah perjanjian baru dalam bahasa dan aksara Russia. Ia menjelaskan bahwa Stalin, walaupun penyusun utama Marxisme-Leninisme, adalah seorang eks-seminaris ortodoks, baik sebelum maupun pada saat perang besar patriotik dan setelahnya. Dia tetap menjaga keutuhan gereja Rusia dengan mengangkat Patriark Alexei. Maka, dua hal itu, Stalinisme dan kekristenan ortodoks, tidak terpisahkan. Nama baptisnya saja Josif, bapaknya Yesus Kristus. Gratio melanjutkan, semoga dalam menjalani hidup ini kita bisa meneladani Stalin, yang walaupun tidak kuliah, anak istrinya meninggal, dipenjara berkali-kali, sering direndahkan Trotsky, sering dikritik dan difitnah, tapi tetap teguh berjuang ke depan. Demikian penjelasan Gratio mengenai oleh-olehnya.

Aku tidak bisa berkata lain kecuali akan kubrasso patung Stalin itu, karena di sana-sini sudah muncul karat kuningan. Kurasa ini lebih baik daripada membraso epaulet, pin kerah, tanda korps, dan kepala sabuk. Sudah lama sekali aku tidak punya alasan untuk membrasso apapun. Hampir 30 tahun! Gratio memberiku alasan. Padahal di rumah ada jam berbentuk kemudi kapal yang ada bagian kuningannya, dan cantik sudah membeli sekaleng besar brasso. Namun belum sekali pun kugosok jam itu. Akankah aku rajin membrasso patung Stalin, aku pun belum tahu. Kita lihat saja.

No comments: