Friday, November 29, 2024

Siang Ini, Rian Maunya Emaknya Gideon. Lain Tidak


Jika 'ku mengitiki lagi, di sini, tiada lain karena kesepian menggamit kesendirian. Keterkepungan adalah tempe mendoan. Kesemendoan adalah raja-raja: berjejaring, beradat penuh, atau separuh. Uah, apa sudah cukup senang hidupku. Apa sudah cukup kugelegak, kukeremus, apapun itu. Apa kukunyah-kunyah. Seperti biasa kuacungkan kemaluanku yang kuyu menantang lubang kakus. "Kau! Bila sampai ku' merayu, tak seorang 'kan mau waktuku". Apa lantas jika berambut ketiak lebat pasti raksasi. Bisa saja, ketika ibunda Gatotkaca pun seorang raksasi. "Kemari, 'Nak cantik".
Berkesenian, menggolong-golongkan kandungan Weda ke dalam empat kitab sampai digelari Weda, setelah itu beristirahat, sungguh bukan pekerjaan sepele. Namun di jaman ketika lembu moralitas tinggal berkaki satu, dapatkah kau membayangkannya. Lembu berkaki satu, jangankan berjalan, berdiri saja tak terbayangkan. Bahkan makan, yang kaupikir sudah dilakukan dari lahir saja, bahkan masih dalam kandungan ibu, bukan pekerjaan sepele. Apalagi Gus 'Im yang meninabobokan anak laki-laki tertuanya dengan aku seorang lelaki, entah jadi apa sekarang anaknya.

Banyak sebenarnya yang harus dan dapat dikerjakan, namun jika yang satu itu belum beres aku bahkan malas memikirkan apapun. Berhenti tepat di sini, untuk dilanjutkan beberapa jam kemudian karena suasana hati tidak kunjung berubah. Bahkan sudah berhari-hari. Aku tak hendak memaki, lebih baik mengenang, dan semua kenangan itu kembalinya ke situ lagi. Meski lagu-lagu ini justru berasal dari piala dunia sepak bola pertama yang kusadari dalam hidupku, ia baru benar-benar kembali baru-baru ini saja. Ibu kurasa tidak ingin mengenang kembali waktu-waktu itu.

Ingatanku adalah mengenai karpet babut berwarna hitam yang sangat berbulu. Duvetku waktu itu kurasa jelek sekali, aku lupa dari mana datangnya, bantalku demikian pula. Kepalaku selalu di bawah bak cuci piring, sedang kakiku di arah sesuatu yang tampak seperti semacam altar atau perapian. Di atasnya entah kutaruh lilin wangi atau pembakar wewangian. Di atas kepalaku, tepatnya di atas rak lemari dapur, ada lampu sok cerdik dengan peredup, yang bisa sangat diredupkan. Tidak sampai mati namun jadi sangat redup sekali. Di pojokan situ kutidur tiap malam.

Seperti waktu di Maastricht, di Amsterdam pun kubawa beberapa buku agama. Aku tidak ingat adakah yang kubaca ketika di Maastricht. Di Amsterdam aku ingat membaca beberapa, kurasa hanya dua judul. Itu pun jelas-jelas tidak sampai tamat. Terlebih salah satunya sekadar membaca lagi penjelasan Habib Quraish mengenai Asmaul Husna, yang sangat kusuka. Di titik ini ingin kuratapi dengan sepenuh hati lagunya Uthe, sedang badanku sudah berhari-hari rasanya seperti ini. Entah tak terhitung banyaknya hari ketika begini rasa badanku. Entah apa jadinya.

Ketergantunganku pada rata kanan-kiri sudah sedemikian parahnya, ia membatasi kreativitasku (halah!). Ada waktunya dulu bertujuh-lima tujuh kali jadi lima dua lima. Dulu ketika diketik dulu di MS Word, dipindah ke Notepad, baru ke editor blogger. Dulu, dulu, selalu saja dulu. Dulu sudah tiada, kelak entahlah. Dalam keadaan seperti ini, kenangan akan waktu-waktu yang telah lalu, yang berhasil kulampaui dengan selamat sehingga aku bisa sampai sekarang ini, terasa begitu tak berdayanya. Hanya Farid yang berminat bicara entah-entah sok sufistik, itu pun karena ia kusmasai.

Rian maunya emaknya Gideon, tidak mau Ruby Soemadipradja atau Maharani Djody. Baiklah. Sesungguhnya kukatakan kepadamu, 'Ian, yang kutertawakan itu kesakitan-kesakitan. Pernahkah kau mengelupasi keropeng-keropeng yang belum kering benar, yang masih pedih rasanya karena belum terbentuk kulit. Nah, seperti itulah. Luka-luka yang tak pernah kering, rasa sesal di dalam hati yang diam tak mau pergi. Haruskah aku lari dari kenyataan ini. Pernah 'ku mencoba 'tuk sembunyi, namun senyum mereka tetap mengikuti. Kemana pun aku lari, terus saja 'ngikuti. 

No comments: