Friday, October 11, 2024

Indung Kepala, Lindung Telur. Saluran Telur


Masa bisanya cuma menulis entri, lalu apa gunanya. Apa akan kutulis dalam bahasa Inggris semuanya agar tidak ada garis merah berkriwil-kriwil di bawahnya macam mie keriting. Segalaku memberikan padamu hatiku, seperti biasa, aklimatisasi dulu 'pala lu peyang. Jika orang melihatku, bapak-bapak gendut botak berkaus oblong bertuliskan "London" yang asli dari London, bercelana komprang biru dongker merek al-Ihsan, mengetik-ngetik menggunakan Advan Sketsa 3 gres boleh dibelikan Togar dan Farid, tentulah mereka akan menyangka aku miskin masai bukan buatan.
Tadi sudah sempat kucicip ah kusesap teh lemonnya, padahal yang kupesan adalah teh hijau. Tiada niatku meminta tukar. Aku kembali hanya untuk menambahkan es batu padanya, agar mencair dan menjadi kurang manis. Namun memang ada kubilang pada anak itu tadi, yang kupesan teh hijau. Maka diambilkanlah segelas baru teh hijau, diberinya es batu banyak-banyak. Begitulah maka di hadapanku kini ada segelas kertas teh hijau dingin seharga 50 sen Euro; yang aslinya kuminta dalam gelas plastik, dapat gelas kertas.

Segelas kertas teh hijau dingin yang tadinya diniatkan sekadar sebagai pajangan ternyata sudah habis setengah. Di titik in tiba-tibaku merindukan istriku cantik, istriku sayang. Jika kuulang demikian tidak berarti istriku ada dua. Istriku tentu satu, karena aku tahu monogami itu bukan sejenis kayu dan mahagoni adalah nama klaster perumahan yang ada kolam renangnya di graha bintaro sana. Pantas. Memang Masih jauh. Apa yang bertengger di atas leher tidak banyak gunanya. Lebih penting yang bergelantungan di bawahnya.

Tidak bisa ditukar-tukar urutannya. Diurutkan begini tentu ada alasannya, dan ketika sesuai dengan urutan memang terasa sedap-sedapnya. Kurasa sama dengan kibor HP Stream 8 dulu, aku tidak bisa gaya-gaya'an sok mengetik rampak dengan sampul kibor Advan Sketsa 3 ini. Nanti ada 'lah ia melompat-lompat. Uah, kepalaku sakit secara figuratif gara-gara desakan-desakan ketololan, maka baiknya kulepas saja arloji Casio bertali kulit pemberian istriku sayang ini. Sebentar lagi harus wudhu, kusimpan kembali di kantong depan tas. 

Jika kukata aku ingin jadi seperti Syahmardan, itu jauh lebih baik dari apapun yang berkebat-kebit di benakku. Meski itu basuhan air hampir mendidih pada cangkir bekas coklat panasku, meski tidak seperti Chocomel; karena aku lupa seperti apa rasanya, dan aku tidak ingin ingat. Aku, yang jelas, tidak seperti Syahmardan, apalagi Seno Gumira, apalagi Umar Kayam. Apa aku seperti seniorku Denny Januar Ali, lebih baik aku jadi Jimny Quasi Assiliqiddhieq. Berkeringat-keringat begini, jangan sampai tak habis lagi air hangat.

Aduh, harmonika begini, jaman segitu, pasti asli. Apakah di apron barat, apakah seorang pramugari kulit putih berjalan seorang diri menuju terminal hanya untuk hilang di kegelapan. Legenda perkotaan begini, sedang sekitar rumahku saja dulu masih banyak pohon kelapa. Masih kampung begitu, mengapa ambil pusing di mana kata diakhiri, di mana diberi bertitik. Mengetik di tablet begini, seperti antara 2016 sampai awal 2020, sampai pertengahannya. Apa 'ku mengetik terlalu rampak. Rawa-rawa bau oli, melodi sedih 'gini.

Mana berani kudengarkan ketika di Kraanspoor, meski tadi tiada sengaja bertemu Japri. Di Uilenstede masih berani bila ada Hadi. Kalau ia sedang bermalam entah di mana juga tidak berani. Malam-malam panjang begini, atau ketika sudah begitu pendek. Astaga tiada hendak berhenti juga melodi-melodi sedih ini. Untunglah tak jauh dari sini ada Cantik dan keponakannya. Untunglah aku di rumah sendiri. Untunglah aku tidak sedang di hotel termewah di dunia meski ditemani bidadari. Aku mau selalu bersama Cantik istriku.

No comments: