Wednesday, November 13, 2024

Cinta Bukan Gawai Bukan Mainan. Bukan Buatan


Apa-apa'an ini mendekati tengah malam malah mendesah-desah ditingkahi nina bobo Spanyol di kubikel Dedi Sudedi di LKHT bekas M-Web, dari 20-an tahun lalu. Pantas saja kencingku berbusa, sudah 20 tahun berlalu dari ketika Dedi kupaksa memilih di antara susu coklat atau susu merah jambu. Menyeringai ia. Itulah waktu-waktu bahkan John Gonnadie hasn't died yet. Kugenggam alat vital, kuangkat tubuhku sendiri, kuserukan: "Ini kemaluan kecil begini!" Maka dipanahlah tepat pada kepalanya. Kepalanya yang bego ini.
Asatron tidak pernah berdentam membahana begini. Lalu dengan apa aku menikmati dara puspita di kamar kedua dari barat deretan selatan di kost Babe Tafran [lalu Annisa itu siapa], berkelesetan di ubin kuning berdebu namun sejuk belaka. Di luar udara panas, badanku juga lelah berpeluh, namun hanya kesejukan yang kuingat. Sebagaimana halnya ubin kelabu bekas kamar praktek dokter Hardi Leman atau entah di mana. Belum sampai di situ. Ubin juga, mungkin putih tua, atau kuning merah. Ubin-ubin sejuk itu...

Tugas mengitiki tidak satu, tidak dua, tidak tiga, tidak empat, tetapi lima paragraf terasa beratnya di pagi hari ketika matahari sudah di seperempat perjalanannya. Di AAL dulu, pada waktu ini hari sudah terasa panjangnya. Mungkin sama dengan perasaan Bagus Suryahutama ketika siksaan peloncoan tiba-tiba berhenti dan kami cengar-cengir '96 digiring keluar audit untuk makan roti dan minum teh manis hangat a la kadarnya. Bagus kesal kala itu. Jahat betul ini para senior, batinnya, masa makan siang hanya begini. Betapa lemasnya Bagus ketika menyadari ini masih jam 10, belum waktu makan siang.

Itu ketika kami masih tolol. Sebenarnya masalahnya bukan di tololnya. Kami, setidaknya aku, masih sama tololnya sekarang. Bedanya, dulu itu kami masih muda. Sekarang kami sudah tua, sudah hampir 30 tahun lalu. Apakah terlalu banyak kepala gula kuminum pagi ini, setelah satu saset tropikana langsing masih ditambah satu saset lagi teh ala-ala susu prenjak yang jelas-jelas berpemanis kepala gula. Begitu saja aku dilontarkan, pertama ke New York, lalu Rio de Janeiro, lalu ke Tokyo sekali, di pagi nan amat permai.

Tinggal menunggu waktunya Rian, Hari, Togar, Sandoro, Farid, Ega meninggalkanku. Ega saja sudah lama sekadar bersepatah-dua di perimbas. Farid dan Sandoro sibuk di luar, keluar di dalam. Hari dan Togar karena sekantor, Rian karena sedang doktor. Pada waktunya nanti, 'ku mau tak seorang pun 'kan peduli. Aku ini binatang lajang, dari kumpulannya telanjang. Orang kebanyakan tidak tahan pada kegilaan. Aku pun. Seperti kambing yang ingin membasmi semua homoseksual dari muka bumi, kecewa ia pertama.

Entah bagaimana dulu 'ku merasa teh susu prenjak ini biasa-biasa saja. Jelas tidak istimewa rasanya, apalagi dibanding teh ma xxx. Satu-satunya keistimewaannya adalah harganya murah. Rasanya sekadar tertahankan. Namun mengapa pagi ini aku akhirnya sepakat dengan cantik, rasanya tidak enak. Apa karena aku sudah kebanyakan kepala gula pagi ini. Belum lama rasanya kurasakan saset-sasetan ini untuk kali pertama, tentu saja Indocafe campuran kopi, padahal itu sudah 30-an tahun yang lalu, t'lah lama sekali.

Ketika entri ini ditayangkan, tentu 'kan muncul perasaan masygul. Tidak teratur, tidak tertib, sesuai dengan aturanku, ketertibanku. Sungguh aku tidak suka mengatur menertibkan siapapun, bahkan diriku sendiri. Akan halnya entri harus teratur, harus tertib, itu sekadar mengurangi kesakitanku sendiri. Mengapa harus sakit 'ku tak tahu. Apa aku lupa caranya bahagia, apa aku harus belajar pada Ki Ageng Suryomentaram. Apa harus kuunggah pengetahuan jiwa bahagia satu dan dua di situs web bakti institut hukum adat. 

No comments: