Kreasi, konstruksi itu memakan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Sebaliknya, kau hanya membutuhkan sebungkus indomie goreng jumbo putih, sebutir telur, dua tahu bakso, dan sepotek gorengan chikunguya sok cerdik marugame udon untuk melakukan destruksi. Meski kau tahu bukan itu benar yang mendestruksi. Bahasa, kesukaanku dari lama, bahkan kian melelahkan. Aku terlambat sadar jika aku menyukainya, tapi biarlah. Aku menyukainya, namun seperti halnya segala sesuatu di dunia, ia tidak perlu menyukaiku balik. Aku hanya harus menyukai. Hidup itu butuh menyukai.
Segelas susu jahe emprit bakar sudah tandas. Aku sudah tidak punya tenaga untuk membela kehormatan, apalagi melakukan sesuatu ditenagai kebencian. Jikapun masih ada, tenagaku kiranya tersisa untuk mencinta. Lebih mengerikan lagi, jika aku masih hidup meski dalam fasa vegetasi mental, lantas aku butuh dicinta. Sekarang saja ketika aku masih sanggup mencinta tiada cinta bagiku. Bagaimana jika mentalku sudah sangat mundur sampai secerdas sawi, siapa yang 'kan sudi mencintaiku. Itulah sebabnya, secangkir merah kopi luwak putih kini menemaniku, di sini ini.
Bahkan kini bajigur panas yang ditulis tangan dengan cat kayu pada sepotong papan. Ini bajigur aduhai mantap. Manisnya ada tetapi sopan sekali. Kesukaan bapak, minuman ini. Sebelum ini, aku minum bajigur di Karawang sekali. Sayang suasananya kurang dapat dinikmati. Tidak seperti sekarang ini. Bertelanjang dada, berpeluh-keringat menghadapi meja kerja sendiri, menghadapi jendela berkasa nyamuk hastakarya istri sendiri, menghadapi kebun kecil depan rumah nan subur menghijau. Inilah kenikmatan hidup sejati, meski kesakitan demi kesakitan mendera.
Jika 'ku sedang mencoba bertahan satu cinta semacam ini, tiada rasa sakit yang 'ku rasakan. Hanya senyum keindahan, bukan senyum kehancuran, yang 'ku balas. Maka biarlah 'ku menyusuri kembali gang haji mahali, dengan masjid jami' khairatul musliminnya, meski anakku Fathia Rizki Khairani lahir di gang satunya lagi, gang kober, di tempat bidan haji hilah. Anakku Khairadhita-lah yang membuatku bertahan satu C-I-N-T-A. Anakku Aisyah Putri Nurafifah temanku sarapan, dan tentu saja anak kambingku satu-satunya Fawaz Hamdou Nitisemito. Empat inilah anakku.
Kini 'ku teguk seseruputan, atau 'ku seruput setegukan, entah berapa sandyakala telah kulalui dalam hidupku, entah berapa keindahan kunikmati. Perasaan mengganjal itu semoga segera pergi, karena itulah yang dapat kukendalikan. Satu lagi pejuang meninggalkan kita, begitu kata Takwa, tepat pada hari natal 2024 ini, Profesor Kaelan. Aku bukan pejuang. Aku keple. Maka mendekati tengah malam ini, aku masih belum terbiasa kehilanganmu, meski itulah yang harus kulakukan. Maka kuteguk lagi seseruput demi seseruput. Kuseruput lagi seteguk demi seteguk, Cinta.
Kausangka 'Gar, ya, kaukira kata-kata di sini hanya sekadar kuhamburkan saja sampai-sampai tak bermakna. Kau salah sangka, salah kira. Tiap makna yang terkandung dalam tiap kata kuletakkan hati-hati samping-menyamping, susul-menyusul. Mungkin tidak ada gunanya menjelaskan ini kepada kawanku Hari Prasetiyo, tapi Angga Priancha mungkin sudi mendengarkan penjelasanku. Makna di sini, alih-alih membentuk estetika semantik, justru menyusun estetika visual atau terkadang audio berselang-seling, atau suka-suka hatiku. Jadi lupakanlah dahulu rasio apalagi logika.
Alih-alih bapak penjaga parkiran indomaret KSU Tirtajaya, aku lebih seperti bapak yang berkantor di antara sinar garut baraya 2 dan pecel lele 212 tole iskandar. Sepertiku, bapak itu juga dengan cermat dan hati-hati menggunting-gunting bekas bungkus kopi sasetan atau entah bungkus apa saja, menyibukkan diri dengan kerajinan tangan. Namun, tidak sepertiku, siapa tahu apa yang berada dalam benak bapak itu. Siapa yang tahu apa yang membasahi bibirnya. Siapa tahu apa yang menggema dalam relung-relung jiwanya. Satu silabel saja, maka bapak itulah kasunyatan itu 'ndiri.
Segelas susu jahe emprit bakar sudah tandas. Aku sudah tidak punya tenaga untuk membela kehormatan, apalagi melakukan sesuatu ditenagai kebencian. Jikapun masih ada, tenagaku kiranya tersisa untuk mencinta. Lebih mengerikan lagi, jika aku masih hidup meski dalam fasa vegetasi mental, lantas aku butuh dicinta. Sekarang saja ketika aku masih sanggup mencinta tiada cinta bagiku. Bagaimana jika mentalku sudah sangat mundur sampai secerdas sawi, siapa yang 'kan sudi mencintaiku. Itulah sebabnya, secangkir merah kopi luwak putih kini menemaniku, di sini ini.
Bahkan kini bajigur panas yang ditulis tangan dengan cat kayu pada sepotong papan. Ini bajigur aduhai mantap. Manisnya ada tetapi sopan sekali. Kesukaan bapak, minuman ini. Sebelum ini, aku minum bajigur di Karawang sekali. Sayang suasananya kurang dapat dinikmati. Tidak seperti sekarang ini. Bertelanjang dada, berpeluh-keringat menghadapi meja kerja sendiri, menghadapi jendela berkasa nyamuk hastakarya istri sendiri, menghadapi kebun kecil depan rumah nan subur menghijau. Inilah kenikmatan hidup sejati, meski kesakitan demi kesakitan mendera.
Jika 'ku sedang mencoba bertahan satu cinta semacam ini, tiada rasa sakit yang 'ku rasakan. Hanya senyum keindahan, bukan senyum kehancuran, yang 'ku balas. Maka biarlah 'ku menyusuri kembali gang haji mahali, dengan masjid jami' khairatul musliminnya, meski anakku Fathia Rizki Khairani lahir di gang satunya lagi, gang kober, di tempat bidan haji hilah. Anakku Khairadhita-lah yang membuatku bertahan satu C-I-N-T-A. Anakku Aisyah Putri Nurafifah temanku sarapan, dan tentu saja anak kambingku satu-satunya Fawaz Hamdou Nitisemito. Empat inilah anakku.
Kini 'ku teguk seseruputan, atau 'ku seruput setegukan, entah berapa sandyakala telah kulalui dalam hidupku, entah berapa keindahan kunikmati. Perasaan mengganjal itu semoga segera pergi, karena itulah yang dapat kukendalikan. Satu lagi pejuang meninggalkan kita, begitu kata Takwa, tepat pada hari natal 2024 ini, Profesor Kaelan. Aku bukan pejuang. Aku keple. Maka mendekati tengah malam ini, aku masih belum terbiasa kehilanganmu, meski itulah yang harus kulakukan. Maka kuteguk lagi seseruput demi seseruput. Kuseruput lagi seteguk demi seteguk, Cinta.
Kausangka 'Gar, ya, kaukira kata-kata di sini hanya sekadar kuhamburkan saja sampai-sampai tak bermakna. Kau salah sangka, salah kira. Tiap makna yang terkandung dalam tiap kata kuletakkan hati-hati samping-menyamping, susul-menyusul. Mungkin tidak ada gunanya menjelaskan ini kepada kawanku Hari Prasetiyo, tapi Angga Priancha mungkin sudi mendengarkan penjelasanku. Makna di sini, alih-alih membentuk estetika semantik, justru menyusun estetika visual atau terkadang audio berselang-seling, atau suka-suka hatiku. Jadi lupakanlah dahulu rasio apalagi logika.
Alih-alih bapak penjaga parkiran indomaret KSU Tirtajaya, aku lebih seperti bapak yang berkantor di antara sinar garut baraya 2 dan pecel lele 212 tole iskandar. Sepertiku, bapak itu juga dengan cermat dan hati-hati menggunting-gunting bekas bungkus kopi sasetan atau entah bungkus apa saja, menyibukkan diri dengan kerajinan tangan. Namun, tidak sepertiku, siapa tahu apa yang berada dalam benak bapak itu. Siapa yang tahu apa yang membasahi bibirnya. Siapa tahu apa yang menggema dalam relung-relung jiwanya. Satu silabel saja, maka bapak itulah kasunyatan itu 'ndiri.
No comments:
Post a Comment