Mau dibuat berapa panjang. Apa tidak rusak dijepit begitu, meski sekarang memang lebih terang. Meski tidak ada bedanya juga diterangi atau tidak diterangi, aku tetap mengitiki dengan perasaan. Mengapa selalu terkenang olehku pagi-pagi di RSPAD, beberapa kali Bapak pulang, beberapa kali Bapak tinggal. Aku pulang, pergi tidak bersama Bapak. Tidak sampai dua tahun kemudian Bapak pulang ke haribaanNya. Sungguh tatakan-sentuh ini tidak ada gunanya. Layarnya 'kan sudah sentuh, buat apa ditataki lagi. Sampai kapan ini 'kan terus begini, 'kuhentikan karena nyata harus tidur.
Yang seperti telinga itu bukan telinga, melainkan insang, karena ia adalah semacam salamander, dan salamander adalah sebangsa amfibia. Setelah tertunda beberapa jam, akhirnya di sinilah aku. Sendiri memandang ke selatan, ke hujan yang menderas, ke anak-anak berpayung menembus hujan. Semoga mereka tetap kering, tidak kebasahan dan tidak kedinginan jadinya. Dari suaranya hujan terdengar mereda, namun di sini masih gelap, dan tak ingin aku menyalakan lampunya. Bisa jadi akuarium nanti. Maka biarlah aku di sini mengitiki sendiri, gelap begini, sendiri. Sungguh.
Di sini aku bersama kesendirianku, dan yang penting keheningan namun tidak benar-benar sendiri. Dalam jangkauan masih ada cantik, anak kambingnya, dan orong-orong atau semacam tonggeret begitu. Terlebih, jangan menyepelekan kecepatan seekor ketonggeng. Kalau tidak, kau akan menemukannya sudah berada di kakimu. Ketika itu terjadi, maka, seperti biasa, pura-pura tetap tenang dan siram saja ia dengan segayung air. Ketika itulah kau menyadari temanmu selalu hanya Michael sedari kecilmu di tepi apron timur sana. Aduhai sirip tegak Vickers Viscount itu.
Haruskah aku memulai mewedar makalah-makalah sufistik di sini. Bukan karena aku seorang sufi atau resi, melainkan sekadar karena hobi. Aku tidak punya hobi lain. Memang aku suka berkuda di rawa-rawa, tanah pekuburan, jurang neraka, gurun pasir, atau istana raja-raja atau penyihir. Aku juga suka mengikuti lekat-lekat perkembangan peradaban suatu bangsa. Semua kesukaan itu mungkin memang dapat membuatku menjadi cenderung sufistik metapsikotelekinetik. Namun dari mana lagi aku mendengar mengenai ilmu gabus meletik jika tidak dari apron timur itu.
Ah, sampailah kembali pada permainan-permainan terlarang ini. Permainan macam apa yang sungguh riang gembira seperti ini, seakan di hari cerah namun sejuk belaka; dan malam harinya terasa syahdu agak sendu. Ini sih bahasanya Nugroho Febianto. Ia sering menggunakan kata syahdu pada situasi dan suasana yang sama sekali tidak istimewa. Namun memang seperti itulah kesyahduan, jika kau benar-benar mengetahui: seperti kaldu ayam padahal air mendidih diberi bubuk dan minyak mie instan merek apapun. Ah, perumpamaan-perumpamaan bak perlawanan.
Tinggi di angkasa, apanya, siapa. Perasaanku. Seperti mengapung-apung di awan-awan putih, berarak-arak di langit biru. Nyaris tidak ada yang kuingat waktu-waktu ketika sang surya perkasa memanggang aspal-aspal luas tempat pesawat-pesawat udara hilir-mudik. Berpacu sampai terangkat ke udara, atau mengerem sejadi-jadinya sampai berhenti sebelum landasan habis. Begitu saja setiap harinya dulu. Hari-hari yang ketika berlalu kurindukan setengah mati. Sampai kuabadikan kubuat goblok begini, sampai-sampai akunya goblok sendiri. Bukan seandainya.
Sejak hari-hari itu, tidak pernah aku kembali kepada rutinitas itu. Bahkan ketika aku punya peluang besar untuk muwujudkannya bagi diriku sendiri, bahkan mungkin istri dan anak-anakku, aku malah bermain-main dengan laut dan pelabuhan. Dengan oli bekas dan karat-karat. Lho, di kompleks baru pun bau oli bekas, namun suasananya berbeda. Jauh berbeda. Kini inilah hidupku. Gendut mengitiki. Rasa tidak ingin makan menyakiti. Sekadar berjalan kaki setiap hari gagal menekuni. Untunglah pertanyaan mengenai ini tidak banyak jumlahnya di MMPI. Awas-awas bisa diketahui.
Yang seperti telinga itu bukan telinga, melainkan insang, karena ia adalah semacam salamander, dan salamander adalah sebangsa amfibia. Setelah tertunda beberapa jam, akhirnya di sinilah aku. Sendiri memandang ke selatan, ke hujan yang menderas, ke anak-anak berpayung menembus hujan. Semoga mereka tetap kering, tidak kebasahan dan tidak kedinginan jadinya. Dari suaranya hujan terdengar mereda, namun di sini masih gelap, dan tak ingin aku menyalakan lampunya. Bisa jadi akuarium nanti. Maka biarlah aku di sini mengitiki sendiri, gelap begini, sendiri. Sungguh.
Di sini aku bersama kesendirianku, dan yang penting keheningan namun tidak benar-benar sendiri. Dalam jangkauan masih ada cantik, anak kambingnya, dan orong-orong atau semacam tonggeret begitu. Terlebih, jangan menyepelekan kecepatan seekor ketonggeng. Kalau tidak, kau akan menemukannya sudah berada di kakimu. Ketika itu terjadi, maka, seperti biasa, pura-pura tetap tenang dan siram saja ia dengan segayung air. Ketika itulah kau menyadari temanmu selalu hanya Michael sedari kecilmu di tepi apron timur sana. Aduhai sirip tegak Vickers Viscount itu.
Haruskah aku memulai mewedar makalah-makalah sufistik di sini. Bukan karena aku seorang sufi atau resi, melainkan sekadar karena hobi. Aku tidak punya hobi lain. Memang aku suka berkuda di rawa-rawa, tanah pekuburan, jurang neraka, gurun pasir, atau istana raja-raja atau penyihir. Aku juga suka mengikuti lekat-lekat perkembangan peradaban suatu bangsa. Semua kesukaan itu mungkin memang dapat membuatku menjadi cenderung sufistik metapsikotelekinetik. Namun dari mana lagi aku mendengar mengenai ilmu gabus meletik jika tidak dari apron timur itu.
Ah, sampailah kembali pada permainan-permainan terlarang ini. Permainan macam apa yang sungguh riang gembira seperti ini, seakan di hari cerah namun sejuk belaka; dan malam harinya terasa syahdu agak sendu. Ini sih bahasanya Nugroho Febianto. Ia sering menggunakan kata syahdu pada situasi dan suasana yang sama sekali tidak istimewa. Namun memang seperti itulah kesyahduan, jika kau benar-benar mengetahui: seperti kaldu ayam padahal air mendidih diberi bubuk dan minyak mie instan merek apapun. Ah, perumpamaan-perumpamaan bak perlawanan.
Tinggi di angkasa, apanya, siapa. Perasaanku. Seperti mengapung-apung di awan-awan putih, berarak-arak di langit biru. Nyaris tidak ada yang kuingat waktu-waktu ketika sang surya perkasa memanggang aspal-aspal luas tempat pesawat-pesawat udara hilir-mudik. Berpacu sampai terangkat ke udara, atau mengerem sejadi-jadinya sampai berhenti sebelum landasan habis. Begitu saja setiap harinya dulu. Hari-hari yang ketika berlalu kurindukan setengah mati. Sampai kuabadikan kubuat goblok begini, sampai-sampai akunya goblok sendiri. Bukan seandainya.
Sejak hari-hari itu, tidak pernah aku kembali kepada rutinitas itu. Bahkan ketika aku punya peluang besar untuk muwujudkannya bagi diriku sendiri, bahkan mungkin istri dan anak-anakku, aku malah bermain-main dengan laut dan pelabuhan. Dengan oli bekas dan karat-karat. Lho, di kompleks baru pun bau oli bekas, namun suasananya berbeda. Jauh berbeda. Kini inilah hidupku. Gendut mengitiki. Rasa tidak ingin makan menyakiti. Sekadar berjalan kaki setiap hari gagal menekuni. Untunglah pertanyaan mengenai ini tidak banyak jumlahnya di MMPI. Awas-awas bisa diketahui.
No comments:
Post a Comment