Wednesday, November 20, 2024

Badai Biawak Menggigil, Terengah-engah. [Gila 'Lu]


Jika pun judulnya begitu itu, tidak berarti ini adalah suatu ceritera. Jika 'ku menganalisis kitikanku sendiri, itu karena tidak ada yang menganalisisnya. Jika 'ku mengitiki sambil memandang keluar jendela sementara di luar sana hujan menderas, jika pun badanku basah itu karena keringat. Itu karena habis makan bihun siram ayam yang cenderung asin, masih kutimpa dengan air hangat segelas lagi. Jika pun tidak rata kiri-kanan, itu karena kubablaskan saja enam. Percayakah engkau, karena kulanjut dengan atas-meja, maka ia menjadiku bertambah.
Sudah lama aku tidak bercerita seperti orang benar, terlebih mengenai keseharianku, terlebih mengenai apa-apa yang menimpaku. Apa yang dapat diketahui dari seseorang yang pura-pura gila, meski mungkin karena belum pernah diperiksa dengan seksama. Namun aku hampir saja berlarian telanjang, hanya berkaus dalam dan bercelana dalam kesempitan, namun kering. Hampir saja kulakukan itu di Alfamart Kedondong, Kemirimuka, Beji, Depok. Sungguh. Panjang, meski hanya di ujung-ujungnya saja. Meski hanya dua paragraf. Bertambah. Panjangnya.

Bisa saja aku lupa ini entri tentang biawak, gara-gara honda kocak. Bisa jadi honda kocak orang dengan gangguan jiwa yang harus terus meminum obat-obatan, psikotropika katanya, agar tetap cerdas. Bisa jadi aku, seperti halnya Soetan Bathoegana, diminta oleh kawan-kawan sebidang untuk menyerahkan surat keterangan sehat jiwa-raga. Untung aku tidak punya kawan-kawan, jangankan sebidang. Entah mengapa aku bertemu Mas Untung di samping sahabat lamanya, Mas Wirok, di PDRH. Mengapa tidak bisa: 'Ku kembali saja ke Jakarta 'kan terjadi; walaupun apa, 'Yang...'

Kebiasaan untuk menambahkan tanda-tandanya bunga asrama ingin bersemi sekali lagi, seakan-akan bermakna, atau tunawusana. Untuk apa kurung persegi itu, atau apostrof. Apa maknanya ia berada di situ. Mengapa dibuat sebaris sebaris seperti puisi kecerdasan itu, 'Cak. Mengapa lagi ada apostrof seakan ia mengganggu, seakan ia memang harus ada di situ. Keengganan untuk berbusana sepatutnya, selayaknya, apakah juga merupakan tanda-tandanya bunga asrama. Aku masih suka mandi. Aku tak tahan jika tak-mandi berlama-lama [kalimat ini ambigu].

Rabu pagi menjelang siang, seperti biasa, Awful sekolah. Cantik dan kambing berangkat ke kampus. Aku di rumah bersama biawak. Ketika ia mencoba masuk ke lemari baju, ketika kami sama-sama menggigil, terengah-engah, kubetot pada ekornya. Kulempar ia ke permukaan yang sedikit sekali memberinya traksi. Dalam keadaan seperti itu, biawak menganga lebar-lebar, mempertontonkan rahang mungilnya. Sungguh, seandainya saja kupaham bahasa biawak, ingin kukatakan padanya: 'Nak, biarkan aku menggendongmu, membawamu, meletakkan lembut-lembut'. 

Aha, akhirnya judul-judul tertuturkan sepatah demi sepatah, tinggal badainya. Badai, apa lagi yang harus dituturkan mengenainya di tengah krisis iklim ini. Zefanya bertanya, kapan mengembangkan mata kuliah hukum dan konservasi keanekaragaman hayati. Kukatakan padanya, itu 'kan untuk S2 sumber daya alam. Badai hanya terjadi di punggung bumi. Di perut bumi entah apa yang terjadi. Di perut Jane Doe entah ada apa saja: bunga beracun, lupa namanya, gigi yang dicabut, dibungkus kain kafan berajah. 'Nenek sihir dia, meski belum nenek-nenek', kata Sheldon.

Di titik ini aku teringat wanara, ke mana ia pergi. Sudah kutemukan dalam bentuk anak anjing agar mengibing. Mungkinkah ia menenangkan gejolak prahara yang mengaduk-aduk kesehatan jiwa. Tentu bukan ia, tapi aku tak ingin membicarakannya. Aku tak ingin berbagi apapun dengan apapun yang berada di punggung bumi. Apapun aku entah akan bersatu dengan isi perut bumi atau bagaimana aku tak tahu. Siapakah nanti yang diadili, aku atau aku, Dia yang mengadili. Selama masih berjasad gemuk begini, biar aku mengibing bersama anak anjing; jingkrak-jingkrak 'nyala berkobaran.

No comments: