Sunday, November 17, 2024

"Waktu Sudah Hampir Habis," Hampirku Mengkami


Hampir saja aku serius, maka kembali saja aku ke... mana: ke Indoremat gara-gara cantik nonton yutub mengenai bagaimana menjaga agar kulit dan rambut tidak rusak gara-gara kebanyakan kena klorin. Serius itu mau bahagia seperti Ki Ageng Suryomentaram. Pangeran-pangeran Jogja ini sebenarnya serius tidak, sih, Ki Hajar Dewantara, Gratianus Prika. Maka kembali saja aku ke 21 tahun yang lalu, ke sebelah Zoon entah sedang apa, sedang aku melatih Sun Jihai agar menjadi bek sayap serang yang dahsyat. Mengapa dari era itu aku ingatnya dia dan Peter Løvenkrands. Jadi susah. 
Dengan Advan Sketsa 3 ini, semua tak sama, tak pernah sama. Apa yang rata kanan, apa yang berapa baris, semua tak sama. Ya, sudah 'lah mari lakukan lagi. Hahaha, hanya dihilangkan apostrofnya saja langsung cukup. Meski kita semua tahu, apalah artinya cukup, apatah artinya kurang. Mengitiki memang selalu begini saja rasanya. Awal-awal terasa masakan tiap hari ada entrinya. Setelah bergubal dalam suasana hati sehari-hari, bersekebat bersekebit ke sana ke mari, tiba-tiba sudah lewat setengah bulan. Maka di Minggu berkabut berjelaga ini, di sini kembaliku.

Jelas tidak sama dengan entri-entri dari sepuluh tahunan lalu. Kini waktu menjadi sesuatu yang... uah, rasa-rasanya aku ingin berhenti lagi di sini. Rasa-rasanya seperti ingin menengok map hukum adat pindaian, demi mengingat bahwasanya hubungan antara individu dan masyarakat dalam hukum adat ada di bawah situ. Apa ada gunanya entah apa udara itu kata Boyan Hidayat, jelasnya kini ada yang bermimpi bervakansi ke pulau tropis. Ayo jangan berhenti, apapun itu, meski sebersit rasa bahagia karena mendengar suara anak perempuan sendiri; tetap terus'ku menulisi.

Aku bahkan tidak ingin bicara mengenai dunia, ada berapa pun ia, meski'ku merasa memiliki satu teori mengenai hukum yang refleksif, yang tentu saja relasional, yakni, relasi antara ingatan, hasrat, dan tindakan sebagai habitus dan keadaan nyaman-damai ataupun tidak pada persekitaran sosialnya sebagai arena. Habis ngomyang begini aku merasa agak baikan, maka kupenuhi lagi cangkir dengan air hampir mendidih. Semoga anak-anak perempuanku yang jauh-jauh di sana selalu berada dalam lindunganNya lahir batin; begitulah munajat cinta seorang bapak.

Tadinya aku ingin berteori mengenai doxa, episteme, dan aletheia di sini, tapi terlalu gaya-gaya'an macam betol; mana esok hari lebih baik adalah upaya artis-artis Cina Kanton untuk menyumbang bagi kelaparan Afrika seperti yang dilakukan Bob Geldof. Aku menyesal mencari tahu mengenai apa jadinya Tevin sedang kenanganku mengenai esok hari akan menjadi kamu lebih baik, aku lebih baik. Sekali lagi aku tak hendak bicara mengenai dunia yang manapun. Dunia cinta, dunia tua, dunia muda, ketika Bang Mansur bicara tentang dunia yang sudah tua. Samber gledek.

Apa harus kutulis di sini suatu ketika kunyuk-kunyuk dari jakarta empat dan gama dua itu datang ke Yado menghancurkan diorama yang susah-payah kami buat dengan senjata-senjata kami sendiri. Senjata-senjata adikku tepatnya, yang jika dibawa ke 30-an tahun ke depan terasa amat memilukannya. Aku sedang tidak kuat pilu dalam bentuk apapun, seperti halnya, sebenarnya aku tidak kuat makan apapun. Ini semua dipicu oleh malam ini laki-laki muda beranting-anting yang digilai anak-anak perempuan sebaya kami di kala itu. La la la 2x malam ini (sampai pudar).

Siakle ditunggu lama-lama ya pasti jadinya begitu-begitu saja. Aku sekadar membatin, akankah campuran ZTE yang dulu pernah bernama sucktwilite campur i-profile jadi suckprofile akan tetap sedap sampai kapan. Tidak. Ketika itu kuharap 'ku bertemu sedap-sedapnya Maha Sedap. Baca al-Kahfi dong makanya, setidaknya tiap Jumat. Bagaimana mau membacanya kalau masih terus-terusan mesum lahir batin. Ahahaha sudah hampir selesai ini setelah 10 harian lebih. Apa habis ini ada tenaga dalam untuk menyelesaikan yang diminta Harriet, jari-jemariku bersilang.

No comments: