Biarlah 'ku kembali ke 1985 itu. Bagiku tidak banyak berbeda sebelum atau sesudah Uti seda, kecuali ketika aku sok gaul menjawab "nenek gua isdet" ketika ditanya seorang kawan mengapa tidak sekolah dan diadukan kepada Ibu oleh adikku. Mukaku mulai terasa tegang karena perutku kemasukan kopi putih luwak, tapi ini bukan 1985. Pada ketika itu jangankan kopi, teh pun belum kuminum. Jikapun ada, mungkin susu Milco produksi PT. Sari Husada. Ketika itu aku sudah bisa membuatnya sendiri, bahkan mungkin kucampur bubuk cokelat Van Houten sesekali.
Namun tentu saja meninggalnya Uti membuat perbedaan besar bagi Akung dan Ibu. Aku boleh salah dan gagal, namun Akung dan Ibu tidak boleh. Ketika masih lebih muda, kata-kata ini meluncur dengan penuh kekuataan. Kini, hampir 40 tahun sejak 1985, entahlah. Hadi berkata bahwa kawannya berkata, nanti di usia 50-an akan muncul tenaga baru. Well, tukasku, katakan itu pada bapaknya Soni dan Fadhil. Di titik ini, seperti biasa, ingin kurentangkan kedua tangan tinggi-tinggi meraih angkasa, meminta pertolongan; bak perempuan lacur latah minta tolong.
Apakah ini kenangan mengenai cerpen-cerpen Kawanku, Ananda, Bobo, dan Tomtom, rasa tanpa daya ini. Apa sama Miftah Farid Hanggawan dengan Miftah Maulana Habiburrahman, sama-sama miftahnya. Biarlah cinta ini tidak pernah berakhir seperti ketika kali pertama kurasakan di lantai berubin kelabu atau berkarpet plastik biru muda. Begitu banyak cinta kurasakan dalam hidupku, tercurah perlahan mengaliri kalbu, seperti topi air yang sering kukenakan ketika kanak-kanak dahulu. Secangkir plastik merah kopi luwak putih sudah digantikan air agak panas.
Dapat kubayangkan ketika itu, aku masih SMP, begundal-begundal itu merundung Profesor Padmo. Nuwun sewu, saya membela Profesor! Meski terlambat, aku membela. Habis-habisan 'ku bela! Meski ketika cuti pertamaku di SMA Taruna Nusantara Prof. Padmo menuju alam keabadian, sekitar lima tahun kemudian kumulai pembelaanku kepadanya, sampai sekarang. Mengapa 'ku bela, aku tak tahu. Yang jelas, sekitar sepuluh tahun sebelumnya aku bertanya kepada Akung, Nazi itu apa. Akung mengira aku tertarik Perang Dunia Kedua. Aku tertarik Nazi.
Aku simpati pada nasional-sosialisme a la Hitler, tidak. Biasa saja, sebiasa pada komunisme apalagi demokrasi liberal. Pada Pancasila dan UUD 1945 aku bersumpah setia samber gledek jual es teh manis sampai goblok. Pada Nankai-sensei aku merasa akrab, karena aku priyayi jagoan hahaha. Ya, Har, 'Ian, aku priyayi jagoan, tidak seperti Gepeng Pusponegoro misalnya, atau Panji Sudoyo misalnya, semacam-semacam itulah. Kata Pak Try aku jagoan, meski Pak Try mengaku jelata ketika ditanya oleh Jenderal Jatikusumo. Bapakku juga priyayi, meski kecil. Priyayi desa, kata nenekku.
Itulah mungkin tepat hari ini delapan tahun lalu aku membuat soal, peran ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan nasional termasuk pelaksanaan (A) Kekaryaan, (B) Dwifungsi, (C) Sapta Marga, (D) Trilogi Pembangunan, (E) Cadek; sampai-sampai ibu Iva Altama turut menjawab. Benar-benar terlalu percaya diri. Mungkin benar juga insting Pak Harto menggembosi kekuatan politik ABRI di akhir 1980-an itu: Masa negara modern diselenggarakan dan diperintah oleh junta. Tak lama setelah itu, anak-anak tolol lulusan SMP berduyun-duyun daftar SMATN.
Kami, putra Nusantara, bersatu dalam tekad. Dengan jiwa kebangsaan, belajar dan berkarya 'tuk wujudkan cita-cita perjuangan bangsa kita. Mengabdikan darma bakti untuk Ibu Pertiwi. Bergerak ke medan ilmu, berkarya 'tuk budaya, bersetia bela Pancasila demi jaya Indonesia. Sampai hari ini, mungkin tinggal aku dan Takwa, entah ada lagi lainnya, yang gagal move on. Yang lain rata-rata sudah sibuk memberikan karya terbalik, aku masih begini-begini saja menyanyikan puji-pujian entah-entah bagi siapa. Salah-salah bisa terjebak penyembahan berhala aku ini.
Namun tentu saja meninggalnya Uti membuat perbedaan besar bagi Akung dan Ibu. Aku boleh salah dan gagal, namun Akung dan Ibu tidak boleh. Ketika masih lebih muda, kata-kata ini meluncur dengan penuh kekuataan. Kini, hampir 40 tahun sejak 1985, entahlah. Hadi berkata bahwa kawannya berkata, nanti di usia 50-an akan muncul tenaga baru. Well, tukasku, katakan itu pada bapaknya Soni dan Fadhil. Di titik ini, seperti biasa, ingin kurentangkan kedua tangan tinggi-tinggi meraih angkasa, meminta pertolongan; bak perempuan lacur latah minta tolong.
Apakah ini kenangan mengenai cerpen-cerpen Kawanku, Ananda, Bobo, dan Tomtom, rasa tanpa daya ini. Apa sama Miftah Farid Hanggawan dengan Miftah Maulana Habiburrahman, sama-sama miftahnya. Biarlah cinta ini tidak pernah berakhir seperti ketika kali pertama kurasakan di lantai berubin kelabu atau berkarpet plastik biru muda. Begitu banyak cinta kurasakan dalam hidupku, tercurah perlahan mengaliri kalbu, seperti topi air yang sering kukenakan ketika kanak-kanak dahulu. Secangkir plastik merah kopi luwak putih sudah digantikan air agak panas.
Dapat kubayangkan ketika itu, aku masih SMP, begundal-begundal itu merundung Profesor Padmo. Nuwun sewu, saya membela Profesor! Meski terlambat, aku membela. Habis-habisan 'ku bela! Meski ketika cuti pertamaku di SMA Taruna Nusantara Prof. Padmo menuju alam keabadian, sekitar lima tahun kemudian kumulai pembelaanku kepadanya, sampai sekarang. Mengapa 'ku bela, aku tak tahu. Yang jelas, sekitar sepuluh tahun sebelumnya aku bertanya kepada Akung, Nazi itu apa. Akung mengira aku tertarik Perang Dunia Kedua. Aku tertarik Nazi.
Aku simpati pada nasional-sosialisme a la Hitler, tidak. Biasa saja, sebiasa pada komunisme apalagi demokrasi liberal. Pada Pancasila dan UUD 1945 aku bersumpah setia samber gledek jual es teh manis sampai goblok. Pada Nankai-sensei aku merasa akrab, karena aku priyayi jagoan hahaha. Ya, Har, 'Ian, aku priyayi jagoan, tidak seperti Gepeng Pusponegoro misalnya, atau Panji Sudoyo misalnya, semacam-semacam itulah. Kata Pak Try aku jagoan, meski Pak Try mengaku jelata ketika ditanya oleh Jenderal Jatikusumo. Bapakku juga priyayi, meski kecil. Priyayi desa, kata nenekku.
Itulah mungkin tepat hari ini delapan tahun lalu aku membuat soal, peran ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan nasional termasuk pelaksanaan (A) Kekaryaan, (B) Dwifungsi, (C) Sapta Marga, (D) Trilogi Pembangunan, (E) Cadek; sampai-sampai ibu Iva Altama turut menjawab. Benar-benar terlalu percaya diri. Mungkin benar juga insting Pak Harto menggembosi kekuatan politik ABRI di akhir 1980-an itu: Masa negara modern diselenggarakan dan diperintah oleh junta. Tak lama setelah itu, anak-anak tolol lulusan SMP berduyun-duyun daftar SMATN.
Kami, putra Nusantara, bersatu dalam tekad. Dengan jiwa kebangsaan, belajar dan berkarya 'tuk wujudkan cita-cita perjuangan bangsa kita. Mengabdikan darma bakti untuk Ibu Pertiwi. Bergerak ke medan ilmu, berkarya 'tuk budaya, bersetia bela Pancasila demi jaya Indonesia. Sampai hari ini, mungkin tinggal aku dan Takwa, entah ada lagi lainnya, yang gagal move on. Yang lain rata-rata sudah sibuk memberikan karya terbalik, aku masih begini-begini saja menyanyikan puji-pujian entah-entah bagi siapa. Salah-salah bisa terjebak penyembahan berhala aku ini.
No comments:
Post a Comment