Ketak-acuhan bahkan bisa membosankan, bahkan berhati-hati dengan penggunaan kata dan ejaan. Tidak benar-benar bosan, tetapi perasaan berada di pangkal gang buntu, yang berarti kebuntuan itu sendiri. Jelasnya, aku tidak baru saja memulai. Jelasnya, entah apa yang kumulai dulu, di mana aku kini, ke mana 'ku menuju. Ketika perumpamaan hebat bahkan lunglai tak berdaya di hadapan gadis-gadis muda awal duapuluhan. Ketika kecerdasan buatan pun sampai pada simpulan yang sama. Semua kalimat-kalimat tak-selesai, tak-sempurna, rata kiri-kanan.
Masih sekitar sepertiga jebung lagi teh jawa. Rasa tehnya jadi ala kadarnya, apalagi gulanya, karena yang penting airnya, setengah liter lebih kurasa. Entri-entri begini semakin lama semakin tidak berdaya. Membuatnya pun terasa seperti memaksakan diri. Apakah dulu gunting-gunting begitu juga, ada waktu-waktunya mengalir begitu saja, ada waktu-waktunya dipaksakan tidak jadi apa-apa. Sepuitis kulit ari-ari, Ari Setiawan sudah mati, kapten laut teknik itu. Apa yang membuatnya teknik, apa yang membuatku pelaut, psikologi katanya, entah'lah tepatnya.
Hahaha para kecerdas-bukan-buatan ini pasti merasa aku sungguh tidak lucu, meminta mereka memahamiku dari kitikan-kitikan tunamakna ini. Padahal kurang dari setengah jam lagi aku harus mendengarkan bocah mengoceh entah-entah mengenai UUD 1945, aku malah di sini mengitiki ditemani secangkir sedang teh susu prenjak berkepala gula sungguh besarnya. Kata-kata ini diberondongkan, jika tidak dihentikan, diberi tanda baca, menghambur berhembalangan. Tanda-tanda baca, seperti tanda-tanda zaman, seperti tanda-tanda badan sendiri, menyedihkan hati.
Berjam-jam sudah berlalu sejak 'ngoceh-'ngoceh membocah mengenai amandemen pertama sampai keempat. Aku tidak mau bertekad-tekad sebagaimana tak hendak'ku bernekad-nekad. Aku, lelaki paruh baya yang buruk kesehatan dan kesegaran jasmaninya. Itu takkan terjadi lagi [dalam bahasa Italia], dimainkan dengan riang tidak oleh kapital ventura, tetapi oleh antonius ventura. Ya, begitu saja sebelum Mama Leone, yang pernah kunyanyikan dengan nada 'ku belum cukup umur [juga dalam bahasa Italia]. Kau yang membaca ini mungkin 'kan menyangka'ku gaya-gaya'an.
Kini kuseruput lagi teh susu prenjak berkepala besar gulanya dengan air banyak-banyak, yang bahkan kutambahkan lagi air hangat cenderung panas sebanyak itu. Ahaha, dari etiketnya langsung tampak bahwa ini untuk Lucia. Nyaman. Adakah ini semua di kaset ibu yang sampulnya jauh lebih sopan dari aslinya. Etiket ini pun tidak berani kuklik, entah bagaimana jika harus menggantinya nanti. Nah, akhirnya sampai juga'ku belum cukup umur bagi Lucia. Perlu kutekankan di sini aku cuma begitu-begitu saja bermusik. Mungkin cukup berbakat, tapi ya hanya begitu saja.
Kesedapan ini, yang tidak lagi diproduksi karena pasarnya hilang, takkan hilang begitu saja dari hati sanubariku. Namun itu dari tadi malam. Kini seharian bermendung dan badanku, kurasa, sedang menyesuaikan dengan perubahan cuaca ini. Jika ingat seminggu kemarin panasnya Illahi Rabbi, sekarang sudah tidak panas lagi. Secangkir cokelat belgia panas kuseruputi meski tanda bahaya sudah berbunyi. Aku benar-benar lupa bagaimana rasa chocomel gelap, dan tidak ada kerugiannya pula pada itu. Sedikit pun aku tidak keberatan bahkan meski tanpa seruputan. Aku siap. Insya Allah.
Tepat di sini sinar matahari menyuak tabir awan yang telah menghalangi hampir sepanjang pagi. Tidak bisa lain, rata kanan-kiri memang memberi kenyamanan, seperti ladang yang berkeliling, delapan petak jumlahnya, di seputar lumbung berkincir angin untuk menggiling bebijian menjadi tepung. Seperti rumah-rumah para samurai yang berbaris rapi dalam benteng Kiyoshu. Aku memang tidak lagi mengelola benteng, kota, propinsi, bahkan peradaban sekali. Entah akankah kulakukan lagi, entah kapan, tapi ratanya kanan kiri, untuk sementara ini, 'njadi kenyamananku.
Masih sekitar sepertiga jebung lagi teh jawa. Rasa tehnya jadi ala kadarnya, apalagi gulanya, karena yang penting airnya, setengah liter lebih kurasa. Entri-entri begini semakin lama semakin tidak berdaya. Membuatnya pun terasa seperti memaksakan diri. Apakah dulu gunting-gunting begitu juga, ada waktu-waktunya mengalir begitu saja, ada waktu-waktunya dipaksakan tidak jadi apa-apa. Sepuitis kulit ari-ari, Ari Setiawan sudah mati, kapten laut teknik itu. Apa yang membuatnya teknik, apa yang membuatku pelaut, psikologi katanya, entah'lah tepatnya.
Hahaha para kecerdas-bukan-buatan ini pasti merasa aku sungguh tidak lucu, meminta mereka memahamiku dari kitikan-kitikan tunamakna ini. Padahal kurang dari setengah jam lagi aku harus mendengarkan bocah mengoceh entah-entah mengenai UUD 1945, aku malah di sini mengitiki ditemani secangkir sedang teh susu prenjak berkepala gula sungguh besarnya. Kata-kata ini diberondongkan, jika tidak dihentikan, diberi tanda baca, menghambur berhembalangan. Tanda-tanda baca, seperti tanda-tanda zaman, seperti tanda-tanda badan sendiri, menyedihkan hati.
Berjam-jam sudah berlalu sejak 'ngoceh-'ngoceh membocah mengenai amandemen pertama sampai keempat. Aku tidak mau bertekad-tekad sebagaimana tak hendak'ku bernekad-nekad. Aku, lelaki paruh baya yang buruk kesehatan dan kesegaran jasmaninya. Itu takkan terjadi lagi [dalam bahasa Italia], dimainkan dengan riang tidak oleh kapital ventura, tetapi oleh antonius ventura. Ya, begitu saja sebelum Mama Leone, yang pernah kunyanyikan dengan nada 'ku belum cukup umur [juga dalam bahasa Italia]. Kau yang membaca ini mungkin 'kan menyangka'ku gaya-gaya'an.
Kini kuseruput lagi teh susu prenjak berkepala besar gulanya dengan air banyak-banyak, yang bahkan kutambahkan lagi air hangat cenderung panas sebanyak itu. Ahaha, dari etiketnya langsung tampak bahwa ini untuk Lucia. Nyaman. Adakah ini semua di kaset ibu yang sampulnya jauh lebih sopan dari aslinya. Etiket ini pun tidak berani kuklik, entah bagaimana jika harus menggantinya nanti. Nah, akhirnya sampai juga'ku belum cukup umur bagi Lucia. Perlu kutekankan di sini aku cuma begitu-begitu saja bermusik. Mungkin cukup berbakat, tapi ya hanya begitu saja.
Kesedapan ini, yang tidak lagi diproduksi karena pasarnya hilang, takkan hilang begitu saja dari hati sanubariku. Namun itu dari tadi malam. Kini seharian bermendung dan badanku, kurasa, sedang menyesuaikan dengan perubahan cuaca ini. Jika ingat seminggu kemarin panasnya Illahi Rabbi, sekarang sudah tidak panas lagi. Secangkir cokelat belgia panas kuseruputi meski tanda bahaya sudah berbunyi. Aku benar-benar lupa bagaimana rasa chocomel gelap, dan tidak ada kerugiannya pula pada itu. Sedikit pun aku tidak keberatan bahkan meski tanpa seruputan. Aku siap. Insya Allah.
Tepat di sini sinar matahari menyuak tabir awan yang telah menghalangi hampir sepanjang pagi. Tidak bisa lain, rata kanan-kiri memang memberi kenyamanan, seperti ladang yang berkeliling, delapan petak jumlahnya, di seputar lumbung berkincir angin untuk menggiling bebijian menjadi tepung. Seperti rumah-rumah para samurai yang berbaris rapi dalam benteng Kiyoshu. Aku memang tidak lagi mengelola benteng, kota, propinsi, bahkan peradaban sekali. Entah akankah kulakukan lagi, entah kapan, tapi ratanya kanan kiri, untuk sementara ini, 'njadi kenyamananku.
No comments:
Post a Comment