Friday, January 03, 2025

'Dud Badud Sekarang 'Nyong Monyong Sembarang


'Kurasa ini sejenis dengan pamur yang kemudian menjadi pencak angkatan muda rasio[nal]. Betul-betul menyiksa bagi yang punya masalah penutupan (closure problem). Meski begitu menulisnya, ini bukan mengenai kesenian badud dari pedalaman Pangandaran. Hanya saja jika menyanyikannya, aku suka membacanya seperti itu, dengan 'dal', sehingga harus di-qolqolah, sehingga terdengar seperti 'badudu'. Memang penjelasan yang sangat berguna... tapi ya sutra lah, let's do it again. Mari seruput lagi teh jawa dalam cangkir plastik besar teh tong tji kesukaanku.
Ini sebenarnya mengenai badut-badut yang berkeliaran di jalan-jalan Jakarta dan pinggirannya, meski ketika menyebut "badut", yang dimaksud Bang Iwan Fals adalah anggota-anggota dewan perwakilan rakyat atau penyelenggara negara dan pemerintahan pada umumnya. Jika sampai di sini, salahkah aku jika kembali ke 1997, ketika begitu semangatnya aku mempelajari hukum kenegaraan. Salahkah aku jika tiga tahun sebelumnya tidak ada yang mendukungku secara emosional kecuali ibu, bapak, dan adik-adikku. Aku sekadar bocah yang kasihan, tiada sesiapa menyayangi.

Siapa sangka akhirnya aku sendiri jadi badut. Mengapa tidak kubeli saja topeng badut dari karet di awal 1990-an itu, yang bentuknya memang menyeramkan, yang membuat takut maminya Bunbun. yang karenanya akan dilempar bapak. Malam ini, cintailah aku malam ini tidak pernah berhenti menyamankanku entah sejak kapan. Sejak di kamar praktek dr. Hardi Leman itu kurasa. Apalah namanya itu, musik-musik manis keemasan, bergambar air terjun. Entah ke mana perginya, takkan kembali, seperti segala sesuatu dalam hidup ini berputrefaksi. Mari busuk bersama.

Jadi badud ini semacam seni pertunjukan, dengan beberapa pemeran mengenakan kostum bagong alias babi hutan, kera atau lutung, dan harimau sang raja hutan. Selain itu ada dua orang mengenakan topeng seperti yang terlihat dalam gambar. Aku tak hendak menganalisis apapun, jangankan di sini, di benak pun tak. Seperti halnya dengan badut-badut yang bertebaran di tepi-tepi jalan-jalan Jakarta dan pinggirannya, takkan kukomentari. Aku bahkan takkan bertanya-tanya apa sebabnya Ronald McDonald sudah tidak ditemui lagi di Indonesia, Ronald dan gengnya itu.

Selama ini hanya 'ku batin. Baru kali ini 'ku ungkap. 'Ku rasa, Pak Albert Nainggolan Lumbanraja sudah meninggal. Sampai beberapa tahun yang lalu beliau terus gigih menganjurkan. Sudah beberapa tahun ini tidak 'ku terima lagi anjurannya. Aku seharusnya bangga, karena banyak tokoh nasional sekaliber Mbak Titiek Soeharto yang juga menerima anjuran itu. Begitulah hidup seorang pejuang, secara beliau adalah seorang marinir korps baret ungu, pantang menyerah selama hayat masih dikandung badan. Jika benar dikau telah tiada, Pak Albert, aku masih terus berjuang. 

Memperjuangkan apa, dengan perut membuncit begini, kepala botak begini. Uah, mungkinkah seorang lelaki dan seorang perempuan yang mengiringi dansa step Howard Wolowitz sebelum bercengkerama dengan Letnan Kara Thrace dan Bernadette Rostenkowski di ranjangnya -meski ketika ia kebingungan, George Takei muncul mencoba menambah kebingungannya- adalah rendisinya Paolo Mantovani. Meskipun semenjak 1 Januari 2025, teori ledakan besar tidak lagi dapat ditemukan di bioskop jejaring jelantara, aku tak ambil peduli. Biasa. Biarlah baygon jadi baygon.

Ya sutra lah let's do it again! Biar saja aku bersenda-canda di salju sambil menenteng kantong belanjaan. Kemudaan yang sudah tidak terlalu muda namun tetap tersia-siakan. Menjulur-julur selalu kian kemari, seperti kepala bodoh versi bintara peleton Huda dari Batalyon Sikatan. Bintara peletonku sendiri sebetulnya Sersan Muslih asli Madura, komandanku Letnan Kalok Awidura. Ah ya, di sinilah akhirnya aku benar-benar mendapat ranjang bawah, di atasku Kristiono. Dari pintu, ranjang kami kedua di kanan; di pojok Suryo Triatmojo (bawah) / David Hastiadi (atas).

Thursday, January 02, 2025

Delirium, Desiderium, dan Debilitatum: Gharāniq


Penggunaan istilah-istilah latin dan arab di sini tidak berarti apa-apa. Tidak seperti Gunawan Mohamad yang menggunakan istilah-istilah ajaib seraya memaknainya. Istilah-istilah ini semata-mata untuk gaya-gayaan. Sekadar untuk membuat jengkel Hari Prasetiyo van Cemeng. Sekadar untuk menunjukkan bahwa aku ini keturunan bangsawan yang hidupnya selalu enak. Selalu cukup pangan, sandang, papan, bahkan bergelimang kemewahan berupa pengetahuan dan kebijaksanaan dari seluruh dunia. Namun tetap saja sakit hatinya bila teringat cinta kirik, ya, anak anjing itu.
Itu karena hatiku masih berdegup-degup. Apa jadinya nenek moyang penutur bahasa austronesia ketika menyadari ia merancukan hati (liver) dengan jantung (heart). Yang tidak mungkin rancu adalah perhiasan-perhiasan yang tampak dari luar, yang menggelantung indah bagai bebuahan ranum. Ya, kata 'gantung' di situ harus diberi sisipan 'el' untuk menekankan betapa tidak hanya satu, tetapi dua. Meski entah secara genetis atau mungkin juga karena trauma bisa jadi tidak stereo, apapun itu, selalu sanggup membuat hati berdegup agak lebih kencang dari biasa. 

Maka kuajak saja Dalida ketemuan di Lavandou. Selalu saja Dalida dan selalu di Lavandou dari kecilku. Sedang anak-anak lelaki di generasiku berkhayal mengenai Lasmini khayalan Niki Kosasih, aku sudah menempelkan kepalaku rapat-rapat pada kehangatan dan kelembutan Dalida. Dan bagaimana caranya memberitahu kalian, anak-anak orang susah, apa itu Lavandou. Sebuah desa nelayan yang nyaman di selatan Perancis, menghadap ke Laut Tengah. Dapatkah kalian bayangkan silir-semilir udara laut diselang-seling harum lavender, kepalaku dielus Dalida.

Kini, setelah paruh baya, aku hanya bisa berdoa agar semua anak perempuan di dunia menjadi curahan kasih-sayang bapak-bapaknya, sehingga mereka tahu apa itu kasih-sayang dalam keluarga. Aku mungkin memang asosial bahkan antisosial sekaligus, namun aku tahu persis apa itu keluarga. Bapak dan ibuku memberiku dan adik-adikku sebuah keluarga yang utuh dan sepenuhnya berfungsi. Aku tahu bagaimana bapakku berusaha bahkan sampai melampaui batas kemampuannya untuk menjadi bapak terbaik bagi adik-adik perempuanku. 'Moga surga baginya. 

Lantas musim dingin yang hanya nyaman jika kita menemukan cara untuk tetap hangat. Jika tidak, maka musim dingin bisa berarti kematian. Itulah sebabnya akhir Oktober diperingati untuk mengenang orang-orang mati setiap tahunnya di negeri-negeri belahan utara. Akhir Oktober juga sering dijadikan batas terakhir untuk menuai apapun yang disemai, karena setelahnya hari-hari akan semakin pendek dan malam-malam semakin panjang dan dingin. Ini sekadar pamer pernah menghabiskan lengkap empat musim di negerinya langsung, terutama kepada yang belum pernah.

Bapaknya Sonny pernah membuatku menjadi anggota rombongan sirkus hahaha; sedang apapun yang tersisa padaku adalah dosa-dosa yang besarnya setara mahameru. Jika ada yang bertanya apa hubungan antara dua premis yang dihubungkan dengan 'sedang' maka kau harus bertemu Lisa. Tanyakan padanya. Ia pernah meninggalkan di rumahku potretnya. Aku tidak yakin, namun mungkin kalau tidak 8R ya 10R sekali ukurannya. Besar sekali. Aduhai apa benar yang terjadi padanya. Tanya Lisa mengapa premis satu harus masuk akalmu hubungannya dengan premis lainnya. 

Tidak harus, biar kubantu menjawabnya, Lis'. Apa kau tidak pernah dengar mengenai pilihan F di mana pernyataan dan alasan kedua-duanya salah namun menunjukkan hubungan sebab-akibat. Aku jauh lebih baik dari itu. Terkadang premis atau konklusinya kubuat benar, bahkan seringkali keduanya benar, meski mungkin bagimu tidak menunjukkan hubungan sebab-akibat. Lantas kau menggunakan matematika untuk menguji ada-tiadanya hubungan, dan merasa bahwa konklusimu lebih sahih, lebih absah. Berarti kau belum tahu dentuman. Apa itu dentuman.

Apa yang dapat membuatmu tahu apa itu dentuman 

Wednesday, January 01, 2025

Selamat Tahun Baru 2025. Fantastisisme Bermula


Jika aku sampai mengitiki, maka aku kesepian. Kugelitiki sekujur badanku sendiri, tiada yang geli. Entah aku punya ajian zirah emas dari kuil shaolin atau bagaimana. Cium-ciuman yang lebih manis dari anggur merah yang selalu memabukkan diri kuanggap belum seberapa dahsyatnya bila dibandingkan dengan kecupanmu selalu membuatku lesu darah. Kalimat sepanjang ini tanpa tanda baca apapun, seperti cahaya lampu berbahasa Perancis yang kunyanyikan dengan lirik salah dengar asal bunyi. Aa sembunyi, 'ku diapusi oleh buku lagu biarkan itu menjadiku ensiklopedia.
Mengapa aku masih berada di luar graha, di dinginnya udara malam Magelang setelah terompet istirahat malam berbunyi. Lampu-lampu taman menyala di antara graha, memendar cahayanya menembus melalui kaca-kaca buram. Tiga tahun di situ tidak pernah aku kebagian kasur bawah. Kelas satu di atas almarhum Ari Setiawan, kelas dua di atas Iron Setiawan, kelas tiga di atas Eri Budiman. Pernah ding sebentar di bawah Setyo Wibowo. Ya hanya tiga bulan itu kurasakan kasur bawah. Tiga bulan dalam tiga tahun hasilnya sesungging senyum di hangatnya sinar mentari.

Dengan pemandangan taman jurasik bagasnami dan jalanan blok mama, kupejamkan mataku untuk menyesapi cinta yang tak pernah kurasakan. Aku sekadar balon yang ditiup dengan penuh semburan liur ke dalamnya, bergulung-gulung tanpa daya. Terkadang dihembus angin lalu, teronggok di aspal berbatu setengah basah. Ditemu anak kecil, diinjak benjret. Kurentang lengan-lenganku menggapai entah apa. Uah, siapa sangka 'ku 'kan berhasil denganmu, nyaman-nyamannya, empuk-empuknya, belai-belai sayangnya, selalu saja dari entah bila-bila. Sayang, kau tahu bahwa...

...mimpi adalah bagi mereka yang tidur. Hidup adalah bagi kita untuk dijaga. Dan apabila kau bertanya-tanya apa maksud ini semua, aku ingin bersamamu mencapainya. Aku benar-benar berpikir kita akan berhasil. Namun sekarang adalah perayaan melodi yang tidak pernah berhenti cantik sejak bapak cina tua itu menjual lotere dan nasi uduk berlauk tempe bersambal. Seperti halnya sampai kini kesejukan minyak oles obat hidung yang bermula dari minyak lemon dari Gus Dut tidak pernah berhenti membelai-belai kepalaku yang sudah gundul sekali: 'ku sugus bukan agus. 

Satu-satunya yang patut dicatat di sini hanyalah bahwa 1 Januari 2025M ini bertepatan dengan 1 Rajab 1446H. Inilah sesungguhnya yang benar-benar harus dirayakan, seperti hakikat taqwa teronggok di meja berdebu. Di bawah tumpuk-tumpukan barang-barang fana, sedang seluruh alam ciptaan ini fana. Memang begitulah hakikat taqwa: mutiara terpendam. Di atasnya bertumpuk-tumpuk beban kegelapan menyelimuti, bahkan cangkang keras. Butuh usaha yang lebih keras untuk memecahnya. Mutiara'tu diselimuti otot lembut, mudah terluka hanya oleh pasir sebutir.

Lantas apa yang seperti dua potong oncom goreng tepung. Apa yang seperti dua mangkuk mie ayam wonogiri donoloyo. Makna dilambangkan dengan bunyi yang dilambangkan dengan gurat-guratan pada media penyimpan. Yang diingat adalah makna atau bunyinya, namun terkadang juga lambangnya. Suatu keteraturan yang mantap menuju satu-satunya tujuan: kehancuran. Bahkan itu pun bukan. Ketiadaan. Apalagi ini. Kau merasa tiada karena kau merasa ada. Ada dan tiada. Kosong itu Isi itu kosong. Di titik ini seperti biasa kujulurkan apa yang terasa seperti lengan.

Meski Jabadehat sempat beringsut-ingsut lewat mengecer-ecer lendirnya ke mana-mana, salah satu simpananku dalam laci-laci benak yang acap keluar dengan sendirinya adalah suatu simpulan mengenai kesedihan yang kiranya menetap seumur hidup. Namun aku memilih untuk mengenang latarnya, yakni stipwong ketika masih berada di lantai dua margo siti. Itu pun jika kau menyebut lantai yang berdiri sejajar dengan permukaan tanah lantai satu. Kenangan-kenangan itu biarlah berlalu, seperti berlalunya segala sesuatu dari sudut pandangku. Sesatunya yang 'ku tahu.