Kurasa aku merindukanmu, Parto. Buktinya aku terus berbunyi-bunyi wekokek wowet meski tidak sampai cuwak apalagi cuwek. Mungkin juga kurindukan tawa lirihmu yang terkekeh-kekeh di gelapnya malam. Kurasa waktu itu sudah kemarau, mungkin juga aku sudah menjadi mahasiswa hukum. Ah, identitas-identitas nirdaya. Bahkan ketika di pinggang celanaku tersemat medewerker pas, aku masih tak berdaya. Sejauh ini, tambah tua justru tambah tak berdaya. Kupandangi dunia yang terus muda, aku menua. Kupaksa-berondongkan kata-kata sampai membentur.
Namun di pojokan ini aku nyaman, setelah tergeletak di atas sepiteng merasa merana. Di sini dapat tak kupedulikan seberapa banyak usiaku, ini bisa jadi kapanpun di manapun dalam hidupku yang masih. Tidak banyak berubah perasaan dan pikiranku. Mukaku pasti masih tidak enak. Kini mereka sekeluarga telah pergi, bapak, ibu, dan ketiga anak perempuannya. Aku ingin kembali ke Plasa Depok lantai atas, di Hokben ketika namanya masih Hoka-hoka Bento, atau di Pizza Hut. Dari mana aku punya uang untuk membelinya adalah pertanyaan yang enggan usai menyakiti nurani.
Lantas Abrakebab, perkenalan pertamaku dengan kapsalon. Ya, semua unsur ada di situ, bahkan mungkin kentang gorengnya sekali. Beberapa kali kumakan lagi kemarin ketika seminggu di Amsterdam, aduhai betapa asinnya. Teringat Wokchef yang seringnya menyamankan malam-malamku di Kraanspoor 25 D8, begitu juga dengan Chopstix yang aduhai mahalnya. Bagaimana dengan Mas Wirto yang rutinitasnya terhenti, "ditidurkan" katanya. Kami sama-sama veteran pawang dinosaurus. Aku hanya beberapa jam, ia sebulan penuh, mungkin lebih, Mas Wirtosaurus.
Diremas keras, lemas sudah hampir 15 tahun yang lalu. Ketika itu masih Gemini dan tentunya dengan irfon berkabel. Teringatku pada irfon jepit yang dihubungkan kabel bersarung kain, kabel jeknya dapat menggulung sendiri ke salah-satu fonnya jika ditarik. Bertahun-tahun ia bersamaku, menyintas dinginnya Maastricht dari musim panas 2008 ke musim panas 2009. Masih sempat kubawa pulang kembali ke tempatnya berasal, sampai ketika kubiarkan ia di atas meja di gudang LKHT lantai 4 itu, bantalan busanya dimakan tikus. Masih di pojokan ini mengamat-amati.
Menengok ke kanan, seorang perempuan menggoyang-goyangkan kepala ikut menyanyikan lagu yang berkumandang dari pelantang. Aku sendiri saja bersama masa lalu, kawan sejati yang tak pernah meninggalkanku. Ia, meski lalu, terpampang jelas di hadapanku. Meski mataku melihat segalanya, konter pukis yang tidak banyak kesibukan, dua meja kosong di hadapanku, yang bermain masa laluku belaka. Tertulis besar-besar "pesan di sini". Ada juga dari tadi pikiran terus mengganggu tentang kafe pojokan yang kukunjungi sambil membawa seamplop lembar jawaban ujian t'sisa.
Seorang perempuan berwajah sederhana kini duduk di hadapanku, sedang suaminya [kurasa begitu] yang sama botak dan gendutnya denganku membayar dan menunggu pesanan. Akankah kenangan ini kembali seterang ini ketika kubaca kembali entri ini di lain hari, Insya Allah. Aku mulai tidak senang di pojokan sini. Tentu saja, tempat-tempat seperti ini terlalu hiruk-pikuk bagiku, dan aku hanya dapat berpura-pura abai. Entah apa sebabnya, perempuan itu dan suaminya pindah duduk ke sebelah kiriku, membelakangi, dapat kulihat rambutnya t'lah beruban di sana-sini.
Aku ingin pulang. Mungkin tidak jauh dari Centraal untuk menunggu trem nomor 26 jurusan Ijburg. Tentu saja aku turun di Zuiderzeeweg, ketika seorang perempuan dengan wajah yang jauh lebih seadanya lagi jalan-jalan dengan mulut mengunyah-ngunyah. Ia duduk bersama dua orang laki-laki yang hanya dapat kuterka satu bapaknya satu saudara laki-lakinya. Mungkin ia mirip bapaknya, sedang saudara laki-lakinya mirip ibunya. Ternyata ada satu lagi perempuan di meja itu yang tak dapat kulihat wajahnya karena bertudung hoodie. Kubelikah minuman hangat.
Namun di pojokan ini aku nyaman, setelah tergeletak di atas sepiteng merasa merana. Di sini dapat tak kupedulikan seberapa banyak usiaku, ini bisa jadi kapanpun di manapun dalam hidupku yang masih. Tidak banyak berubah perasaan dan pikiranku. Mukaku pasti masih tidak enak. Kini mereka sekeluarga telah pergi, bapak, ibu, dan ketiga anak perempuannya. Aku ingin kembali ke Plasa Depok lantai atas, di Hokben ketika namanya masih Hoka-hoka Bento, atau di Pizza Hut. Dari mana aku punya uang untuk membelinya adalah pertanyaan yang enggan usai menyakiti nurani.
Lantas Abrakebab, perkenalan pertamaku dengan kapsalon. Ya, semua unsur ada di situ, bahkan mungkin kentang gorengnya sekali. Beberapa kali kumakan lagi kemarin ketika seminggu di Amsterdam, aduhai betapa asinnya. Teringat Wokchef yang seringnya menyamankan malam-malamku di Kraanspoor 25 D8, begitu juga dengan Chopstix yang aduhai mahalnya. Bagaimana dengan Mas Wirto yang rutinitasnya terhenti, "ditidurkan" katanya. Kami sama-sama veteran pawang dinosaurus. Aku hanya beberapa jam, ia sebulan penuh, mungkin lebih, Mas Wirtosaurus.
Diremas keras, lemas sudah hampir 15 tahun yang lalu. Ketika itu masih Gemini dan tentunya dengan irfon berkabel. Teringatku pada irfon jepit yang dihubungkan kabel bersarung kain, kabel jeknya dapat menggulung sendiri ke salah-satu fonnya jika ditarik. Bertahun-tahun ia bersamaku, menyintas dinginnya Maastricht dari musim panas 2008 ke musim panas 2009. Masih sempat kubawa pulang kembali ke tempatnya berasal, sampai ketika kubiarkan ia di atas meja di gudang LKHT lantai 4 itu, bantalan busanya dimakan tikus. Masih di pojokan ini mengamat-amati.
Menengok ke kanan, seorang perempuan menggoyang-goyangkan kepala ikut menyanyikan lagu yang berkumandang dari pelantang. Aku sendiri saja bersama masa lalu, kawan sejati yang tak pernah meninggalkanku. Ia, meski lalu, terpampang jelas di hadapanku. Meski mataku melihat segalanya, konter pukis yang tidak banyak kesibukan, dua meja kosong di hadapanku, yang bermain masa laluku belaka. Tertulis besar-besar "pesan di sini". Ada juga dari tadi pikiran terus mengganggu tentang kafe pojokan yang kukunjungi sambil membawa seamplop lembar jawaban ujian t'sisa.
Seorang perempuan berwajah sederhana kini duduk di hadapanku, sedang suaminya [kurasa begitu] yang sama botak dan gendutnya denganku membayar dan menunggu pesanan. Akankah kenangan ini kembali seterang ini ketika kubaca kembali entri ini di lain hari, Insya Allah. Aku mulai tidak senang di pojokan sini. Tentu saja, tempat-tempat seperti ini terlalu hiruk-pikuk bagiku, dan aku hanya dapat berpura-pura abai. Entah apa sebabnya, perempuan itu dan suaminya pindah duduk ke sebelah kiriku, membelakangi, dapat kulihat rambutnya t'lah beruban di sana-sini.
Aku ingin pulang. Mungkin tidak jauh dari Centraal untuk menunggu trem nomor 26 jurusan Ijburg. Tentu saja aku turun di Zuiderzeeweg, ketika seorang perempuan dengan wajah yang jauh lebih seadanya lagi jalan-jalan dengan mulut mengunyah-ngunyah. Ia duduk bersama dua orang laki-laki yang hanya dapat kuterka satu bapaknya satu saudara laki-lakinya. Mungkin ia mirip bapaknya, sedang saudara laki-lakinya mirip ibunya. Ternyata ada satu lagi perempuan di meja itu yang tak dapat kulihat wajahnya karena bertudung hoodie. Kubelikah minuman hangat.





















