Wednesday, September 17, 2025

Bagaimana Dapat 'Ku Jelaskan Simfoniku, Sesatuku


Ini cerita tentang sebatang tiang lampu dari bambu, diikat-ikat begitu. Lampunya LED bertudung logam dicat hijau. Sayang aku baru sarapan. Kalau tidak, tadi suasanya seperti Ramadhan. 'Ku lepas lagi kacamataku, karena menatap lurus ke layar Lenovo Aio 520 baik-baik saja. Akan halnya kerinduan akan lepasnya udara, mudanya usia menerpa, seperti itu saja hidup di dunia. Seperti satu-satunya cinta mendayu dari sekitar 30 tahun lalu, disenandungkan biji-biji. Menyeruput Prendjak yang kemencur tapi sangat berpengalaman, meski berbiang gula, diriku merasa seperti bupati.
Seorang bapak yang penuh kasih, nyaris seperti seorang ibu. Seorang ibu yang keras tekad, nyaris seperti seorang bapak. Seperti itu saja hidup di dunia. Mas Kulin itu hanya bagus kalau mencari cat hijau kulit ketupat--awas, bukan telur asin--ke kota. Lebih dari itu, apalagi dibanderol sebagai maskulinitas, adalah ketololan kanak-kanak. Tidak perlu lagi hidup dalam kemaluan, apalagi ketakutan. Kita telah bakar ujung-ujung jari-jemari, maka sekalian saja melompat ke dalam api. Mental seperti itulah yang membawaku pada suasana kejiwaan seperti ini. T'lebih tinggi dari tinggi. 

Tidak, aku tidak mau berbicara mengenai Rp 600 ribu. Bahkan mengingat kengeriannya saja tidak. Lebih baik 'ku bicara tentang kemanisan. 'Ku takkan mengacau, 'ku takkan mengecewakan. Percayalah padaku, seribu bulan. Ini bukan sastra. Ini bukan puisi. Ini menyayat kulit ari bukan hati. Keringat yang mengucuri sekadar gegara air teh panas setengah liter, bukan yang lain-lain. Sampainya aku di sini memimpin bala tentara Tipu Sultan menghancurkan bala tentara Taira no Masakado. Mungkin aku tidak ditakdirkan memimpin tentara apapun kecuali sultan tipu-tipu ini.

Pak Dirman, Pak Harto, mustahil mereka telah membayang-bayangkan apa jadinya mereka ketika masih di Rembang dan Kemusuk. Aku tidak tahu Park Chung-hee dan Park Tae-joon. Apa yang 'ku bayangkan ketika di Kemayoran lalu Kebayoran. Akan halnya Viper memimpin kucing-kucing besar semacam Panther, Jaguar, dan Puma, itu semacam iris telinga mama. Melalui tahun-tahun itu, 20 tahunan terakhirnya dicatat di sini, sebelum-sebelumnya di mana-mana, seperti menghambur dari menara gereja. Seandainya Natalie bersamaku, mungkin akan 'ku gambar denah. 

Dengan perut penuh tahu campur vegan 'ku teruskan entri ini, yang kini menulisnya saja tersendat-sendat. Satu paragraf berhenti. Satu alinea berhenti. Apakah ingin 'ku rasakan kembali Sutasoma, mungkin enak jika tanpa Tribrata. Aku 'kan terus maju, itu saja. Ke depan, ke hari esok, seperti Stuart. Dari hari ke hari, ketika semakin sedikit menarik perhatian, semakin sedikit kesenangan. Endorfin bukan adrenalin, itu yang tersisa bagi lelaki botak gendut paruh baya bergaya hidup buruk. Bisa saja 'ku pandang rumah bertingkat di pojokan itu. 'Ku pandangi saja tak mengapa.

Di tepi Cikumpa aku duduk dan tersedan. Di kakiku ada setumpuk, tepatnya sebelas eksemplar biar tenggelam, biar mengapung. Semoga nasibnya tidak sama dengan privatisasi di abad keduapuluh satu, langkah maju atau mundur; atau, apakah kewajiban Indonesia terhadap pada perikanan laut lepas, atau apalah yang ditulis Mbak Eka Sri Sunarti tetanggaku di Antena IV. Aku hanya ingin pulang entah ke mana. Aku selalu suka semua kamar-kamarku, bahkan yang di Kees Broekmanstraat, Kraanspoor, Sint Antoniuslaan. Apalagi yang di Babe Tafran, Jang Gobay.

Sambil menunggu, semoga aku bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi nusa, bangsa, negara, dan agama seperti yang dinasihatkan Suketi. Uah, beliau pasti seorang profesor hebat. Ya Allah, bahkan berolok-olok saja aku sudah tidak punya tenaga. Apa ini waktunya untuk sok serius, sok melaksanakan nasihat Suketi. Entahlah. Aku hanya mencoba maju, ke depan, beringsut-ingsut pun tak apa, meski langkah terhalang perut penuh kuah tahu campur. Insya Allah, akan sampai waktuku ketika tak seorang pun 'kan merayu. Tak perlu sedu-sedan itu. Aku ini binatang t'lanjang, der.

No comments: