Wednesday, October 01, 2025

Mengingati Hari Kesaktian Havanagila Lubangbuaya


Kata-kata tak berdaya. Aku hanya dapat membayangkan diriku bergerak-gerak. Apa sanggup, sampai kapan 'ku sanggup begini terus, ketika hari-hari tanpa bayangan saja membuatku terus-menerus merasa demam begini. Saluran pernapasan bagian atas selalu terasa lucu, apalagi irama cha-cha jaman ruang angkasa riang meningkahi. Siapa lagi yang butuh kaset, sidi, bahkan koleksi empetri, jika mengitiki bisa begitu saja bercha-cha-cha di satu jendela yang sama. Aku yang tidak berdaya ketika perwira pertamaku menasihati dentam-dentam cinta remaja bukan lagi bagianku.
Menghirup-hirup cokelat panas seharga Rp 19.000 masih lebih murah daripada Rp 58.000, apalagi di dalam laboratorium hukum yang terkadang di dalamnya suka ada Abu Rizal Biladina yang suka belajar hukum tata negara. Ini pasti terdengar sepertiku ketika gaya-gaya'an membantah artikelnya almarhum Bang Hendra Nurtjahjo mengenai fungsi DPR. Hari lain, patah-hati lain memang lagu tema yang cocok untuk keadaan seperti ini, namun terharu-biru jelas tidak lagi bekerja bagiku, bahkan berolok-olok begini. Ini HP11-Cb, jadi harus mento'kanan.

Betapa senangnya Amy dan Howie menari-nari sambil berharmoni ikut bernyanyi bersama Neil Sedaka. Ketiganya Yahudi. Beberapa tahun yang lalu aku masih dapat larut dalam kesenangan seperti itu. Kini bahkan istriku sendiri tidak peduli pada keseimbangan hormonalku, antara endorfin dan kortisol. Dan kata Mbak Dina bentukku seperti almarhum Pak Adijaya Yusuf, mengapa tidak Bang Safri Nugraha sekalian; orang-orang baik semua itu. Orang-orang mati semua. Entah mengapa urutannya 'gini, setelah gadis kalender disusul selamat ulang tahun ke-16.

Raja badut, sampai hari ini sungguh sulit 'ku mengerti mengapa ibuku suka lagu ini. Memang hampir semua dari Neil Sedaka aku suka sampai-sampai aku kesulitan kalau disuruh memilih satu. Tapi raja badut, seperti memandang ke kejauhan anak-anak belasan tahun atau awal 20 tahunan berjalan bergerombol laki-laki dan perempuan. Bagiku itu adalah pertengahan 1990-an, namun sekarang sudah 30 tahun kemudian, 2020-an. Masa-masa Bang Law masih perkasa sudah lama berlalu. Lagu-lagu dewa murahan saja sudah seperempat abad berlalu. Tua dunia ini terasa.

Dan begitu saja gadis nakal membersamaiku seperti ketika salju turun menderas di akhir 2008 itu di Maastricht. Gadis nakal ya Cantik. Bambungan tepatnya. Nakal minta ampun tidak sembuh-sembuh, tapi 'ku rasa begitulah yang 'ku suka. Dan begitu saja ia berlalu seperti datangnya, disusul oleh suatu melankoli ketika aku menangis sepenuh hati untukmu, yang tidak pernah berwajah berupa. Tak sudi pula 'ku beri wajah dan rupa. Apakah hidupku adalah suatu kisah kejayaan atau sekadar kekonyolan [awas! jangan diganti 't']. Demi bapakku, harus timbul terus maju jaya!

Apakah ketujuh orang yang berakhir hidupnya di pinggiran sumur tua Lubang Buaya itu jaya atau konyol. Namanya bertebaran di seantero Nusantara sebagai jalan-jalan utama. Tidak hanya yang tujuh itu, ditambah Katamso, Sugiono, dan Karel Sadsuitubun. Jadi semua ada sepuluh. Itu tidak boleh dikatakan konyol [awas! jangan diganti 't', demi Toutatis, Minerva, dan apapun yang melata]. Yang konyol itu aku. Mungkin aku hanya harus sedikit menguatkan diri untuk tetap konyol seperti ini. Mengapa 't' tepat berada di sebelah kiri 'y' 'gini di kibor qwerty.

Meski pikiran-pikiran mengerikan terkadang berkebit mengebat di kepala, mungkin tidak semengerikan perasaan Kolonel Katamso ketika tengkoraknya retak dihantam kunci mortir dan ia terjatuh ke dalam lubang yang akan menjadi kuburannya. Konon ia sempat berkata bahwa ia mencintai Bung Karno. Cuih, buat apa lagi cinta seorang Kolonel Katamso, ketika Bung Karno saat itu bergelimang cinta istri-istrinya [atau jangan-jangan tidak, sampai ia masih membutuhkan cinta seorang Kolonel Katamso]. Begitulah caranya mengakhiri hidup sedang dimulai di Sragen.

No comments: