Wednesday, September 10, 2025

Cancut Tali'Wanda Tahu Koq Tanya Saya. Mas Mul


Keepikan yang baru terlihat ketika cahaya memadai adalah tanda bahwa engkau hidup sudah hampir setengah abad lamanya. Dan aku tidak boleh merasa tua. Ketika bentuknya masih kaset dan hanya beberapa saja lagunya--mungkin tidak sampai 20, itu saja sudah epik. Apalagi sekarang empat kalinya. Keepikan yang tercapai lebih dari 20 tahun lalu. Untuk apa pula 'ku kenang-kenang masa itu. Kini waktunya menatap masa depan entah berapa lama lagi tersisa dan untuk apa. Tidak ada lagi kesenangan 'ku harap-harapkan, ketika gardu belajar saja t'lah 'ku lupakan. Seadanya. 
Ya, seharusnya judulnya terbangkan aku ke Bulan. Bulan atau Jupiter atau Mars, tetapkan hatimu. Jakarta atau Taklamakan sama saja. Tapi kalau disuruh memilih, aku lebih suka Jakarta. Lebih dekat. Bagaimana aku bisa lupa nama beliau. Entah mengapa gagasan ini lekat di benakku, dan aku menuduh beliau yang melakukannya. Masih teringat matanya yang membulat, giginya yang agak jantuk, atau memang. Uah, seperti Hitler, seharusnya aku masuk sekolah seni dan ditolak. Tidak seperti Hitler, aku masuk Akademi Angkatan Laut betulan lalu dikeluarkan. Napoleon tidak.

Aku yang kini sanggup membeli cokelat panas tomoro tanpa banyak berpikir namun masih saja malam terakhir bersenandung di telingaku. Kemudaan sudah lama ditinggalkan, sedang cantik saja sudah pensiun. Di hadapanku bertebaran kemudaan kecuali satu. Mungkin beliau yang bertopi bisbol York baru itu bahkan lebih tua dariku. Meski hanya berkaus polo tampak benar kalau beliau lebih beruang dariku, dengan kumis yang disemir. Kalau tidak disemir kumis putih di ujung-ujungnya. Ini justru di pangkal, berarti memang terang disemir. Kalau aku kumis klimis disemur.

Jelasnya, Mas Suhari ternyata seumuran benar dengan pak dekan. Kesehatannya mungkin lebih kacau dariku ketika kami sama-sama periksa kesehatan. Seandainya belum terpasang itu dadaisme mungkin akan 'ku abadikan apa yang terpampang di depan mata-mataku yang, Puji Tuhan, masih berfungsi dengan baik untuk melihat kejauhan. Ia hanya bermasalah untuk membaca atau melihat dekat. Melihat kejauhan nyaman-nyaman saja, seperti'ku dibuai-muai Venezuela dari mudaku, dari kecilku. Uah, nikmatnya tak berkurang sedikit juga. Bertambah-tambah...

Kepik cantik, ternyata itu selama ini. Selamat tinggal kepik cantik. Aku mengenalnya kali pertama dari Eddie Calvert baru Nat King Cole. Bahkan masa mudaku diisi oleh stasiun ketuaan-ketuaan terbaik di kotamu yang ada setangkup haru dalam rindu. Tokai! Hari-hari berlalu begini saja, dari pernah memangku pengisi daya HP-11CB sampai kini memangku inti suara A20i sedang diisi daya. Hahaha meski bau tahi telinga kau, mahal hargamu. Ini sudah bukan duniaku lagi itu jelas. Aku tinggal lagi menumpang di sini sambil sebisaku melakukan yang terbaik bagi semua.

Betapa tragis 'dikit berkumis. Semanis apapun buah apel, semerah apapun menggairahkan, sehijau apapun lugu, berakhir jadi seonggok tahi entah di kloset sebelah mana. Aku bahkan sudah tidak tahu lagi lebih baik kloset berbiawak atau tidak berbiawak. Sedang arah jam sembilanku anak-anak perempuan berbentuk seadanya menawar-nawarkan evi asinan yang 'ku yakin tidak mungkin Rp 18,000 harganya. Baru saja menulis ini tiba-tiba cantik muncul di belakangku membawa paspor-paspor bervisa agak ashar. Maka bergeraklah kami ke lantai dasar biar tidak keburu terjebak macet.

Maka kami menghabiskan petang hingga malam bersama dengan Jimbung dan saudara-saudara sepupunya Jokowi dan Sajojo. Tentu saja ada Mas Tom, Ameng, Maminya Jimbung, Budenya Jimbung dan Utinya Jimbung. Lalu ada pula Mbak Nung. Sehari sebelumnya aku pun di situ tapi tidak bersama cantik, malah ada Pakde Hari dan Ustadz Atul; bahkan sampai lewat Maghrib dihabiskan bersama dengan Pak RT. Mengajar kelembagaan paginya, ke kuncit siangnya, sampai di rumah setengah sebelas malam. Segala pujian hanya bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.

No comments: