Suatu kesepian yang mendamba di tengah hiruk-pikuk tempik sorak-sorai. Suatu kesendirian yang mengapung-apung di tengah awan-awan sekadar memandang. Seekor merpati putih yang--seperti semua saja merpati--terbang sesuka hati. Tidak perlu pula aku mendoakan merpati-merpati harapan-harapan akan baik-baik. Seperti merpati-merpati di Maastricht atau Amsterdam, banyak yang kakinya cacat. Meski belum pernah melihat sendiri, katanya ada juga yang paruhnya cacat. Kalau tidak salah aku pernah melihat di sebuah gambar atau beberapa meski tiada yang putih.
Seperti sekarang ini udara dalam senar G tidak berdaya menyekatku dari hiruk-pikuk lalu-lintas Jakarta di jam pulang kantor. Maka dengan perut melembung kembung dan pinggang celana yang terlalu ramping aku mengitiki. Seperti apa rasanya... aku sudah lupa, karena ini dari entah berapa minggu lalu. Sekarang situasiku tidak jauh beda, jika tidak lebih parah. Dalam keadaan seperti ini, percuma saja 'ku rasa menyumbat telinga dengan apapun. Sekarang bahkan belis-belis ini main petak umpet di sini. Edan. Dunia macam apa tempatku hidup ini. 'Ku harus hidup pun.
Nah, mulai dari paragraf ini, takkan jadi catatan hari pun, terlebih laporan pandangan mata. Aku hanya bisa berharap, seperti segala sesuatu, ini pun akan berlalu. Seperti angin bertiup di sisiku, ooh, ooh. Ini semua ku telah mengerti: semua di dunia, semua di dunia, tiada yang abadi. Apalagi sekadar biang-biang yang mengeluarkan belis-belis ini. Jika tidak seperempat, mungkin satu jam lagi. Kalau sudah tidak tahan, aku tinggal menyingkir. Mungkin di hari permintaan tolong ini, yang lantas diliburkan ini, biang belis memanfaatkannya untuk membawa belis-belisnya keluar.
Benar 'kan. Aku tidak mengukur berapa lama tepatnya, tapi belis-belis bersama biang-biangnya sekali yang pada bermobil sudah hilang dari pandangan mata. Ya, setidaknya dari pandangan mata. Apakah kini sudah setenang pagi ketika hanya ada dirimu, suara berbisik-bisik, dan lagu-lagu lama daur-ulang. Belum, tapi ini jauh lebih baik dari setengah jam yang lalu. Setua ini, sedikit sekali yang masih menarik perhatianku. Inikah waktu mewedar kebijaksanaan. Adakah aku memilikinya atau sekadar berkhayal memilikinya. Alat tunjuk-tunjuk yang utara belum kosong juga.
Uah, bahkan sekarang aku dapat mendengar terlalu [cepat] gembira. Aku tidak pernah membacakan fatihah untukmu, John. Untungnya, kau pun bukan paus. Jadi, meski 'ku melakukannya, mungkin netijen Malaysia tidak akan menertawakanku. Terlalu gembira memang identik denganmu entah mengapa. Sekarang yang sepertimu yang masih tersisa tinggal Mang Imas. Apakah aku sebaik kalian, 'ku rasa tidak. Aku masih terlalu sombong dan itu menjengkelkan bagi siapapun. Sedikit sekali dari kalian yang dapat dikatakan menjengkelkan, hampir tidak ada malah, aku rasa.
Mengapa pojokan sini terasa lebih dingin dari biasanya. Haruskah aku geser ke tempat di mana kadang angin hangat menghembus. Anginnya sih aku tidak berkeberatan. Orang lalu-lalangnya itu yang menjengkelkan. Uah, setelah belis-belis dan biang-biangnya, sekarang masalah dingin ini membuatku gelisah seperti siap-siap bergeser dari tempat pantatku menempel kini. Lagipula mengapa aku harus memilih tempat ini. Sudah banyak sekali 'ku habiskan sekadar gara-gara berada di tempat ini. Jangan-jangan, menulis di Omah Kranjinya Nugroho amat menginspirasi.
Namun sangat bisa jadi, suasana sepoi-sepoi seperti Omah Kranji justru membuatku mengantuk. Ya Allah, pekerjaan apa yang cocok untukku. Pertanyaan tolol macam apa itu. Apapun keadaanmu berusahalah berbuat sebaik mungkin sambil berharap yang terbaik. Begitu saja terus setiap hari. Langit siang ini bermendung. Entah siang terik atau bahkan malam dingin kita tidak pernah tahu. Bayangkan rasanya jadi Jesse. Kaki terjepit, mungkin remuk, udara dingin memenuhi paru-paru. Adakah Tom bersamanya sampai akhir, atau terpaksa harus meninggalkannya. Entah.
Seperti sekarang ini udara dalam senar G tidak berdaya menyekatku dari hiruk-pikuk lalu-lintas Jakarta di jam pulang kantor. Maka dengan perut melembung kembung dan pinggang celana yang terlalu ramping aku mengitiki. Seperti apa rasanya... aku sudah lupa, karena ini dari entah berapa minggu lalu. Sekarang situasiku tidak jauh beda, jika tidak lebih parah. Dalam keadaan seperti ini, percuma saja 'ku rasa menyumbat telinga dengan apapun. Sekarang bahkan belis-belis ini main petak umpet di sini. Edan. Dunia macam apa tempatku hidup ini. 'Ku harus hidup pun.
Nah, mulai dari paragraf ini, takkan jadi catatan hari pun, terlebih laporan pandangan mata. Aku hanya bisa berharap, seperti segala sesuatu, ini pun akan berlalu. Seperti angin bertiup di sisiku, ooh, ooh. Ini semua ku telah mengerti: semua di dunia, semua di dunia, tiada yang abadi. Apalagi sekadar biang-biang yang mengeluarkan belis-belis ini. Jika tidak seperempat, mungkin satu jam lagi. Kalau sudah tidak tahan, aku tinggal menyingkir. Mungkin di hari permintaan tolong ini, yang lantas diliburkan ini, biang belis memanfaatkannya untuk membawa belis-belisnya keluar.
Benar 'kan. Aku tidak mengukur berapa lama tepatnya, tapi belis-belis bersama biang-biangnya sekali yang pada bermobil sudah hilang dari pandangan mata. Ya, setidaknya dari pandangan mata. Apakah kini sudah setenang pagi ketika hanya ada dirimu, suara berbisik-bisik, dan lagu-lagu lama daur-ulang. Belum, tapi ini jauh lebih baik dari setengah jam yang lalu. Setua ini, sedikit sekali yang masih menarik perhatianku. Inikah waktu mewedar kebijaksanaan. Adakah aku memilikinya atau sekadar berkhayal memilikinya. Alat tunjuk-tunjuk yang utara belum kosong juga.
Uah, bahkan sekarang aku dapat mendengar terlalu [cepat] gembira. Aku tidak pernah membacakan fatihah untukmu, John. Untungnya, kau pun bukan paus. Jadi, meski 'ku melakukannya, mungkin netijen Malaysia tidak akan menertawakanku. Terlalu gembira memang identik denganmu entah mengapa. Sekarang yang sepertimu yang masih tersisa tinggal Mang Imas. Apakah aku sebaik kalian, 'ku rasa tidak. Aku masih terlalu sombong dan itu menjengkelkan bagi siapapun. Sedikit sekali dari kalian yang dapat dikatakan menjengkelkan, hampir tidak ada malah, aku rasa.
Mengapa pojokan sini terasa lebih dingin dari biasanya. Haruskah aku geser ke tempat di mana kadang angin hangat menghembus. Anginnya sih aku tidak berkeberatan. Orang lalu-lalangnya itu yang menjengkelkan. Uah, setelah belis-belis dan biang-biangnya, sekarang masalah dingin ini membuatku gelisah seperti siap-siap bergeser dari tempat pantatku menempel kini. Lagipula mengapa aku harus memilih tempat ini. Sudah banyak sekali 'ku habiskan sekadar gara-gara berada di tempat ini. Jangan-jangan, menulis di Omah Kranjinya Nugroho amat menginspirasi.
Namun sangat bisa jadi, suasana sepoi-sepoi seperti Omah Kranji justru membuatku mengantuk. Ya Allah, pekerjaan apa yang cocok untukku. Pertanyaan tolol macam apa itu. Apapun keadaanmu berusahalah berbuat sebaik mungkin sambil berharap yang terbaik. Begitu saja terus setiap hari. Langit siang ini bermendung. Entah siang terik atau bahkan malam dingin kita tidak pernah tahu. Bayangkan rasanya jadi Jesse. Kaki terjepit, mungkin remuk, udara dingin memenuhi paru-paru. Adakah Tom bersamanya sampai akhir, atau terpaksa harus meninggalkannya. Entah.
No comments:
Post a Comment