Saturday, November 01, 2025

Ketika Kau Membutuhkan Cinta, Perawatan, Kasih


Sudah lama aku tidak berkarya sambil bertubi-tubi menahankan pukulan telak ratu, baik yang pertama maupun kedua. Terlebih kini, urutannya sudah sesuai abjad, semakin aku tidak mengenalinya. Dunia ini menua tapi terus-menerus muda. Sungguh tidak berdaya ungkapan ini, tidak sanggup menghasilkan apapun darinya, kecuali teman akan terus menjadi teman. Entah mengapa pagi ini aku kembali ke Cimone Gama Satu memandang ke arah lapangan voli. Sebelum menjadi begitu, bisa jadi tempat itu juga sawah, kebun, atau bahkan hutan kecil. Semua saja begitu. 
Batu dan gulung, aku memang dari dulu cuma pura-pura tangguh, agresif, pemarah, intimidatif, suka berbuat onar dan berkelahi. Padahal aku ini cupu abiest. Aku jelas bukan Danny apalagi Mary. Aku bahkan tidak mungkin menjadi Injun, Seabags, atau Speedy. Apalagi LQ, Constantine, Levin, Andy, terlebih Sersan Burnside. Tadinya aku berpikir bisa jadi Joe, tapi bahkan ini pun mustahil. Sudahlah, jadi Richard Bulan saja aku tak bakal tahan, apalagi Lucky Namo yang tidak seberuntung namanya. Aku menginginkan semuanya. Aku legiun karena kami banyak, katanya ke Roj.

Ketika Gen-Z saja sudah beranak pinak, ketika Gen-Y beringsut-ingsut mendekati paruh baya, aku ingin lepas bebas; ya, aku yang Gen-X ini. Ketika Gen-Z mulai mencoba menguasai dunia, berpikir bahwa kesuksesan di situ letaknya, ketika Gen-A bahkan sudah mulai berkhayal mengenai menguasai dunia dengan apapun yang mereka pikir dapat diusahakan sendiri, atas daya-upaya sendiri, aku beringsut-ingsut mendekati kegilaan walau hanya di tengah-tengahnya saja. Ketika bisaku hanya begini saja, mengitiki ketiak sendiri yang terus saja berambut lagi. 

Ketika Pangeran Andrew dicopot segala atribut kebangsawanannya oleh Raja Charles III karena urusannya dengan Jeffrey Epstein, ketika itulah 'ku tahu dunia ya memang selalu begini saja. Aku masih harus terus berusaha karena toh nyatanya masih hidup, masih sehat kata dokter Kamto. Kucing yang tidak punya dosa saja mengalami sakaratul maut yang begitu menyakitkan, apalagi manusia, apalagi aku. Berondongan gulungan pada tambur senar, pada tom, dentaman pada bass ganda berpedal ganda, gemuruh timpani yang mengikuti tenang nan melenakan. Hidupmu berat.

Aku, sementara itu, melakukannya untuk cinta. Namun aku yang paling payah, karena aku gembar-gembor. Betapa banyak manusia di dunia ini, dari segala jaman, dari segala negeri, yang melakukannya dalam bisu seribu bahasa, dusta sejuta kata, seperti induk kucing, induk kutu, apapun yang lebih nista lagi dari itu dalam pandangan manusia. Aku lebih nista, jauh lebih menjijikkan dari semua itu karena karunia berupa pikiran dan perasaan, yang padahal seharusnya mengikatku hanya padaNya, menjadi cahaya penerang. Aku pengecut besar mulut. Nyaliku sebesar biji sawi.

Sampai kapan perendahan diri ini akan terus berlangsung, sampai diri-rendah ini musnah! Tergeletak di tanah berdebu penuh kotoran. Nafas satu-satu hanya tinggal untuk menyebut namaNya. Nama siapa lagi yang patut disebut. Orang tua memberi nama karena cinta, meski itu Buang. Mengapa orang santai saja hidup tanpa radiks, tanpa esensi, seperti batang pisang mati yang ditancapkan pada sumur tua, sumur maut Lubang Buaya. Hei, ini sudah sebulan berlalu masih saja. Bagaimana tidak, pernahkah kau dipapar pada kengerian hampir seumur hidupmu.

Tidak menjadi masalah, siapapun dapat melihatnya [gong tipis, atau simbal besar, dipukul]. Bass, senar dan tambur, dibetot dan ditendang. Perut pun memulas. Seminggu yang lalu aku masih meluncur di awang-awang dalam kecepatan tinggi. Aku tak merasakannya, namun gemuruh mesin jet tak henti-henti selama 16 jam menjaminnya. Segala puji dan puja hanya pantas bagiNya yang menguasai seru sekalian alam. Segala kekuatan semata kehendakNya, segala kelemahan mustahil bagiNya, Maha Suci Ia dari kelemahan dan kekurangan. Maha besar, Maha Mulia. 

No comments: