Sunday, September 21, 2025

Norma Keluarga Kecil Berencana Bahagia Sejahtera


Apakah ini akhir dari wekokek meski bukan wowetcuwak. Bagaimana sampai tujuh lima tujuh lima sampai lima dua lima berakhir digantikan rata kanan kiri yang aduhai menjengkelkan, seperti entah siapa menyanyi mengkek-mengkek dia kira bagus. Entri macam apa yang dibuka dengan cara seperti ini. Bagaimana caraku dulu pergi ke kringloop entah apa di Maastricht, lebih bagaimana lagi mengapa aku tiba-tiba teringat padanya. Semua ini buyar karena aku berusaha mencarinya di peta. Jadi, seperti biasa, 'ku biarkan saja berlalu. Diriku lupa ini harus sampai mentok kanan.
Permainan pikiran 'ku rasa ada dalam koleksi, referensi satu-satunya di mana aku mengenal perempuan atau wanita, lelaki pencemburu, dan tentu saja bayangkan. Di situ ada pula mimpi nomor sembilan, ibu, oh cintaku, cinta itu nyata, termasuk bagaimana kau tidur. Beberapa memang boleh 'lah, karena bagaimana pun ia adalah salah satu penulis lagu andalan sepanjang sejarah. Namun mungkin tenaga kreatif manusia (laki-laki?) mencapai puncaknya pada usia 20-an. Usia 30-an masih ada tersisa, namun mendekati 40-an berkreasi tidak ayal terasa seperti menyeret ekor.

Yah, 'ku sumpal saja kedua lubang telingaku dengan jez daya otak seperti sudah hampir 10 tahunan terakhir ini. Ia memberi daya pada otakku untuk menghasilkan entah apa, masa kertas delapan bulan dan hampir seluruh disertasiku saja yang 'ku ingat. Tentu ada yang lainnya lagi meski tidak banyak. Apa betul setelah ini aku harus menekuni omong kosongku mengenai catur cina sumbu. Ternyata memang tidak ada preferensi karena di mana-mana sama, seperti kata kapten entah siapa. Jelasnya bukan kapten Mlaar meski sumbernya sama; kemaluan tak hilang ditelan masa. 

Teringatnya, otak perutku teringat pada cita rasa entah perkedel entah kentang tumbuk semalam, ketika aku mengkoordinasikan manuver setidaknya tiga legiun 'tuk ratakan Jermania dengan tanah. Apa itu lantas membuatku Marcus Aurelius atau sekadar jenderal bawahannya, aku tak peduli. Meski tidak lantas berhubungan, pagi ini selembar kentang cincang goreng menemaniku asal goblek asal ngomyang, masih ditambah sayap goreng tepung bumbu pedas Korea. Padahal sebelumnya seumlik nasi uduk-udukan diberi berdua butir telur diorak-arik berkeju bersosis ayam.

Padahal aku hanya bapak-bapak paruh baya berperut gendut berambut kepala meranggas yang menolak kenyataan bahwa kambing dan orong-orong masing-masingnya sudah sebesar kaiju cuka-cuka makan tempat dan bangkok, sampai-sampai sudah tak terhitung berapa potong sayap dan dada ayam disediakan olehnya bagi mereka, apakah itu jeli, rempah, atau geprek bang rohmani. Kata-kata yang mengalir deras membentuk seakan-akan kalimat yang sebenarnya hanya semacam gado-gado kata-kata berbumbu kacang diulek kasar diberi berjeruk limau diairi asam jawa.

Uah, keindahan ini semoga takkan pernah berakhir, bahkan menjadi lebih indah sampai-sampai tidak mungkin lebih indah lagi. Baru begini saja, beberapa potong kuningan dan lembar surai kuda, terlebih lagi desau sang bayu di sela-sela daunan bambu. Taman yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang belum taman saja sudah begini indahnya. Baru sebidang tanah kosong berumput menyemak di tepian Cikumpa, sedang tiang lampunya saja sudah rebah. Tudung lampunya sudah menelungkup di tanah, hijau seperti rumputan di sekelilingnya, rumah si dedek biawak.

Sebuah entri berharga lebih dari 100 ribu Rupiah jelas harus ditayangkan untuk dinikmati (halahmadrid!) sidang pembaca yang budiman. Sungguh nikmat ketidakberdayaan ini. Betapa menjengkelkan kata bentukan ini, meski mungkin tidak semenjengkelkan kata-kata bentukan dalam bahasa Belanda dan Jerman. Sungguh 'ku tak berdaya, hanya memandang dari kejauhan. Bahkan memandang pun tak, hanya masih sulit menghapus dari benak. Biarlah saksofon tenor ini dihembus dalam nada-nada rendahnya. Ini nikmat, yang lainnya tidak senikmat ini, bahkan sama-sekali tidak. Iya.

No comments: