Inikah waktu mengitiki, lewat setengah jam dari tengah malam begini, ketika bahkan tadi bersin-bersin dan hidung tiba-tiba berair. Seperti biasa, saking saja Michael sedang menarikan tarian terakhirnya. Jika tidak mungkin aku akan membaca-baca alih-alih mengitik-kitik sendiri. Dahulu urutannya tidak begini, seingatku. Masa tarian terakhir diikuti dengan matahari terbenam Karibia. Memang keparatlah pembajak peracik kaset jaman dulu. Mengharu-biru anak kecil hanya untuk membuatnya tidak bisa kembali ke masa kecilnya, karena urutannya beda dari album aslinya.
Jika malam ini aku kesepian, tentu bukan berita baru. Apa ketika masih di Barepan sana aku pernah merasa kesepian. Jangankan itu, sejak kecil pun, sejak punya ingatan, aku selalu merasa kesepian. Aku selalu hidup dalam duniaku sendiri, yang sampai sekarang masih bergedung redaksi kartini dan ananda. Itu yang di atasnya ada antena-antena. Gedungnya sendiri tentu sudah entah ke mana, seperti halnya kartini dan ananda. Namun gedung itu dan antena-antenanya selalu rimbun di pelupuk mata vide Bang Tiyok. Bagaimana bisa ia berpikir dirinya penyair, tukang deklamasi.
Lalu Monas dan gedung pusat Pertamina. Kau hanya perlu naik ke atas semacam pot permanen di depan jendela kamar depan dan sedikit berjinjit. Melalui pagar yang membatasi jalan apron timur terlihatlah puncak Monas yang berkilau keemasan ketika cahaya siang mulai redup, begitu juga puncak gedung pusat Pertamina dengan logo kuda laut kembarnya. Aku masih sebesar Sodjo sekarang. Ah, indahnya hidup ketika itu. Sedikit sekali ketakutan. Aku masih tahu lelepah meski entah bagaimana depannya ada "ha"-nya. Namun hidupku memang selalu indah.
Pagi ini contohnya. Sudah dua hari ini pagi bermendung tebal di Depok sini, bahkan mungkin seluruh Jakarta Bogor Depok Tangerang [Selatan] Bekasi. Jangan-jangan sampai kawasan Puncak dan Cianjur. Apa sih. Jelasnya, di kalimat ini sudah tidak pagi dan tidak ini. Ini bahkan nun di Pulo Gebang sana, seperti tertulis pada deteksi lokasi kartu selulerku, yang menyediakan akses internet bagi HP-11CBku. Apa pantas aku meneruskan mengitiki di sini, saat ini. Ruang Candra aduhai dingin sekali, meski sudah aku lepas kaus dalamku yang berkeringat, meski aku ganti berjaket batik.
Uah, berminggu-minggu tidak maju-maju. Paragraf di atas bahkan dari minggu lalu, apalagi paragraf awal entri gak jelas ini. Entah kapan itu, namun sekarang ini, ketika aku sedang mengitiki begini, badanku terasa aduhai semlohai. Padahal aku tidak pernah sampai semlidut seperti Dyodoran, akankah aku menderita karenanya, karena mayoritas posting-posting instagramku. Di belakangku, Nadia mOmarah, seperti biasa, ribut saja, membuatku sulit berpikir. Lagipula, masa mengitiki begini saja pakai berpikir. Bahkan menyelesaikan satu paragraf ini saja terasa aduhai berat.
Ya, sutra 'lah, let's do it again. Apalagi sekarang aku pakai celana mahal uniqlo yang sesak di perut. Bukan celananya yang salah, melainkan perutku yang 'ku penuhi nasi kuning lengkap dengan cungkring, tahu telur semur, masih pakai mie goreng diguyur sambal kacang, belum lagi tahu berontak. Apalagi dalam seperempat jam ini aku harus segera beranjak ke Audit untuk menemani Hari Prasetiyo mengawas ujian akhir semester Hukum Lingkungan. Apa 'ku bawa HP-11CB ke sana untuk mengitiki. Aku sudah tahu apa isi paragraf terakhir di bawah ini, yakni, mengenai teman.
Teman apa. Difoto apanya: 'ngebornya. Sebuah entri bagaimanapun harus diselesaikan, sekacau apapun, sejelek apapun. Termasuk entri ini. Jelas ini bukan semacam kumpulan cerpen seperti bikinan Ahmad Tohari, Pramoedya Ananta Toer, atau Seno Gumira Ajidarma dan lain sebagainya. Ini adalah kumpulan entri asal goblek asal ngomyang. Tidak ada satu kecerdasan buatan pun, tidak ada model bahasa besar seperti apapun, yang dapat menggantikannya. Ini, 'Le, bagaimanapun, adalah kenangan mengenai impian yang takkan terwujud, keinginan yang takkan tercapai.
Jika malam ini aku kesepian, tentu bukan berita baru. Apa ketika masih di Barepan sana aku pernah merasa kesepian. Jangankan itu, sejak kecil pun, sejak punya ingatan, aku selalu merasa kesepian. Aku selalu hidup dalam duniaku sendiri, yang sampai sekarang masih bergedung redaksi kartini dan ananda. Itu yang di atasnya ada antena-antena. Gedungnya sendiri tentu sudah entah ke mana, seperti halnya kartini dan ananda. Namun gedung itu dan antena-antenanya selalu rimbun di pelupuk mata vide Bang Tiyok. Bagaimana bisa ia berpikir dirinya penyair, tukang deklamasi.
Lalu Monas dan gedung pusat Pertamina. Kau hanya perlu naik ke atas semacam pot permanen di depan jendela kamar depan dan sedikit berjinjit. Melalui pagar yang membatasi jalan apron timur terlihatlah puncak Monas yang berkilau keemasan ketika cahaya siang mulai redup, begitu juga puncak gedung pusat Pertamina dengan logo kuda laut kembarnya. Aku masih sebesar Sodjo sekarang. Ah, indahnya hidup ketika itu. Sedikit sekali ketakutan. Aku masih tahu lelepah meski entah bagaimana depannya ada "ha"-nya. Namun hidupku memang selalu indah.
Pagi ini contohnya. Sudah dua hari ini pagi bermendung tebal di Depok sini, bahkan mungkin seluruh Jakarta Bogor Depok Tangerang [Selatan] Bekasi. Jangan-jangan sampai kawasan Puncak dan Cianjur. Apa sih. Jelasnya, di kalimat ini sudah tidak pagi dan tidak ini. Ini bahkan nun di Pulo Gebang sana, seperti tertulis pada deteksi lokasi kartu selulerku, yang menyediakan akses internet bagi HP-11CBku. Apa pantas aku meneruskan mengitiki di sini, saat ini. Ruang Candra aduhai dingin sekali, meski sudah aku lepas kaus dalamku yang berkeringat, meski aku ganti berjaket batik.
Uah, berminggu-minggu tidak maju-maju. Paragraf di atas bahkan dari minggu lalu, apalagi paragraf awal entri gak jelas ini. Entah kapan itu, namun sekarang ini, ketika aku sedang mengitiki begini, badanku terasa aduhai semlohai. Padahal aku tidak pernah sampai semlidut seperti Dyodoran, akankah aku menderita karenanya, karena mayoritas posting-posting instagramku. Di belakangku, Nadia mOmarah, seperti biasa, ribut saja, membuatku sulit berpikir. Lagipula, masa mengitiki begini saja pakai berpikir. Bahkan menyelesaikan satu paragraf ini saja terasa aduhai berat.
Ya, sutra 'lah, let's do it again. Apalagi sekarang aku pakai celana mahal uniqlo yang sesak di perut. Bukan celananya yang salah, melainkan perutku yang 'ku penuhi nasi kuning lengkap dengan cungkring, tahu telur semur, masih pakai mie goreng diguyur sambal kacang, belum lagi tahu berontak. Apalagi dalam seperempat jam ini aku harus segera beranjak ke Audit untuk menemani Hari Prasetiyo mengawas ujian akhir semester Hukum Lingkungan. Apa 'ku bawa HP-11CB ke sana untuk mengitiki. Aku sudah tahu apa isi paragraf terakhir di bawah ini, yakni, mengenai teman.
Teman apa. Difoto apanya: 'ngebornya. Sebuah entri bagaimanapun harus diselesaikan, sekacau apapun, sejelek apapun. Termasuk entri ini. Jelas ini bukan semacam kumpulan cerpen seperti bikinan Ahmad Tohari, Pramoedya Ananta Toer, atau Seno Gumira Ajidarma dan lain sebagainya. Ini adalah kumpulan entri asal goblek asal ngomyang. Tidak ada satu kecerdasan buatan pun, tidak ada model bahasa besar seperti apapun, yang dapat menggantikannya. Ini, 'Le, bagaimanapun, adalah kenangan mengenai impian yang takkan terwujud, keinginan yang takkan tercapai.
No comments:
Post a Comment