Ini adalah suatu percobaan yang akan mengakhiri gangguan pada pencurahan artistik entah apa maksudnya. Begitu entri ini tayang kau pasti akan segera melihatnya. Ya, entri bukan sekadar bunyi tanpa makna. Terlebih penting, entri adalah bentuk, dan perutku kembung setelah menyikat semangkok donoloyo tanpa irisan daun bawang yang membuatnya aromatik. Di luar ternyata hujan. Syukurlah ada atap di atas kepalaku, meski belum ada penyumbat telingaku. Akankah 'ku sumbat, seperti gagalku menyumbat pandangan. Diriku selalu tahu yang disukaiku.
Begitu 'ku lihat di pratinjau setelah satu paragraf aduhai menyakiti mata. Namun akan 'ku tahankan. Sudah gila rasanya saban-saban harus memeriksa pratinjau. Menghambat curahan artistik, terlebih ketika ia sedang membanjir membandang, meski sudah lama sekali yang seperti itu tidak terjadi. Aku senasib dengan Wak Karib dan tidak ada yang senasib dengan kecoak. Ungkapan terima kasih ini membawaku kembali ke lebih dari 35 tahun yang lalu, ketika segala sesuatu terasa seperti apa, ya. Aku tidak menemukan ungkapan yang tepat untuk itu, untuk waktu-waktu itu.
Semua ini sebenarnya berkisar pada urusan kesepian. Di tengah hiruk-pikuk, berseliwerannya orang-orang banyak sekali di sekitarku, aku selalu merasa kesepian. Terlebih setelah melihat-lihat foto-foto John "The Fuck" Gonnadie. 'Emang boleh mati?! 'Tuh, 'kan, sampai ada tanda bacanya, saking kesalnya. Di titik ini tiba-tiba aku terhenyak [halahmadrid]. Ini alasannya untuk menulis. Tidak usah dipikirkan. Mana tahu Paula tidak sendirian. Mana tahu ada lagi yang sepertinya, sudi membaca-baca entah apa. Anak biologisku entah di mana. Apa anak ideologisku di mana-mana.
Jika demikian, permalaikat segala aturan penulisan, apalagi... di sini 'ku hentikan. Baiklah. 'Ku ikuti sekadarnya, agar bisa diajukan biar mendapat cumshot, biar naik pangkat mumpung masih hidup. Itulah masalah entri belakangan ini, terputus-putus. Ini sudah pagi entah beberapa kali berapa harinya. Aku menyanding sekitar 300 ml air hangat, mungkin sekitar 60 derajat celsius. Seperti entah berapa kali pagiku selalu menghadapi Asus Vivobook -yang kini telah pergi entah ke mana- hanya ditukar uang seper-delapan lebih sedikit dari harga belinya. Uah, pertanda baik kalimat lari.
Padahal aku sekadar terbangun dari suatu kesepian eksistensial, dan sebuah entri sekadar harus diselesaikan, apalagi jika sudah mencapai paragraf ketiga dari terakhir. Selembar keju cheddar Amerika memang biasanya harus dikelupas dari sosis ayam tempat ia melekat karena dipanaskan, meski itu lebih mudah dilakukan jika sudah dingin. Namun, ketika dingin, rasanya tidak seenak ketika panas. Sudah cukup deskripsi tidak penting mengenai keju dan sosis, seakan-akan ini jauh di Eropa sana. Aku tidak pernah ingin mengevaluasi, apalagi mengevakuasi apapun.
Jika aku punya tenaga, judul itu akan 'ku ubah. Tidak bagus. Namun, menilik dari rasaku sekarang ini, sudah bagus jika entri ini selesai dan tayang, meski faedahnya bagi diriku sendiri apalagi dunia mungkin tidak ada. Aku yang ke mana-mana menjadi bahan tertawaan, namun tidak lantas pula aku merasa diriku Joker. Aku lebih Jester, yakni, Commander Rick Heatherly. Dari mana idenya aku menamai diri sendiri Viper, Gundo Panther, Reza Jaguar, Herman Puma. Aku ini sekadar Joker Fuel, bahkan sebelum joker, karena aku pengecut. Aku melarikan diri dari mana-mana.
Lima juta atau enam puluh juta dikali empat dalam setahun sama-sama duitnya, sama-sama habisnya. Perutku kekenyangan bisa gara-gara sekedar seporsi bakmi goreng Jawa, atau bubur ayam entah-entah, taco sarapan ala-ala, masih ditambah muffin sosis ayam, atau bakmi ayam masih harus menghabis fuyunghai dan capcay. Ketika aku sedih, terasa ada yang sakit entah di mana, aku makan. 'Kurasa orang-orang ada yang jika sedih maka tidak makan, tetapi menari menyanyi berlari-larian sesuka hati, seperti 'ku mengajar hukum perburuhan, tidak sesuai satuan acara.
Begitu 'ku lihat di pratinjau setelah satu paragraf aduhai menyakiti mata. Namun akan 'ku tahankan. Sudah gila rasanya saban-saban harus memeriksa pratinjau. Menghambat curahan artistik, terlebih ketika ia sedang membanjir membandang, meski sudah lama sekali yang seperti itu tidak terjadi. Aku senasib dengan Wak Karib dan tidak ada yang senasib dengan kecoak. Ungkapan terima kasih ini membawaku kembali ke lebih dari 35 tahun yang lalu, ketika segala sesuatu terasa seperti apa, ya. Aku tidak menemukan ungkapan yang tepat untuk itu, untuk waktu-waktu itu.
Semua ini sebenarnya berkisar pada urusan kesepian. Di tengah hiruk-pikuk, berseliwerannya orang-orang banyak sekali di sekitarku, aku selalu merasa kesepian. Terlebih setelah melihat-lihat foto-foto John "The Fuck" Gonnadie. 'Emang boleh mati?! 'Tuh, 'kan, sampai ada tanda bacanya, saking kesalnya. Di titik ini tiba-tiba aku terhenyak [halahmadrid]. Ini alasannya untuk menulis. Tidak usah dipikirkan. Mana tahu Paula tidak sendirian. Mana tahu ada lagi yang sepertinya, sudi membaca-baca entah apa. Anak biologisku entah di mana. Apa anak ideologisku di mana-mana.
Jika demikian, permalaikat segala aturan penulisan, apalagi... di sini 'ku hentikan. Baiklah. 'Ku ikuti sekadarnya, agar bisa diajukan biar mendapat cumshot, biar naik pangkat mumpung masih hidup. Itulah masalah entri belakangan ini, terputus-putus. Ini sudah pagi entah beberapa kali berapa harinya. Aku menyanding sekitar 300 ml air hangat, mungkin sekitar 60 derajat celsius. Seperti entah berapa kali pagiku selalu menghadapi Asus Vivobook -yang kini telah pergi entah ke mana- hanya ditukar uang seper-delapan lebih sedikit dari harga belinya. Uah, pertanda baik kalimat lari.
Padahal aku sekadar terbangun dari suatu kesepian eksistensial, dan sebuah entri sekadar harus diselesaikan, apalagi jika sudah mencapai paragraf ketiga dari terakhir. Selembar keju cheddar Amerika memang biasanya harus dikelupas dari sosis ayam tempat ia melekat karena dipanaskan, meski itu lebih mudah dilakukan jika sudah dingin. Namun, ketika dingin, rasanya tidak seenak ketika panas. Sudah cukup deskripsi tidak penting mengenai keju dan sosis, seakan-akan ini jauh di Eropa sana. Aku tidak pernah ingin mengevaluasi, apalagi mengevakuasi apapun.
Jika aku punya tenaga, judul itu akan 'ku ubah. Tidak bagus. Namun, menilik dari rasaku sekarang ini, sudah bagus jika entri ini selesai dan tayang, meski faedahnya bagi diriku sendiri apalagi dunia mungkin tidak ada. Aku yang ke mana-mana menjadi bahan tertawaan, namun tidak lantas pula aku merasa diriku Joker. Aku lebih Jester, yakni, Commander Rick Heatherly. Dari mana idenya aku menamai diri sendiri Viper, Gundo Panther, Reza Jaguar, Herman Puma. Aku ini sekadar Joker Fuel, bahkan sebelum joker, karena aku pengecut. Aku melarikan diri dari mana-mana.
Lima juta atau enam puluh juta dikali empat dalam setahun sama-sama duitnya, sama-sama habisnya. Perutku kekenyangan bisa gara-gara sekedar seporsi bakmi goreng Jawa, atau bubur ayam entah-entah, taco sarapan ala-ala, masih ditambah muffin sosis ayam, atau bakmi ayam masih harus menghabis fuyunghai dan capcay. Ketika aku sedih, terasa ada yang sakit entah di mana, aku makan. 'Kurasa orang-orang ada yang jika sedih maka tidak makan, tetapi menari menyanyi berlari-larian sesuka hati, seperti 'ku mengajar hukum perburuhan, tidak sesuai satuan acara.
This is Freddie Kruger's Friday the Thirteenth Post
No comments:
Post a Comment