Tuesday, December 10, 2024

Asu'nyolot Kirik Banyu, Suatu Metapsikotelekinetika


Mau dibuat berapa panjang. Apa tidak rusak dijepit begitu, meski sekarang memang lebih terang. Meski tidak ada bedanya juga diterangi atau tidak diterangi, aku tetap mengitiki dengan perasaan. Mengapa selalu terkenang olehku pagi-pagi di RSPAD, beberapa kali Bapak pulang, beberapa kali Bapak tinggal. Aku pulang, pergi tidak bersama Bapak. Tidak sampai dua tahun kemudian Bapak pulang ke haribaanNya. Sungguh tatakan-sentuh ini tidak ada gunanya. Layarnya 'kan sudah sentuh, buat apa ditataki lagi. Sampai kapan ini 'kan terus begini, 'kuhentikan karena nyata harus tidur. 
Yang seperti telinga itu bukan telinga, melainkan insang, karena ia adalah semacam salamander, dan salamander adalah sebangsa amfibia. Setelah tertunda beberapa jam, akhirnya di sinilah aku. Sendiri memandang ke selatan, ke hujan yang menderas, ke anak-anak berpayung menembus hujan. Semoga mereka tetap kering, tidak kebasahan dan tidak kedinginan jadinya. Dari suaranya hujan terdengar mereda, namun di sini masih gelap, dan tak ingin aku menyalakan lampunya. Bisa jadi akuarium nanti. Maka biarlah aku di sini mengitiki sendiri, gelap begini, sendiri. Sungguh.  

Di sini aku bersama kesendirianku, dan yang penting keheningan namun tidak benar-benar sendiri. Dalam jangkauan masih ada cantik, anak kambingnya, dan orong-orong atau semacam tonggeret begitu. Terlebih, jangan menyepelekan kecepatan seekor ketonggeng. Kalau tidak, kau akan menemukannya sudah berada di kakimu. Ketika itu terjadi, maka, seperti biasa, pura-pura tetap tenang dan siram saja ia dengan segayung air. Ketika itulah kau menyadari temanmu selalu hanya Michael sedari kecilmu di tepi apron timur sana. Aduhai sirip tegak Vickers Viscount itu.

Haruskah aku memulai mewedar makalah-makalah sufistik di sini. Bukan karena aku seorang sufi atau resi, melainkan sekadar karena hobi. Aku tidak punya hobi lain. Memang aku suka berkuda di rawa-rawa, tanah pekuburan, jurang neraka, gurun pasir, atau istana raja-raja atau penyihir. Aku juga suka mengikuti lekat-lekat perkembangan peradaban suatu bangsa. Semua kesukaan itu mungkin memang dapat membuatku menjadi cenderung sufistik metapsikotelekinetik. Namun dari mana lagi aku mendengar mengenai ilmu gabus meletik jika tidak dari apron timur itu.

Ah, sampailah kembali pada permainan-permainan terlarang ini. Permainan macam apa yang sungguh riang gembira seperti ini, seakan di hari cerah namun sejuk belaka; dan malam harinya terasa syahdu agak sendu. Ini sih bahasanya Nugroho Febianto. Ia sering menggunakan kata syahdu pada situasi dan suasana yang sama sekali tidak istimewa. Namun memang seperti itulah kesyahduan, jika kau benar-benar mengetahui: seperti kaldu ayam padahal air mendidih diberi bubuk dan minyak mie instan merek apapun. Ah, perumpamaan-perumpamaan bak perlawanan.

Tinggi di angkasa, apanya, siapa. Perasaanku. Seperti mengapung-apung di awan-awan putih, berarak-arak di langit biru. Nyaris tidak ada yang kuingat waktu-waktu ketika sang surya perkasa memanggang aspal-aspal luas tempat pesawat-pesawat udara hilir-mudik. Berpacu sampai terangkat ke udara, atau mengerem sejadi-jadinya sampai berhenti sebelum landasan habis. Begitu saja setiap harinya dulu. Hari-hari yang ketika berlalu kurindukan setengah mati. Sampai kuabadikan kubuat goblok begini, sampai-sampai akunya goblok sendiri. Bukan seandainya.

Sejak hari-hari itu, tidak pernah aku kembali kepada rutinitas itu. Bahkan ketika aku punya peluang besar untuk muwujudkannya bagi diriku sendiri, bahkan mungkin istri dan anak-anakku, aku malah bermain-main dengan laut dan pelabuhan. Dengan oli bekas dan karat-karat. Lho, di kompleks baru pun bau oli bekas, namun suasananya berbeda. Jauh berbeda. Kini inilah hidupku. Gendut mengitiki. Rasa tidak ingin makan menyakiti. Sekadar berjalan kaki setiap hari gagal menekuni. Untunglah pertanyaan mengenai ini tidak banyak jumlahnya di MMPI. Awas-awas bisa diketahui.

Thursday, December 05, 2024

Sandyakala Ideolog Gogorigog Borokokok. Aku Kini


Biarlah 'ku kembali ke 1985 itu. Bagiku tidak banyak berbeda sebelum atau sesudah Uti seda, kecuali ketika aku sok gaul menjawab "nenek gua isdet" ketika ditanya seorang kawan mengapa tidak sekolah dan diadukan kepada Ibu oleh adikku. Mukaku mulai terasa tegang karena perutku kemasukan kopi putih luwak, tapi ini bukan 1985. Pada ketika itu jangankan kopi, teh pun belum kuminum. Jikapun ada, mungkin susu Milco produksi PT. Sari Husada. Ketika itu aku sudah bisa membuatnya sendiri, bahkan mungkin kucampur bubuk cokelat Van Houten sesekali. 
Namun tentu saja meninggalnya Uti membuat perbedaan besar bagi Akung dan Ibu. Aku boleh salah dan gagal, namun Akung dan Ibu tidak boleh. Ketika masih lebih muda, kata-kata ini meluncur dengan penuh kekuataan. Kini, hampir 40 tahun sejak 1985, entahlah. Hadi berkata bahwa kawannya berkata, nanti di usia 50-an akan muncul tenaga baru. Well, tukasku, katakan itu pada bapaknya Soni dan Fadhil. Di titik ini, seperti biasa, ingin kurentangkan kedua tangan tinggi-tinggi meraih angkasa, meminta pertolongan; bak perempuan lacur latah minta tolong.

Apakah ini kenangan mengenai cerpen-cerpen Kawanku, Ananda, Bobo, dan Tomtom, rasa tanpa daya ini. Apa sama Miftah Farid Hanggawan dengan Miftah Maulana Habiburrahman, sama-sama miftahnya. Biarlah cinta ini tidak pernah berakhir seperti ketika kali pertama kurasakan di lantai berubin kelabu atau berkarpet plastik biru muda. Begitu banyak cinta kurasakan dalam hidupku, tercurah perlahan mengaliri kalbu, seperti topi air yang sering kukenakan ketika kanak-kanak dahulu. Secangkir plastik merah kopi luwak putih sudah digantikan air agak panas.

Dapat kubayangkan ketika itu, aku masih SMP, begundal-begundal itu merundung Profesor Padmo. Nuwun sewu, saya membela Profesor! Meski terlambat, aku membela. Habis-habisan 'ku bela! Meski ketika cuti pertamaku di SMA Taruna Nusantara Prof. Padmo menuju alam keabadian, sekitar lima tahun kemudian kumulai pembelaanku kepadanya, sampai sekarang. Mengapa 'ku bela, aku tak tahu. Yang jelas, sekitar sepuluh tahun sebelumnya aku bertanya kepada Akung, Nazi itu apa. Akung mengira aku tertarik Perang Dunia Kedua. Aku tertarik Nazi.

Aku simpati pada nasional-sosialisme a la Hitler, tidak. Biasa saja, sebiasa pada komunisme apalagi demokrasi liberal. Pada Pancasila dan UUD 1945 aku bersumpah setia samber gledek jual es teh manis sampai goblok. Pada Nankai-sensei aku merasa akrab, karena aku priyayi jagoan hahaha. Ya, Har, 'Ian, aku priyayi jagoan, tidak seperti Gepeng Pusponegoro misalnya, atau Panji Sudoyo misalnya, semacam-semacam itulah. Kata Pak Try aku jagoan, meski Pak Try mengaku jelata ketika ditanya oleh Jenderal Jatikusumo. Bapakku juga priyayi, meski kecil. Priyayi desa, kata nenekku.

Itulah mungkin tepat hari ini delapan tahun lalu aku membuat soal, peran ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan nasional termasuk pelaksanaan (A) Kekaryaan, (B) Dwifungsi, (C) Sapta Marga, (D) Trilogi Pembangunan, (E) Cadek; sampai-sampai ibu Iva Altama turut menjawab. Benar-benar terlalu percaya diri. Mungkin benar juga insting Pak Harto menggembosi kekuatan politik ABRI di akhir 1980-an itu: Masa negara modern diselenggarakan dan diperintah oleh junta. Tak lama setelah itu, anak-anak tolol lulusan SMP berduyun-duyun daftar SMATN.

Kami, putra Nusantara, bersatu dalam tekad. Dengan jiwa kebangsaan, belajar dan berkarya 'tuk wujudkan cita-cita perjuangan bangsa kita. Mengabdikan darma bakti untuk Ibu Pertiwi. Bergerak ke medan ilmu, berkarya 'tuk budaya, bersetia bela Pancasila demi jaya Indonesia. Sampai hari ini, mungkin tinggal aku dan Takwa, entah ada lagi lainnya, yang gagal move on. Yang lain rata-rata sudah sibuk memberikan karya terbalik, aku masih begini-begini saja menyanyikan puji-pujian entah-entah bagi siapa. Salah-salah bisa terjebak penyembahan berhala aku ini.