Seperti halnya John Gunadi, aku pun tidak seberapa jago main musik. Ya, suara kami tidak sumbang, sampai-sampai John Gunadi tergabung dalam kelompok vokal SMA-nya, sedangkan aku paduan suara. Oleh karena itu, beberapa lagu dapat kami nyanyikan dengan berharmoni. Seringnya aku yang memberi harmoni, sedang John Gunadi menyanyikan suara satunya. Seperti Bejo, adikku dan sahabatnya, ia suka ngulik agar suara gitarnya semirip mungkin dengan aslinya. Itulah sebabnya sering 'kuminta ia memainkan My Friend dari Red Hot Chilli Pepper. Sebenarnya bukan karena ia memainkannya sangat mirip. Aku sekadar malas memainkannya.
John Gunadi dan aku adalah dua orang yang sangat jauh berbeda. Perbedaan terbesar, 'kurasa, adalah dalam hal kemaluan. Kemaluan John Gunadi besar sekali, sementara aku hampir tidak punya kemaluan. Namun tidak berarti dua lelaki beda kemaluan ini sama sekali tidak punya kesamaan. "Miskin itu keadaan, borju itu gaya hidup. Tidak bisa dibandingkan," demikian sering dikatakannya, meski biasanya John Gunadi akan menanyakan redaksinya padaku terlebih dahulu, "gimana, Mas?" Dulu kami memang sering emosi bersama-sama, meski sudah bertahun-tahun terakhir ini jarang kami lakukan. Mie Berkat, Sarimomo, Burger and King adalah beberapa.
Beberapa tahun terakhir ini paling sering bertemu John Gunadi di kantin atas. Biasanya dia di situ sedang menekuri laptop fakultas. Belakangan malah Macbook yang ditentengnya ke mana-mana. John Gunadi tidak terbiasa sarapan, maka biasanya ia hanya ditemani segelas kopi hitam dan sebungkus Marlboro yang akhirnya membunuhnya. Jika pun akhirnya klub sarapan beranggotakan lengkap, seperti biasa, John Gunadi lebih banyak diam. Dalam kumpulan dan kalangan apapun yang ada akunya, aku tidak pernah melihat John Gunadi banyak bicara. Terkadang kalau suasana hatinya sedang pas, ia buka suara juga meningkahi sedikit ceritaku.
Belakangan, setelah ia menjabat sebagai senior koordinator, aku sering meminjam uang padanya. Ini sebenarnya sekadar taktik, karena kalau sampai 'kuberitahu Cantik, kakak kelasnya di SMAN 13 Tanjung Priok, bahwa aku meminjam uang dari John Gunadi, aku pasti segera diberi uang untuk mengembalikannya. Seingatku, utangku yang tiap-tiap kali tidak pernah lebih dari lima puluh ribu Rupiah sudah 'kubayar semua. Sesungguhnya aku lebih sering berolok-olok. Biasanya aku punya uang di BCA. Hanya saja aku malas ke Alfamart Psiko untuk menariknya. Jadi 'kupinjam dulu dari John Gunadi, dan segera 'kukembalikan, selalu pada hari yang sama.
Sudah lama kami semua para Djembel Moedlarat berusaha meng-Islamkannya. Aku bahkan pernah berjanji untuk membayar ongkos sunatnya, sedang Mas Narno akan menyumbang sarungnya. Dahulu ia masih terkadang mendebat. Mungkin ketika ia masih suka baca-baca tulisannya Donny Gahral. Belakangan ia, seperti biasa, lebih sering tersenyum saja jika disinggung masalah itu. Terlebih setelah politik Indonesia membelah orang menjadi dua kubu, John Gunadi, meski tentu tidak pernah benar-benar peduli, tentu saja, cenderung cebong. Ia pun kelihatannya maklum jika aku cenderung kampret lantas kadrun. Tak jadi masalah bagi kami.
Pertemuanku dengannya mungkin terjadi kali pertama di awal Abad ke-21, tentu saja di Mess Pemuda yang sangat kesohor itu. Ia dan Jamal Gani resminya membayar kamar di atas kamar ibunya Witch Grandma, namun seperti biasa kami tidur 'ngampar di mana-mana. Jika dimulai dari sini, aduhai bisa jadi sebuah novel tersendiri. Sekitar dua puluh tahunan itulah aku mengenal John Gunadi, dan selama itu terlalu banyak kisah yang terjadi di antara kami. Sebagian besarnya tentu saja tolol-tololan bersama. Jika ingat ini, ada sedikit rasa sedih, karena aku pernah berharap suatu hari nanti kami akan mengenang masa-masa itu, sedang kami sudah tidak tolol.
Kisah ini sangat berarti bagiku, bahkan selalu 'kuulang-ulang jika ada kesempatan. Adalah John Gunadi yang menemaniku selama dirawat di Pasar Rebo karena demam berdarah. Sedang aku tidur di veldbed, John Gunadi tidur di lantai dingin selasar di antara bangsal! Masya Allah, ia setia seperti seekor anjing. Sedang aku entah bagaimana menginginkan roti pizza-pizza'an, ia begitu saja mencarikan dan mendapatkannya. Di saat-saat terakhirnya, aku menyesal tidak dapat membalas budinya ini. Sejujurnya, aku tidak tega melihat kondisinya. Biarlah 'kukenang John Gunadi yang masih hidup saja, yang menggelandang di kampus FHUI bertahun lamanya.
John Gunadi dan aku adalah dua orang yang sangat jauh berbeda. Perbedaan terbesar, 'kurasa, adalah dalam hal kemaluan. Kemaluan John Gunadi besar sekali, sementara aku hampir tidak punya kemaluan. Namun tidak berarti dua lelaki beda kemaluan ini sama sekali tidak punya kesamaan. "Miskin itu keadaan, borju itu gaya hidup. Tidak bisa dibandingkan," demikian sering dikatakannya, meski biasanya John Gunadi akan menanyakan redaksinya padaku terlebih dahulu, "gimana, Mas?" Dulu kami memang sering emosi bersama-sama, meski sudah bertahun-tahun terakhir ini jarang kami lakukan. Mie Berkat, Sarimomo, Burger and King adalah beberapa.
Beberapa tahun terakhir ini paling sering bertemu John Gunadi di kantin atas. Biasanya dia di situ sedang menekuri laptop fakultas. Belakangan malah Macbook yang ditentengnya ke mana-mana. John Gunadi tidak terbiasa sarapan, maka biasanya ia hanya ditemani segelas kopi hitam dan sebungkus Marlboro yang akhirnya membunuhnya. Jika pun akhirnya klub sarapan beranggotakan lengkap, seperti biasa, John Gunadi lebih banyak diam. Dalam kumpulan dan kalangan apapun yang ada akunya, aku tidak pernah melihat John Gunadi banyak bicara. Terkadang kalau suasana hatinya sedang pas, ia buka suara juga meningkahi sedikit ceritaku.
Belakangan, setelah ia menjabat sebagai senior koordinator, aku sering meminjam uang padanya. Ini sebenarnya sekadar taktik, karena kalau sampai 'kuberitahu Cantik, kakak kelasnya di SMAN 13 Tanjung Priok, bahwa aku meminjam uang dari John Gunadi, aku pasti segera diberi uang untuk mengembalikannya. Seingatku, utangku yang tiap-tiap kali tidak pernah lebih dari lima puluh ribu Rupiah sudah 'kubayar semua. Sesungguhnya aku lebih sering berolok-olok. Biasanya aku punya uang di BCA. Hanya saja aku malas ke Alfamart Psiko untuk menariknya. Jadi 'kupinjam dulu dari John Gunadi, dan segera 'kukembalikan, selalu pada hari yang sama.
Sudah lama kami semua para Djembel Moedlarat berusaha meng-Islamkannya. Aku bahkan pernah berjanji untuk membayar ongkos sunatnya, sedang Mas Narno akan menyumbang sarungnya. Dahulu ia masih terkadang mendebat. Mungkin ketika ia masih suka baca-baca tulisannya Donny Gahral. Belakangan ia, seperti biasa, lebih sering tersenyum saja jika disinggung masalah itu. Terlebih setelah politik Indonesia membelah orang menjadi dua kubu, John Gunadi, meski tentu tidak pernah benar-benar peduli, tentu saja, cenderung cebong. Ia pun kelihatannya maklum jika aku cenderung kampret lantas kadrun. Tak jadi masalah bagi kami.
Pertemuanku dengannya mungkin terjadi kali pertama di awal Abad ke-21, tentu saja di Mess Pemuda yang sangat kesohor itu. Ia dan Jamal Gani resminya membayar kamar di atas kamar ibunya Witch Grandma, namun seperti biasa kami tidur 'ngampar di mana-mana. Jika dimulai dari sini, aduhai bisa jadi sebuah novel tersendiri. Sekitar dua puluh tahunan itulah aku mengenal John Gunadi, dan selama itu terlalu banyak kisah yang terjadi di antara kami. Sebagian besarnya tentu saja tolol-tololan bersama. Jika ingat ini, ada sedikit rasa sedih, karena aku pernah berharap suatu hari nanti kami akan mengenang masa-masa itu, sedang kami sudah tidak tolol.
Kisah ini sangat berarti bagiku, bahkan selalu 'kuulang-ulang jika ada kesempatan. Adalah John Gunadi yang menemaniku selama dirawat di Pasar Rebo karena demam berdarah. Sedang aku tidur di veldbed, John Gunadi tidur di lantai dingin selasar di antara bangsal! Masya Allah, ia setia seperti seekor anjing. Sedang aku entah bagaimana menginginkan roti pizza-pizza'an, ia begitu saja mencarikan dan mendapatkannya. Di saat-saat terakhirnya, aku menyesal tidak dapat membalas budinya ini. Sejujurnya, aku tidak tega melihat kondisinya. Biarlah 'kukenang John Gunadi yang masih hidup saja, yang menggelandang di kampus FHUI bertahun lamanya.
No comments:
Post a Comment