Jikapun entri ini sekarang sekadar judul, pemegang-tempat, dan gambar, aku tidak peduli. Namun ternyata metode ini praktis sekali; dan aku tidak peduli, akan aku babat saja serampak mungkin. Enam baris berhenti, enam baris berhenti, sejauh atau sedekat apapun dari pinggir kanan. Margin itu pinggir 'kan. Apa harus diucapkan marjin. Aku tidak peduli. Sudah aku katakan, aku tidak peduli; seperti David Letterman tidak peduli hari sudah larut. Kalau ada Al Green, maka volume televisi harus dibuat sekeras-kerasnya. Nah, entah mengapa beberapa hari lalu terpikir, baru sekarang bertemu Si Tolol ini...
Betapatah tidak tolol, mematahkan hati sendiri, karena berharap. Orang tidak akan patah hati jika tidak berharap, mengantisipasi. Berharap dibalas pesan singkatnya, Berharap dibalas cintanya, apalagi oleh lawan jenis yang entah mengapa disukai banyak orang. Kasihan sekali. Meski ada saja tampang-tampang dan bentuk-bentuk pasaran yang ada harganya, sekali lagi, aku tidak peduli. Kalau masih bisa dibilang harganya, berarti bukan urusanku. Urusanku adalah dengan segala sesuatu yang tidak terbilang harganya, maka tidak pantas pula disebut sangat berharga. Ya, sesombong itulah aku pada diri sendiri.
Meski dikatakan suaraku seperti Engelbert Humperdinck, hidungku tidak lantas kembang-kempis. Dalam hati aku berkata, "aku sudah tahu. Bahkan mungkin [aku] lebih bagus lagi dari itu." Membalas kesombongan orang sombong itu sedekah, demikian kalau aku tidak salah dengar dari Ustadz Abdul Somat. Sesungguhnya, sekarang aku tidak lagi begitu. Semua kesombonganku tersisa hanya olok-olok belaka. Kalau suaraku semerdu Engelbert memang kenapa, sudah berapa juta keping piringan hitam rupanya yang telah berhasil aku jual. Selesai 'kan. Aku nyatanya tidak pernah berhasil menjual apapun.
Bahkan berhujan-hujanan saja aku sudah tidak sanggup. Berpanas-panasan pun demikian, pula berangin-anginan atau berdingin-dinginan. Apalagi yang dapat aku sombongkan. Jika pun aku pernah ganteng, tidak begitu terasa. Dalam hidupku kini hampir bisa dikatakan aku laki-laki dewasa seorang diri dikelilingi oleh Cantik, Tante Lien, Kakak, Awful, Ibu, Suti, Mbak Nung, Gendut dan ketiga anak laki-lakinya. Mau apa aku. Bisa apa. Bermimpi pun aku sudah tidak mampu. Masih untung jika aku bisa menjalani hari-hariku sampai malam menjelang Alhamdulillah dikaruniai tidur malam nan nyaman.
'Tuh 'kan, mengapa 'sih selalu sisa tiga ketika aku merasa hampir kehabisan bahan bakar. Bolehkah kini aku bicara mengenai obsesi Teguh Rumiyarto pada pesawat tempur, sedangkan ia adalah seorang perwira elektronika Angkatan Laut. Lebih baikkah ia, yang masih punya obsesi, dibanding aku yang entah apa obsesiku, sedangkan aku adalah seorang apa. Dosen, akademisi, halah, malu aku menyebut diriku begitu. Itu semua hanya lantaran bagiku untuk mendapatkan sekadar uang, untuk hidup sehari-hari. Aku sendiri, entah apa. Siapa sebenarnya aku ini, aku tidak peduli. Aku ini sekadar coro sak taek.
Akan halnya aku tahu bahwa F-104 itu diberi nama resmi Penempur-bintang, apakah itu gara-gara membaca komik Tanguy dan Laverdure, aku rasa sama dengan Rumi. Fakta itu tidak berarti apa-apa, seperti fakta bahwa nama kapal selam milik Angkatan Laut Amerika Serikat jaman Perang Dunia Kedua yang paling lekat dalam ingatanku adalah Spadefish, entah mengapa. Aku pernah jadi 352 sedang Rumi 351-nya juga tidak berarti apa-apa sekarang. Aku rasa, kami berdua sekadar berusaha mendapatkan cukup uang untuk membiayai hidup keluarga masing-masing sehari-hari. Tidak lebih.
Sebagaimana tertulis pada judul, Julie, ini entri asal goblek asal ngomyang. 'Emang ada entri yang tidak begitu, Mas, tanyamu. Ya, tidak ada, kamu jangan meledek begitu. Kamu tahu aku tidak bisa memberimu tawaran yang tidak mungkin kamu tolak. Aku tidak bisa menyuruh siapapun untuk memenggal kudamu, sekalipun kau namai ia Khartoum. Begitu pula, seandainya aku punya pistol, aku juga tidak yakin apakah aku sanggup menembak orang berhadap-hadapan tepat pada dahinya. Aku tidak tahu apakah Rumi membawa-bawa pistol ke mana-mana. Kalaupun ya, tidak mungkin ia asal tembak.
Betapatah tidak tolol, mematahkan hati sendiri, karena berharap. Orang tidak akan patah hati jika tidak berharap, mengantisipasi. Berharap dibalas pesan singkatnya, Berharap dibalas cintanya, apalagi oleh lawan jenis yang entah mengapa disukai banyak orang. Kasihan sekali. Meski ada saja tampang-tampang dan bentuk-bentuk pasaran yang ada harganya, sekali lagi, aku tidak peduli. Kalau masih bisa dibilang harganya, berarti bukan urusanku. Urusanku adalah dengan segala sesuatu yang tidak terbilang harganya, maka tidak pantas pula disebut sangat berharga. Ya, sesombong itulah aku pada diri sendiri.
Meski dikatakan suaraku seperti Engelbert Humperdinck, hidungku tidak lantas kembang-kempis. Dalam hati aku berkata, "aku sudah tahu. Bahkan mungkin [aku] lebih bagus lagi dari itu." Membalas kesombongan orang sombong itu sedekah, demikian kalau aku tidak salah dengar dari Ustadz Abdul Somat. Sesungguhnya, sekarang aku tidak lagi begitu. Semua kesombonganku tersisa hanya olok-olok belaka. Kalau suaraku semerdu Engelbert memang kenapa, sudah berapa juta keping piringan hitam rupanya yang telah berhasil aku jual. Selesai 'kan. Aku nyatanya tidak pernah berhasil menjual apapun.
Bahkan berhujan-hujanan saja aku sudah tidak sanggup. Berpanas-panasan pun demikian, pula berangin-anginan atau berdingin-dinginan. Apalagi yang dapat aku sombongkan. Jika pun aku pernah ganteng, tidak begitu terasa. Dalam hidupku kini hampir bisa dikatakan aku laki-laki dewasa seorang diri dikelilingi oleh Cantik, Tante Lien, Kakak, Awful, Ibu, Suti, Mbak Nung, Gendut dan ketiga anak laki-lakinya. Mau apa aku. Bisa apa. Bermimpi pun aku sudah tidak mampu. Masih untung jika aku bisa menjalani hari-hariku sampai malam menjelang Alhamdulillah dikaruniai tidur malam nan nyaman.
'Tuh 'kan, mengapa 'sih selalu sisa tiga ketika aku merasa hampir kehabisan bahan bakar. Bolehkah kini aku bicara mengenai obsesi Teguh Rumiyarto pada pesawat tempur, sedangkan ia adalah seorang perwira elektronika Angkatan Laut. Lebih baikkah ia, yang masih punya obsesi, dibanding aku yang entah apa obsesiku, sedangkan aku adalah seorang apa. Dosen, akademisi, halah, malu aku menyebut diriku begitu. Itu semua hanya lantaran bagiku untuk mendapatkan sekadar uang, untuk hidup sehari-hari. Aku sendiri, entah apa. Siapa sebenarnya aku ini, aku tidak peduli. Aku ini sekadar coro sak taek.
Akan halnya aku tahu bahwa F-104 itu diberi nama resmi Penempur-bintang, apakah itu gara-gara membaca komik Tanguy dan Laverdure, aku rasa sama dengan Rumi. Fakta itu tidak berarti apa-apa, seperti fakta bahwa nama kapal selam milik Angkatan Laut Amerika Serikat jaman Perang Dunia Kedua yang paling lekat dalam ingatanku adalah Spadefish, entah mengapa. Aku pernah jadi 352 sedang Rumi 351-nya juga tidak berarti apa-apa sekarang. Aku rasa, kami berdua sekadar berusaha mendapatkan cukup uang untuk membiayai hidup keluarga masing-masing sehari-hari. Tidak lebih.
Sebagaimana tertulis pada judul, Julie, ini entri asal goblek asal ngomyang. 'Emang ada entri yang tidak begitu, Mas, tanyamu. Ya, tidak ada, kamu jangan meledek begitu. Kamu tahu aku tidak bisa memberimu tawaran yang tidak mungkin kamu tolak. Aku tidak bisa menyuruh siapapun untuk memenggal kudamu, sekalipun kau namai ia Khartoum. Begitu pula, seandainya aku punya pistol, aku juga tidak yakin apakah aku sanggup menembak orang berhadap-hadapan tepat pada dahinya. Aku tidak tahu apakah Rumi membawa-bawa pistol ke mana-mana. Kalaupun ya, tidak mungkin ia asal tembak.
No comments:
Post a Comment