Uah, aku kembali di lingkungan pelabuhan, apakah itu Tanjung Emas, Kolinlamil, bahkan Sepurderek sekalipun. Lingkungan macam apa ini. Hampir saja aku menulis mengenai Mbak Puas, jika tidak diselamatkan oleh keselarasan. Setua ini, aku memang maunya segala sesuatu selaras serasi seimbang saja. Sudah tidak ada tenaga padaku untuk membuat keributan, meski keselarasan ini aku kenal dari sangat muda sekali, bahkan kanak-kanak. Setelah ini bahkan seharusnya aku menciptakan taman bermain dalam pikiranku, jika tidak karena anak perempuan negro beringus kering di hidungnya.
Maka begitu saja aku sapa orang asing. Siapa saja, yang terpaksa harus mundur beberapa halte gara-gara ada perbaikan jalan. Aku hanya dapat menggali kisah cinta dari masa lalu, bahkan yang khayal sekalipun. Tepatnya, aku sudah tidak tahu lagi apakah semua petualangan cintaku benar-benar terjadi di masa lalu atau hanya ilusi semata. Seperti ber-cupap cupap, Sayangku, apa benar aku pernah melakukannya pada perempuan negro berambut alami. Namun, ya, seperti itulah hidup. Hari ini kau di sini, besok kau pergi. Lantas apa bedanya khayal dan kenyataan jika sudah begini. Sama saja!
Haruskah, setelah ini, aku mengajari dunia bernyanyi, ternyata tidak perlu. Justru kisah sedih mengenai kehilangan seseorang yang sangat dikasihi yang aku temui. Bicara mengenai salju pula, aku tidak habis pikir dengan orang-orang yang belum berkesempatan merasakan sendiri musim dingin dan salju. Mereka kira salju itu lembut. Bahkan aku yang sempat merasakan hujan salju sedang hati terasa lembut tahu bahwa salju itu keras dan kasar. Kelembutan itu adanya di hati. Jika kau berpikir untuk mencari kelembutan pada salju, kau akan kecewa, Sayang. Kau akan merindukanku dan saat ini.
Siapapun akan segera tahu bahwa kisah ini sedih belaka, maka berlalulah darinya. Aduhai, malah meratap-ratap meminta kekasih yang pergi untuk kembali. Betapa sedihnya. Tidak. Kekasih pergi tidak selalu kepada yang lebih ganteng dan kaya. Bisa kepada siapa saja. Aku menekuri jalan-jalan di kampus ketika masih sepinya, masih gelapnya, seorang diri. Apakah di sakuku ada sebungkus rokok, apakah masih penuh atau sudah tinggal beberapa batang, apakah koreknya jres sekotak atau mancis, sudah tidak banyak berarti. Tetap saja aku seorang diri menekuri, menjalani sunyi sepi sendiri.
Serampak ini aku bahkan tidak tahu akankah selesai. Dari rasaku sekarang ini mungkin saja. Sebuah kamar kost bercat kuning, berisi anak-anak perempuan yang berpikir untuk mendapatkan tambahan uang saku dari mendirikan dan membongkar tenda Mie Aceh Pidie 2000. Sebuah motor Honda Tiger 2000 pun ada, dan perselingkuhan jika bukan poligami meski belum menikah, meski bukan urusanku. Maka berlalulah aku ke akhir musim gugur 2008, sambil bertanya-tanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya menyembuhkan luka hati, ketika ia suka sekali berbicara sangat dekat dengan mukaku.
Bagaimana caranya menghentikan matahari agar tidak bersinar. Caranya adalah bangun justru ketika matahari akan terbenam, segar justru ketika hari telah gelap. Tidur jangan terlalu dipikirkan, meski di sampingmu ada Lilis Suganda, entah siapa yang menurunkannya dari dinding. Mustahil turun sendiri, pasti kau sendiri yang menurunkan untuk kepentingan derkukuk, semacam babaduk begitu, yang telah menemanimu entah sejak kapan dari masa kanak-kanakmu. Beginilah kalau terlalu rampak, tapi siapa peduli. Jangan merepotkan diri sendiri, repotkan saja kesendirianmu.
Terlebih jika kekasihmu, yang kau kira tercipta hanya untukmu, ternyata berasyik-masyuk dengan lelaki lain, jangan ragu-ragu. Pukuli lelaki itu, tarik dia, lempar ke dalam hujan, selamatkan kekasihmu. Tidak perlu kau pikirkan kejantananmu sendiri. Jika kau terlahir lelaki, dengan sendirinya kau jantan, disunat atau tidak. Asal jangan dikastrasi, dikebiri begitu. Lelaki kodok yang wajahnya ramah itu, aku rasa memang betulan ramah pembawaannya. Aduhai, mengapa ini istriku bersolek bersiap-siap berangkat kerja sedang aku membunuhi bayi-bayi Charlie, seperti kata anak-anak muda gondrong itu.
Maka begitu saja aku sapa orang asing. Siapa saja, yang terpaksa harus mundur beberapa halte gara-gara ada perbaikan jalan. Aku hanya dapat menggali kisah cinta dari masa lalu, bahkan yang khayal sekalipun. Tepatnya, aku sudah tidak tahu lagi apakah semua petualangan cintaku benar-benar terjadi di masa lalu atau hanya ilusi semata. Seperti ber-cupap cupap, Sayangku, apa benar aku pernah melakukannya pada perempuan negro berambut alami. Namun, ya, seperti itulah hidup. Hari ini kau di sini, besok kau pergi. Lantas apa bedanya khayal dan kenyataan jika sudah begini. Sama saja!
Haruskah, setelah ini, aku mengajari dunia bernyanyi, ternyata tidak perlu. Justru kisah sedih mengenai kehilangan seseorang yang sangat dikasihi yang aku temui. Bicara mengenai salju pula, aku tidak habis pikir dengan orang-orang yang belum berkesempatan merasakan sendiri musim dingin dan salju. Mereka kira salju itu lembut. Bahkan aku yang sempat merasakan hujan salju sedang hati terasa lembut tahu bahwa salju itu keras dan kasar. Kelembutan itu adanya di hati. Jika kau berpikir untuk mencari kelembutan pada salju, kau akan kecewa, Sayang. Kau akan merindukanku dan saat ini.
Siapapun akan segera tahu bahwa kisah ini sedih belaka, maka berlalulah darinya. Aduhai, malah meratap-ratap meminta kekasih yang pergi untuk kembali. Betapa sedihnya. Tidak. Kekasih pergi tidak selalu kepada yang lebih ganteng dan kaya. Bisa kepada siapa saja. Aku menekuri jalan-jalan di kampus ketika masih sepinya, masih gelapnya, seorang diri. Apakah di sakuku ada sebungkus rokok, apakah masih penuh atau sudah tinggal beberapa batang, apakah koreknya jres sekotak atau mancis, sudah tidak banyak berarti. Tetap saja aku seorang diri menekuri, menjalani sunyi sepi sendiri.
Serampak ini aku bahkan tidak tahu akankah selesai. Dari rasaku sekarang ini mungkin saja. Sebuah kamar kost bercat kuning, berisi anak-anak perempuan yang berpikir untuk mendapatkan tambahan uang saku dari mendirikan dan membongkar tenda Mie Aceh Pidie 2000. Sebuah motor Honda Tiger 2000 pun ada, dan perselingkuhan jika bukan poligami meski belum menikah, meski bukan urusanku. Maka berlalulah aku ke akhir musim gugur 2008, sambil bertanya-tanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya menyembuhkan luka hati, ketika ia suka sekali berbicara sangat dekat dengan mukaku.
Bagaimana caranya menghentikan matahari agar tidak bersinar. Caranya adalah bangun justru ketika matahari akan terbenam, segar justru ketika hari telah gelap. Tidur jangan terlalu dipikirkan, meski di sampingmu ada Lilis Suganda, entah siapa yang menurunkannya dari dinding. Mustahil turun sendiri, pasti kau sendiri yang menurunkan untuk kepentingan derkukuk, semacam babaduk begitu, yang telah menemanimu entah sejak kapan dari masa kanak-kanakmu. Beginilah kalau terlalu rampak, tapi siapa peduli. Jangan merepotkan diri sendiri, repotkan saja kesendirianmu.
Terlebih jika kekasihmu, yang kau kira tercipta hanya untukmu, ternyata berasyik-masyuk dengan lelaki lain, jangan ragu-ragu. Pukuli lelaki itu, tarik dia, lempar ke dalam hujan, selamatkan kekasihmu. Tidak perlu kau pikirkan kejantananmu sendiri. Jika kau terlahir lelaki, dengan sendirinya kau jantan, disunat atau tidak. Asal jangan dikastrasi, dikebiri begitu. Lelaki kodok yang wajahnya ramah itu, aku rasa memang betulan ramah pembawaannya. Aduhai, mengapa ini istriku bersolek bersiap-siap berangkat kerja sedang aku membunuhi bayi-bayi Charlie, seperti kata anak-anak muda gondrong itu.
No comments:
Post a Comment