Maafkanlah, aku mencoba menjelaskan padanya, yang wajahnya mirip seorang calon dokter lulusan Yarsi. Ini memang tempat berolok-olok Tarzan Kota, kau tahu dia 'kan. Ya, betul, ia yang suka berolok-olok dari satu dahan ke dahan berikutnya. Memang aku akui terkadang, bahkan lebih sering tinimbang jarang, olok-oloknya tidak lucu. Oleh karena itu, aku mengharap kebesaran hatimu untuk memaafkan dan membiarkannya berlalu. Ia diam saja seakan-akan seorang korban kekerasan seksual, sedang aku pelakunya. Senyumku, 'kurasa, teduh kebapakan, tidak cabul melecehkan. "Tetap saja!" sergahnya.
"Sekarang apalah artinya cinta," tanyanya ketus. Aku hanya bisa menekur. Harus aku akui, ketika cinta tidak pernah lepas dari liur dan lendir, dari situlah John Gunadi kali pertama mengetahui ada yang tidak beres pada dirinya. "Ya, cinta memang tidak ada artinya," gumamku lirih nyaris tidak terdengar. Itulah sebabnya sampai ada istilah "main cinta", karena orang sekadar mempermain-mainkan; dan ia menjadi terkutuk ketika diecer-ecer di sembarang tempat begitu, bukan di tempat semestinya. Sedang ia menjuntai lemas begitu, bibirnya menjebik melecehkan. "Ini pelecehan," kataku lemah.
Semua saja mempermain-mainkan, semua kecuali aku. Aku melakukannya dengan serius sekali. Tepatnya, aku sering mencekik orang dengan keseriusanku; atau setidaknya membuat mereka merasa tercekik. Ketika menyadarinya, aku melangkah gontai, meninggalkan lawan main cintaku memandangi punggung lebarku seraya menjauh darinya. Sejujurnya, aku tidak peduli lagi apakah ia menyesali sikapnya padaku dan ingin memanggilku kembali, atau justru sudah siap dengan permainan berikutnya lengkap dengan lawan main yang baru. Aku lantas menyulut sebatang rokok dan berlalu.
Berjalan menekuri aspal berdebu, kadang terlihat olehku sepasang kekasih. Adakah mereka sedang mempermainkan cinta sebagaimana baru saja aku alami, ataukah mereka memang saling tercipta satu sama lain. Aku mendengus melecehkan, menghempaskan keras-keras asap rokok yang terkumpul dalam paru-paru dan lambungku, asap yang membunuh John Gunadi perlahan-lahan. Masih untung tidak aku pungut sebongkah batu dan melemparkannya dengan jengkel pada sepasang kekasih itu. Bisa bocor kepala salah satunya, karena aku tidak berapa ahli membidik kedua-duanya.
Seekor kucing hitam begitu saja menggelesot di kakiku. Aku angkat ekornya untuk memeriksa apakah jantan atau betina. "Kau jantan, sepertiku," begitu aku katakan padanya sambil tersenyum, sementara orang lalu-lalang melirik sambil berjengit; atau itu perasaanku saja. "Masih untung bukan betina kau. Kalau betina sudah aku banting kau keras-keras ke aspal," kataku keras-keras penuh geram. Kali ini aku berhasil menarik perhatian orang-orang yang tidak henti lalu-lalang. Kali ini aku berhasil membuat mereka menyingkir agak satu dua langkah dariku. Aku rasa aku dengar bisikan: "Edan!"
Pada saat itulah seorang perempuan, atau setidaknya begitu kelihatannya, justru mendekat menghampiriku. "Suka kucing ya, Bang?" Aku tidak bisa mengatakan apakah caranya membuka percakapan ramah atau justru mengejek. Aku mengangguk saja tanpa mengangkat pandanganku padanya. Sejurus kemudian ia bertanya apakah aku punya rokok. Aku angsurkan bungkus rokokku padanya, masih ada beberapa batang; Kebetulan rokok lonte. Tiba-tiba satu pikiran lucu muncul di benakku. Kalau ia mau merokok itu, berarti dia lonte. Ternyata ia menanyakan korek, sudah tentu untuk menyulut rokok.
Dugaanku salah. Bukan rokok yang disulutnya, melainkan bom molotov. Bukan itu saja kesalahanku. Ternyata ia pun bukan perempuan, hanya kelihatannya saja seperti perempuan. Aku tidak selemah anak ingusan yang dipacari Lola, namun dikepung mahluk-mahluk berdandanan perempuan bersenjatakan balok kayu bahkan mungkin pisau lipat ini, belum tentu aku selamat; dan aku, meski suisidal, tidak sudi mati di sini. Maka aku sumpalkan bom molotov itu ke mulutnya, meledak, terbakar, terburai ia. Aku tentu saja lari tunggang-langgang sekuat nafas membawaku, sambil tertawa-tawa riang.
"Sekarang apalah artinya cinta," tanyanya ketus. Aku hanya bisa menekur. Harus aku akui, ketika cinta tidak pernah lepas dari liur dan lendir, dari situlah John Gunadi kali pertama mengetahui ada yang tidak beres pada dirinya. "Ya, cinta memang tidak ada artinya," gumamku lirih nyaris tidak terdengar. Itulah sebabnya sampai ada istilah "main cinta", karena orang sekadar mempermain-mainkan; dan ia menjadi terkutuk ketika diecer-ecer di sembarang tempat begitu, bukan di tempat semestinya. Sedang ia menjuntai lemas begitu, bibirnya menjebik melecehkan. "Ini pelecehan," kataku lemah.
Semua saja mempermain-mainkan, semua kecuali aku. Aku melakukannya dengan serius sekali. Tepatnya, aku sering mencekik orang dengan keseriusanku; atau setidaknya membuat mereka merasa tercekik. Ketika menyadarinya, aku melangkah gontai, meninggalkan lawan main cintaku memandangi punggung lebarku seraya menjauh darinya. Sejujurnya, aku tidak peduli lagi apakah ia menyesali sikapnya padaku dan ingin memanggilku kembali, atau justru sudah siap dengan permainan berikutnya lengkap dengan lawan main yang baru. Aku lantas menyulut sebatang rokok dan berlalu.
Berjalan menekuri aspal berdebu, kadang terlihat olehku sepasang kekasih. Adakah mereka sedang mempermainkan cinta sebagaimana baru saja aku alami, ataukah mereka memang saling tercipta satu sama lain. Aku mendengus melecehkan, menghempaskan keras-keras asap rokok yang terkumpul dalam paru-paru dan lambungku, asap yang membunuh John Gunadi perlahan-lahan. Masih untung tidak aku pungut sebongkah batu dan melemparkannya dengan jengkel pada sepasang kekasih itu. Bisa bocor kepala salah satunya, karena aku tidak berapa ahli membidik kedua-duanya.
Seekor kucing hitam begitu saja menggelesot di kakiku. Aku angkat ekornya untuk memeriksa apakah jantan atau betina. "Kau jantan, sepertiku," begitu aku katakan padanya sambil tersenyum, sementara orang lalu-lalang melirik sambil berjengit; atau itu perasaanku saja. "Masih untung bukan betina kau. Kalau betina sudah aku banting kau keras-keras ke aspal," kataku keras-keras penuh geram. Kali ini aku berhasil menarik perhatian orang-orang yang tidak henti lalu-lalang. Kali ini aku berhasil membuat mereka menyingkir agak satu dua langkah dariku. Aku rasa aku dengar bisikan: "Edan!"
Pada saat itulah seorang perempuan, atau setidaknya begitu kelihatannya, justru mendekat menghampiriku. "Suka kucing ya, Bang?" Aku tidak bisa mengatakan apakah caranya membuka percakapan ramah atau justru mengejek. Aku mengangguk saja tanpa mengangkat pandanganku padanya. Sejurus kemudian ia bertanya apakah aku punya rokok. Aku angsurkan bungkus rokokku padanya, masih ada beberapa batang; Kebetulan rokok lonte. Tiba-tiba satu pikiran lucu muncul di benakku. Kalau ia mau merokok itu, berarti dia lonte. Ternyata ia menanyakan korek, sudah tentu untuk menyulut rokok.
Dugaanku salah. Bukan rokok yang disulutnya, melainkan bom molotov. Bukan itu saja kesalahanku. Ternyata ia pun bukan perempuan, hanya kelihatannya saja seperti perempuan. Aku tidak selemah anak ingusan yang dipacari Lola, namun dikepung mahluk-mahluk berdandanan perempuan bersenjatakan balok kayu bahkan mungkin pisau lipat ini, belum tentu aku selamat; dan aku, meski suisidal, tidak sudi mati di sini. Maka aku sumpalkan bom molotov itu ke mulutnya, meledak, terbakar, terburai ia. Aku tentu saja lari tunggang-langgang sekuat nafas membawaku, sambil tertawa-tawa riang.
No comments:
Post a Comment