Dapatlah langsung aku katakan di awal sini bahwa ini adalah Sabtu yang indah. Udon rubah dan udon sapi adalah kata-kata kuncinya, dengan sup ikan, rumput laut, dan shoyu tentunya. Aku bahkan tidak mengambil goreng-gorengan apapun, meski Cantik akhirnya membagi satu shumai gorengnya. Remah-remah gorengan saja sudah cukup bagiku. Masih ditambah pula dengan cakwe master original dan pisang kipas margarin, bukan mentega ya, dicocol gula pasir campur gula aren, dan dua kali, sekali lagi, DUA KALI teh thai original, teh thai matcha, dan Le Minerale 600 ml. Pendek kata, Sabtu yang indah.
Namun demikian, aku tidak akan berlama-lama tinggal dalam keindahan ini, meski sudah lama, aku rasa, aku tidak menggunakan "namun demikian". Terlebih lagi, "bagaimanapun juga". Sampai hari ini, kalau aku bertemu dengannya, aku memaksa otakku untuk pura-pura tidak melihat "juga". Aku tegaskan dalam benak sendiri: "bagaimanapun". Titik. Apakah keindahan ini sepadan dengan hembusan yang menggetar-getarkan bilah bambu, yang katanya menggambarkan suasana malam di Paris. Uah, para pemirsa pasti mafhum belaka aku tidak akan menginjakkan kaki di kota dekaden ini kecuali untuk menaklukkannya, jika perlu, mengganti namanya sekali, menjadi "Dekaden".
Bentuk keindahan macam apa ini. Ini, aku rasa, adalah bentuk keindahan yang suci lagi murni, yang tidak mungkin dirusak durjananya dunia; Untuk yang ini aku berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Begini memang, aku rasa, caranya menikmati keindahan. Rasanya seperti pulang dari Duren Tiga, ndaleme Siwo, apakah ini pas ketika Dunia Dalam Berita baru dimulai atau setelahnya; yang jelas, sesampainya di ndaleme Akung sudah lumayan larut. Entah aku masih bisa menahan kantuk, atau justru menonton Riptide dan sebangsanya, aduhai aku bahkan masih sedikit lebih muda dari Adjie sekarang ketika itu.
Lebih dari itu keindahan, aku rasa, tidak lagi sesuci dan semurni itu. Dalam hal ini, entah bagaimana aku langsung teringat Muhammad Ali. Masya Allah nama yang bagus sekali namun meninggalkan kesan yang membuat sakit kepala. Entah bagaimana aku juga teringat meander Cisadane di pertigaan Jalan Kavling Pemda dan Karawaci Raya. Jika ada yang indah dari episode ini adalah persekitaran Gama Satu itu, sore-sore ketika Centurions atau Kura-kura Ninja Mutan Remaja yang sudah tiada seberapa menarik, karena aku sok-sok'an bersiap-siap dewasa, dengan masuk SMA Taruna Nusantara.
Jangankan keindahan, tiada kedamaian yang aku temukan, kecuali maghrib-maghrib masih di atas atap, mendengarkan gemuruh mesin pabrik dari arah Cikokol. Demikian juga bekas ruang praktek Dokter Hardi Leman yang terasa sejuk dan temaram, ditemani lagu-lagu cinta dan buku-buku pelajaran yang menjanjikan masa depan yang gemilang. Tidak lama setelah itu aku sadari bahwa masa depan tidak terlalu gemilang, maka aku sedikit berkhayal mungkin agak lebih ke depan lagi. Ternyata malah bertambah suram dan semakin suram saja. Entah kapan mulai terang, yang jelas Sabtu ini terasa indah.
Tiada kedamaian, apalagi kebahagiaan aku temui. Ketika itu, aku merasa wajar, karena memang sedang dalam masa perjuangan. Aku setengah berharap bahwa kebahagiaan akan menantiku di balik tikungan atau tanjakan yang ketika itu belum aku lihat. Setelah sampai di balik tikungan atau tanjakan itu, aku yakin menemui berbagai keindahan, kebahagiaan, kedamaian dan sejenisnya; namun tentu tidak dari sampul dalam buku saku, SMA maupun Akabri. Keindahan selalu tercecer di tempat-tempat yang paling tidak diharapkan, seperti di bawah tenda nasi goreng berpenerangan petromaks di pinggir jalan.
Aku menulis-nulis begini tiada artinya, bahkan aku sendiri terkadang tidak mengerti hahaha. Biarlah. Seperti ini memang keindahan. Orang sering tertipu ingin memilikinya, merengkuh dan mereguknya. Padahal kalau masih bisa dimiliki, apalagi sampai direngkuh dan direguk, sudah pasti bukan keindahan. Sudah pasti sekadar alat pemenuhan kebutuhan, bahkan pemuas nafsu. Naudzubillah. Bukan berarti aku merasa cerdik atau bagaimana, aku hanya menginginkan keindahan yang benar-benar, bukan yang kata orang-orang. Hanya aku dan diriku sendiri yang tahu indahnya, seperti selalu aku yakini sedari dulu.
Namun demikian, aku tidak akan berlama-lama tinggal dalam keindahan ini, meski sudah lama, aku rasa, aku tidak menggunakan "namun demikian". Terlebih lagi, "bagaimanapun juga". Sampai hari ini, kalau aku bertemu dengannya, aku memaksa otakku untuk pura-pura tidak melihat "juga". Aku tegaskan dalam benak sendiri: "bagaimanapun". Titik. Apakah keindahan ini sepadan dengan hembusan yang menggetar-getarkan bilah bambu, yang katanya menggambarkan suasana malam di Paris. Uah, para pemirsa pasti mafhum belaka aku tidak akan menginjakkan kaki di kota dekaden ini kecuali untuk menaklukkannya, jika perlu, mengganti namanya sekali, menjadi "Dekaden".
Bentuk keindahan macam apa ini. Ini, aku rasa, adalah bentuk keindahan yang suci lagi murni, yang tidak mungkin dirusak durjananya dunia; Untuk yang ini aku berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Begini memang, aku rasa, caranya menikmati keindahan. Rasanya seperti pulang dari Duren Tiga, ndaleme Siwo, apakah ini pas ketika Dunia Dalam Berita baru dimulai atau setelahnya; yang jelas, sesampainya di ndaleme Akung sudah lumayan larut. Entah aku masih bisa menahan kantuk, atau justru menonton Riptide dan sebangsanya, aduhai aku bahkan masih sedikit lebih muda dari Adjie sekarang ketika itu.
Lebih dari itu keindahan, aku rasa, tidak lagi sesuci dan semurni itu. Dalam hal ini, entah bagaimana aku langsung teringat Muhammad Ali. Masya Allah nama yang bagus sekali namun meninggalkan kesan yang membuat sakit kepala. Entah bagaimana aku juga teringat meander Cisadane di pertigaan Jalan Kavling Pemda dan Karawaci Raya. Jika ada yang indah dari episode ini adalah persekitaran Gama Satu itu, sore-sore ketika Centurions atau Kura-kura Ninja Mutan Remaja yang sudah tiada seberapa menarik, karena aku sok-sok'an bersiap-siap dewasa, dengan masuk SMA Taruna Nusantara.
Jangankan keindahan, tiada kedamaian yang aku temukan, kecuali maghrib-maghrib masih di atas atap, mendengarkan gemuruh mesin pabrik dari arah Cikokol. Demikian juga bekas ruang praktek Dokter Hardi Leman yang terasa sejuk dan temaram, ditemani lagu-lagu cinta dan buku-buku pelajaran yang menjanjikan masa depan yang gemilang. Tidak lama setelah itu aku sadari bahwa masa depan tidak terlalu gemilang, maka aku sedikit berkhayal mungkin agak lebih ke depan lagi. Ternyata malah bertambah suram dan semakin suram saja. Entah kapan mulai terang, yang jelas Sabtu ini terasa indah.
Tiada kedamaian, apalagi kebahagiaan aku temui. Ketika itu, aku merasa wajar, karena memang sedang dalam masa perjuangan. Aku setengah berharap bahwa kebahagiaan akan menantiku di balik tikungan atau tanjakan yang ketika itu belum aku lihat. Setelah sampai di balik tikungan atau tanjakan itu, aku yakin menemui berbagai keindahan, kebahagiaan, kedamaian dan sejenisnya; namun tentu tidak dari sampul dalam buku saku, SMA maupun Akabri. Keindahan selalu tercecer di tempat-tempat yang paling tidak diharapkan, seperti di bawah tenda nasi goreng berpenerangan petromaks di pinggir jalan.
Aku menulis-nulis begini tiada artinya, bahkan aku sendiri terkadang tidak mengerti hahaha. Biarlah. Seperti ini memang keindahan. Orang sering tertipu ingin memilikinya, merengkuh dan mereguknya. Padahal kalau masih bisa dimiliki, apalagi sampai direngkuh dan direguk, sudah pasti bukan keindahan. Sudah pasti sekadar alat pemenuhan kebutuhan, bahkan pemuas nafsu. Naudzubillah. Bukan berarti aku merasa cerdik atau bagaimana, aku hanya menginginkan keindahan yang benar-benar, bukan yang kata orang-orang. Hanya aku dan diriku sendiri yang tahu indahnya, seperti selalu aku yakini sedari dulu.
No comments:
Post a Comment