Oh, ternyata sudah tersedia pemegang-tempatnya, bahkan judul dan ilustrasinya sekali, meski judulnya masih diilhami oleh Dewa Asmara, ilustrasinya entah dari mana asalnya. Justru keburaman ilustrasi ini menambah asli suasananya, awal sampai pertengahan 1998 itu. Aku masih ingat mendung-mendungnya, bahkan hujan-hujannya. Itu pulalah yang mengilhami cerita pendekku mengenai seorang centurion yang kehilangan kepercayaannya kepada kejayaan Romawi. Dari situ pulalah, aku rasa, aku menikmati berbagai-bagai citarasa, termasuk Minak Djinggo Internasional ini, Minak Djinggo filter.
Memang kisah cinta paling nikmat jika dihiasi rinai hujan, rintik menderasnya, derai perlahannya. Seperti itu jugakah suasana ketika aku terpaksa melancarkan kungfu peremuk kaca. Betapa jengkelnya jika abu dupa tidak jatuh ke dalam tempat yang aku siapkan untuknya. Bukan sekadar untuk pegangan tangkai dupa aku beri berpasir begitu, melainkan sekalian untuk menampung abu dupa. Pasir dan abu, tidakkah kalian seharusnya serasi, seperti rawon berlabu-siam bertempe. Seperti tato di bawah tengkuk dan omongan ke mana-mana tanpa juntrungan. Tempatnya di situ-situ juga, tak berubah.
Mengetiki berteman Kincir Jujur begini memang dapat menimbulkan kesan pantas saja karena aku di Belanda. Nyatanya, setiap kali aku berjalan pulang dari Albert Heijn ke rumahku di Sepurderek, memang itu yang segera nampak: kincir angin. Orang-orang Belanda ini, entah mengapa mereka suka memelihara kebugaran, entah dengan berlari bahkan latihan silang. Siapapun itu yang aku temui, tak satupun menyapa bahkan sekadar melempar senyum, kecuali Si Mufti dari Ghana. Ketika itu sedang puasa. Aku pun baru pulang dari membeli hidangan berbuka, atau tidak, aku tidak seberapa ingat.
Lantas bersepeda ke Molenwijk, pernah aku berangkat masih terang cuaca. Sekeluar dari Albert Heijn, langit sudah gelap. Itu pasti musim dingin. Sama sekali tidak ada kisah cinta di sana, maka ketika Achmad Sulfikar begitu saja menawar Van Moof putih dari Hadi, tiada keberatanku sedikit pun. Meski itu berarti aku tidak bisa bersepeda ke timur membeli hidangan Cina pada orang Turki. "Aku dapat dengan mudah memesannya secara dalam jaringan," demikian kataku pada diri sendiri. Terlebih Sumpitz yang aduhai mahalnya, padahal hanya begitu doang, fuyunghai vegan katanya, lalu tahu entah-entah.
Apa yang aku dapatkan dari pengorbananku yang sedikit itu. Apa yang tersisa dari es krim yang dijual sepasang suami istri, yang dimakan di undak-undakan di luar gereja sambil memandangi seluas Vrijthof. Agak sepuluhan tahun kemudian aku ulangi lagi adegan ini, meski tanpa es krim dan diskusi mengenai kapitalisme lawan sosialisme. Masuk angin yang aku dapatkan. Bukan pulang ke kostan malah ke hotel, tidak bisa tidur pula sepanjang malam. Itu sedang puasa yang sampai menguruskan. Sanggupkah aku mengulanginya lagi di sini. Aku sedang sangat butuh puasa yang seperti itu. Sungguhpun.
Aku juga pernah seorang diri di La Place Schiphol menikmati sup bawang dan jejari keju, jika aku tidak salah ingat. Badanku, seingatku, selalu lebih ringan begitu. Perutku tidak berat terlipat seperti sekarang. Makananku benar-benar seadanya di sana. Rasanya tidak ada yang mantap mengena di lambung. Mungkin itulah sebabnya badanku lebih ringan di Belanda. Terlebih ketika aku menikmati udang-udangan dengan saus cabai, jajanan utamaku kala itu. Sangat jarang aku membeli ayam panggang yang, untuk ukuran hidup di Belanda, nikmat. Quarterpounder, seperti biasa, cenderung hambar. Entah halal tidak.
Aku sangka, ini akan menjadi entri mengenai kisah cinta. Namun, seperti biasa, percuma menduga entri akan menjadi mengenai apa. Aku rasa, praktik ini layak dilazimkan. Bukan terutama berkenaan dengan judul, namun mengilustrasikan sebelum mengetiki ternyata sungguh praktisnya. Seperti sekarang ini, entah apa yang dilakukan Si Bodoh Ari Wibowo di entriku ini, kau yang membuatku hafal selalu. Tidak mungkin juga aku rasa ia menghisap Minak Djinggo Internasional. Bibirnya terlalu jambon, jangankan untuk menghisap rokok sejantan itu, untuk menghisap apapun kecuali burung lekong!
Memang kisah cinta paling nikmat jika dihiasi rinai hujan, rintik menderasnya, derai perlahannya. Seperti itu jugakah suasana ketika aku terpaksa melancarkan kungfu peremuk kaca. Betapa jengkelnya jika abu dupa tidak jatuh ke dalam tempat yang aku siapkan untuknya. Bukan sekadar untuk pegangan tangkai dupa aku beri berpasir begitu, melainkan sekalian untuk menampung abu dupa. Pasir dan abu, tidakkah kalian seharusnya serasi, seperti rawon berlabu-siam bertempe. Seperti tato di bawah tengkuk dan omongan ke mana-mana tanpa juntrungan. Tempatnya di situ-situ juga, tak berubah.
Mengetiki berteman Kincir Jujur begini memang dapat menimbulkan kesan pantas saja karena aku di Belanda. Nyatanya, setiap kali aku berjalan pulang dari Albert Heijn ke rumahku di Sepurderek, memang itu yang segera nampak: kincir angin. Orang-orang Belanda ini, entah mengapa mereka suka memelihara kebugaran, entah dengan berlari bahkan latihan silang. Siapapun itu yang aku temui, tak satupun menyapa bahkan sekadar melempar senyum, kecuali Si Mufti dari Ghana. Ketika itu sedang puasa. Aku pun baru pulang dari membeli hidangan berbuka, atau tidak, aku tidak seberapa ingat.
Lantas bersepeda ke Molenwijk, pernah aku berangkat masih terang cuaca. Sekeluar dari Albert Heijn, langit sudah gelap. Itu pasti musim dingin. Sama sekali tidak ada kisah cinta di sana, maka ketika Achmad Sulfikar begitu saja menawar Van Moof putih dari Hadi, tiada keberatanku sedikit pun. Meski itu berarti aku tidak bisa bersepeda ke timur membeli hidangan Cina pada orang Turki. "Aku dapat dengan mudah memesannya secara dalam jaringan," demikian kataku pada diri sendiri. Terlebih Sumpitz yang aduhai mahalnya, padahal hanya begitu doang, fuyunghai vegan katanya, lalu tahu entah-entah.
Apa yang aku dapatkan dari pengorbananku yang sedikit itu. Apa yang tersisa dari es krim yang dijual sepasang suami istri, yang dimakan di undak-undakan di luar gereja sambil memandangi seluas Vrijthof. Agak sepuluhan tahun kemudian aku ulangi lagi adegan ini, meski tanpa es krim dan diskusi mengenai kapitalisme lawan sosialisme. Masuk angin yang aku dapatkan. Bukan pulang ke kostan malah ke hotel, tidak bisa tidur pula sepanjang malam. Itu sedang puasa yang sampai menguruskan. Sanggupkah aku mengulanginya lagi di sini. Aku sedang sangat butuh puasa yang seperti itu. Sungguhpun.
Aku juga pernah seorang diri di La Place Schiphol menikmati sup bawang dan jejari keju, jika aku tidak salah ingat. Badanku, seingatku, selalu lebih ringan begitu. Perutku tidak berat terlipat seperti sekarang. Makananku benar-benar seadanya di sana. Rasanya tidak ada yang mantap mengena di lambung. Mungkin itulah sebabnya badanku lebih ringan di Belanda. Terlebih ketika aku menikmati udang-udangan dengan saus cabai, jajanan utamaku kala itu. Sangat jarang aku membeli ayam panggang yang, untuk ukuran hidup di Belanda, nikmat. Quarterpounder, seperti biasa, cenderung hambar. Entah halal tidak.
Aku sangka, ini akan menjadi entri mengenai kisah cinta. Namun, seperti biasa, percuma menduga entri akan menjadi mengenai apa. Aku rasa, praktik ini layak dilazimkan. Bukan terutama berkenaan dengan judul, namun mengilustrasikan sebelum mengetiki ternyata sungguh praktisnya. Seperti sekarang ini, entah apa yang dilakukan Si Bodoh Ari Wibowo di entriku ini, kau yang membuatku hafal selalu. Tidak mungkin juga aku rasa ia menghisap Minak Djinggo Internasional. Bibirnya terlalu jambon, jangankan untuk menghisap rokok sejantan itu, untuk menghisap apapun kecuali burung lekong!
No comments:
Post a Comment