Selalunya sekarang digambari dulu baru dikitiki. Entah sejak kapan dibiasakan begini, sepertinya baru-baru ini saja. Terlebih penting, apa penyebabnya. Seandainya aku dapat mengingatnya, tetapi sepertinya memang tidak ada penyebabnya. Seperti sebagian besarnya, sekebat, sekebit dan begitulah adanya. Sudah tidak waktunya, jangankan memikirkan kepakaran, bahkan untuk bercerdik-ria pun sudah tidak waktunya. Sekarang adalah waktunya bersyukur atas perasaan nyaman, agak ataupun sekali, apapun itu bentuknya; karena merasa nyaman sudah cukup bagus untuk siapapun. Ah, melesetnya jauh sekali lagi.
Segelas besar teh jahe merah semoga cukup untuk menyamankan apapun yang resah dan meresahkan, gelisah dan menggelisahkan, mengusir semua perasaan lemah, lelah. Akan halnya Togar jadi gila lari, itu mungkin lebih baik untuknya, daripada aku yang tidak melakukan apapun untuk kesehatan badanku. Terlebih lagi, aku dengan sengaja merusak kesehatan jiwaku, atau setidaknya membiarkannya tak terurus. Seperti terhadap badanku, begitulah jiwaku. Orang terkadang berpikir yang kecil, yang mikro itu menarik, punya sisi manusiawi, seperti dua hati dijepit dua penjepit pakaian. Aku tak suka berpikir.
Kelentang-kelenting piano ditingkahi senar bass ganda ditowel-towel dan dram senar disapu-sapu terkadang bisa menjengkelkan, meski ia dimaksudkan untuk menemanimu bekerja atau belajar. Mungkin karena aku tidak bekerja, atau mungkin karena aku berkelakar saja sepanjang hari. Namun berkelakar bukan berarti tidak belajar. Aku belajar sepanjang hari. Aku mencoba mempelajari apapun yang terjadi padaku, serinci mungkin, semenyeluruh mungkin, agar aku terus merasa nyaman. Aku rasa, aku kecanduan rasa nyaman. Apapun yang sampai mencandu itu sudah barang tentu tidak baik, kiranya.
Nah, bossas malam tropis ini malah lebih cocok menjadi musik santai. Setelah santai begini, aku jadi sempat berpikir mengenai apa yang oleh orang-orang dikira sebagai kecantikan, keindahan. Itulah sebabnya jaman dulu ada saja orang memberi nama anak perempuannya "Indah". Belakangan ada saja orang memberi nama anak perempuan "Cinta". Dari cantik, indah, menjadi cinta, atau cinta menghasilkan kecantikan, keindahan; atau cinta itu sendiri cantik, indah. Inilah yang lebih benar. Milikilah Cinta terlebih dahulu, maka kecantikan, keindahan akan dengan sendirinya sama berdatangan.
Kata-kata sifat ini menjadi damba-dambaan manusia. Mana lebih baik, mendambakan sifat, benda, atau malah kerja sekali. "Kerja" juga umum menjadi nama di antara orang-orang Jawa dahulu. Ingat saja tokoh yang diperankan almarhum Basuki Srimulat di sinetron Si Doel Anak Sekolahan; meski "kerja" juga bisa merupakan benda. Ah, sungguh lucu memikirkan makna. Bahkan berpikir itu sendiri, yang merupakan kerja, sudah sangat menggelikan. Kalau sekadar mau geli, sini dikitiki saja. Digambari punggung telanjangnya dengan ujung jari juga bisa geli. Maka tidak usahlah berpikir, dikitik-kitiki saja.
Nyatanya, tidak saja penglihatan, semua panca indera selalu saja menyesatkan. Ada lagi wewangian tante-tante, ini yang ada di hadapanku sekarang, yang katanya berbeda dengan harum-haruman gadis remaja. Wewangian jelas lebih lazim dibandingkan heharuman, misalnya. Maka aku sungguh jengkel pada tetiba dan sejenisnya, apalagi tetikus. Jika waktumu banyak, maka sebutlah itu tikus-tikusan. Jika kau sibuk, maka cukup sebut "maus", habis perkara. Aku bicara seakan sedang berada di kantin atau bubur ayam Snar Guitar, tempat-tempat seperti itu, bersama para tamtama yang gunanya tidak banyak.
Maka tibalah pada suatu alinea yang bisa saja diberi bersubjudul "Akhir Kata", meski tentu tidak akan aku lakukan. Sesuatu jelas sangat salah denganmu, atau mungkin denganku. Lantas kalau salah, haruskah aku menjadi Kumpulan Liar yang terdiri dari kakak-kakak pertama, kedua, dan seterusnya, dengan nama-nama seperti Fong Sai Yuk, Wong Fei Hung, dan sebagainya. Kumpulan Liar yang baru bubar sekitar tengah malam sering membuat anak sekolah terlambat bangun paginya, terburu-buru berlari-lari tetap saja terlambat masuk sekolahnya; berarti ketololan ternyata sudah dimulai sejak dini.
Segelas besar teh jahe merah semoga cukup untuk menyamankan apapun yang resah dan meresahkan, gelisah dan menggelisahkan, mengusir semua perasaan lemah, lelah. Akan halnya Togar jadi gila lari, itu mungkin lebih baik untuknya, daripada aku yang tidak melakukan apapun untuk kesehatan badanku. Terlebih lagi, aku dengan sengaja merusak kesehatan jiwaku, atau setidaknya membiarkannya tak terurus. Seperti terhadap badanku, begitulah jiwaku. Orang terkadang berpikir yang kecil, yang mikro itu menarik, punya sisi manusiawi, seperti dua hati dijepit dua penjepit pakaian. Aku tak suka berpikir.
Kelentang-kelenting piano ditingkahi senar bass ganda ditowel-towel dan dram senar disapu-sapu terkadang bisa menjengkelkan, meski ia dimaksudkan untuk menemanimu bekerja atau belajar. Mungkin karena aku tidak bekerja, atau mungkin karena aku berkelakar saja sepanjang hari. Namun berkelakar bukan berarti tidak belajar. Aku belajar sepanjang hari. Aku mencoba mempelajari apapun yang terjadi padaku, serinci mungkin, semenyeluruh mungkin, agar aku terus merasa nyaman. Aku rasa, aku kecanduan rasa nyaman. Apapun yang sampai mencandu itu sudah barang tentu tidak baik, kiranya.
Nah, bossas malam tropis ini malah lebih cocok menjadi musik santai. Setelah santai begini, aku jadi sempat berpikir mengenai apa yang oleh orang-orang dikira sebagai kecantikan, keindahan. Itulah sebabnya jaman dulu ada saja orang memberi nama anak perempuannya "Indah". Belakangan ada saja orang memberi nama anak perempuan "Cinta". Dari cantik, indah, menjadi cinta, atau cinta menghasilkan kecantikan, keindahan; atau cinta itu sendiri cantik, indah. Inilah yang lebih benar. Milikilah Cinta terlebih dahulu, maka kecantikan, keindahan akan dengan sendirinya sama berdatangan.
Kata-kata sifat ini menjadi damba-dambaan manusia. Mana lebih baik, mendambakan sifat, benda, atau malah kerja sekali. "Kerja" juga umum menjadi nama di antara orang-orang Jawa dahulu. Ingat saja tokoh yang diperankan almarhum Basuki Srimulat di sinetron Si Doel Anak Sekolahan; meski "kerja" juga bisa merupakan benda. Ah, sungguh lucu memikirkan makna. Bahkan berpikir itu sendiri, yang merupakan kerja, sudah sangat menggelikan. Kalau sekadar mau geli, sini dikitiki saja. Digambari punggung telanjangnya dengan ujung jari juga bisa geli. Maka tidak usahlah berpikir, dikitik-kitiki saja.
Nyatanya, tidak saja penglihatan, semua panca indera selalu saja menyesatkan. Ada lagi wewangian tante-tante, ini yang ada di hadapanku sekarang, yang katanya berbeda dengan harum-haruman gadis remaja. Wewangian jelas lebih lazim dibandingkan heharuman, misalnya. Maka aku sungguh jengkel pada tetiba dan sejenisnya, apalagi tetikus. Jika waktumu banyak, maka sebutlah itu tikus-tikusan. Jika kau sibuk, maka cukup sebut "maus", habis perkara. Aku bicara seakan sedang berada di kantin atau bubur ayam Snar Guitar, tempat-tempat seperti itu, bersama para tamtama yang gunanya tidak banyak.
Maka tibalah pada suatu alinea yang bisa saja diberi bersubjudul "Akhir Kata", meski tentu tidak akan aku lakukan. Sesuatu jelas sangat salah denganmu, atau mungkin denganku. Lantas kalau salah, haruskah aku menjadi Kumpulan Liar yang terdiri dari kakak-kakak pertama, kedua, dan seterusnya, dengan nama-nama seperti Fong Sai Yuk, Wong Fei Hung, dan sebagainya. Kumpulan Liar yang baru bubar sekitar tengah malam sering membuat anak sekolah terlambat bangun paginya, terburu-buru berlari-lari tetap saja terlambat masuk sekolahnya; berarti ketololan ternyata sudah dimulai sejak dini.