Dunia ini panggung salihara
Cerita yang mudah berubah
Kisah Mahabarata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar ada peran berpura pura
Mengapa kita bersalihara
Mengapa kita bersalihara
Seharusnya aku merapikan cakar ayam dari sesorean sampai hampir tengah malam tadi. Bahkan cakar ayam mengenai Restorasi Pancasila saja belum kubereskan. Akan tetapi, aku sudah tidak punya cukup tenaga [atau waktu, karena aku harus segera berangkat tidur] untuk melakukannya kini. Biarlah kutunda sampai besok. Mungkin besok akan kulakukan di Jeprut, atau Jalan Radio. Lihat besoklah. Oleh karena itu, malam ini biarlah aku mengabadikan bagian-bagian manusiawi (human interest) dari kejadian-kejadian sepanjang petang sampai malam ini. [‘pala lo human interest?!]
Evo Morales sedang kompresi pres |
Pertama-tama, tentu saja rujak cingur yang bumbu petisnya mantabp, sampai-sampai aku berani makan cingurnya yang kinyel-kinyel itu. Pokoknya cucok lah "Salad Surabaya" tadi itu. Kedua-dua, mungkin shalat Ashar yang diimami oleh mantan petinggi PKS Jepang Azhari Sastranegara lalu shalat Maghrib yang diimami Bang Humbul Kristiawan. Jika saja beliau tidak menarikku tadi setelah jeda, tentu aku sudah shalat Maghrib diimami Pak Try Sutrisno, yang secara resmi tertulis sebagai idolaku menurut Buku Tahunan TN2.
Akan tetapi, laporan utama malam ini tentu adalah mengenai penobatan Evo Morales sebagai El Presidente oleh Rshi Bhishma, di hadapan senior-senior, rekan-rekan, bahkan junior-juniornya yang jelas-jelas lebih hebat darinya—sedangkan mereka dinobatkan sebagai para menteri. Hadir pula dalam kesempatan itu para sesepuh Hastinapura dan lain-lain yang belum terlalu sepuh. Salah satu dari antara yang belum terlalu sepuh itu, Pak Jon, mengatakan bahwa Rshi Bhishma bersumpah tidak akan meninggal sebelum menyerahkan tampuk kepemimpinan negara pada orang yang tepat. [atau benar?] Aku sendiri tidak ingat Rshi Bhishma pernah bersumpah demikian.
Rshi Burian menyebutnya sebagai transformational leadership, menyiapkan Evo Morales dan kawan-kawannya untuk mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan Bangsa. Para Rshi ini tampaknya berharap sangat besar dan tinggi pada Evo Morales dan kawan-kawannya, sedangkan Pak Jul dan Pak Husen menyebut bocah-bocah ini sebagai bahasa Maduranya TN, yaitu Taman Nakkanak. Betul, Pak, Evo Morales cs. memang nakkanak di bidang ini. Mereka memang belum terbiasa netek, sedangkan sebagian besar darinya menekuni bengek masing-masing. Kata kuncinya dalam hal ini mungkin, sebagaimana disabdakan Rshi Bhishma, “TANPA PAMRIH.”
Pamrih apa? Pamrih melihat Bangsa ini maju, seperti kata Herbie? Berhubung aku agak kenal Evo Morales—kebetulan kami saudara kembar siam dampit identik lain bapak lain ibu—aku agak dapat membaca pikiran Evo. Ia jelas punya pamrih yang sangat besar. Bapaknya yang turunan Ken Arok menginginkan ia melakukan kerja besar sebagaimana pernah dikerjakan leluhurnya itu. Ini memang spesialisasi turunan Ken Arok, yaitu spesialis terima beres. (STB) Lhah, kalau begitu berarti harus ada juga Dang Hyang Lohgawe.
Selepas acara itu, Takwa, Steve dan Herbie mengajak geser ke Circle K dekat situ. Aku minum teh susu dan makan roti keju, masih juga makan martabak telor yang dibeli Herbie agak dua potong. Oh, apa yang telah kulakukan? Dunia ini toh panggung salihara yang ceritanya mudah berubah. Akan tetapi, mungkin memang itu satu-satunya konsep dasar, yang karenanya Ip Man harus berterima kasih pada Togar Tanjung. Selesai dari situ sudah hampir tengah malam. Sempat ragu, namun setelah diterpa angin malam, Alhamdulillah, segar lagi menyongklang Pario sampai rumah.
Kami Putra Ibu Pertiwi Indonesia
Setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945
Setia kepada Pancasila
Setia kepada UUD 1945
Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bersedia menyerahkan seluruh jiwa raga
bagi cita-cita perjuangan Bangsa Indonesia
No comments:
Post a Comment