Restorasi Pancasila... itu sesuatu hal yang teramat penting. Bagiku. Bersikap sopan pada orang yang lebih tua, apalagi orangtua, apalagi sesepuh adalah kode kehormatanku. Kesetiaan adalah kebanggaanku. Kehormatan di atas segala-galanya. Namun Kemacangondrongan ini terlalu kuat menarikku bagai besi berani. Untuk terus menulisinya sesuka hati karena di sinilah, dari semua tempat di dunia aku dapat berbuat sesuka hati. Meskipun itu menulis, karena aku memang suka menulis. Aku lebih suka menulis daripada bicara. Menulis meninggalkan jejak. Bicara tidak. [Apa dengan demikian aku suka meninggalkan jejak?]
Namun ini entri mengenai temanku. Ya, teman sejatiku memang Cantik, tapi Cantik itu ‘kan istri. Istri itu perempuan. Perempuan memang teman seperjuangan mengarungi bahtera rumah tangga. Namun ini teman. Sekarang ini, jika ditanya siapa temanku, aku hanya dapat menyebut satu nama. Togar Tanjung. [Ah, ia ‘kan juniormu jauh] Akan tetapi aku memang tidak punya teman. John Gunadi jelas tidak suka berteman denganku. Hari Prasetiyo, dia temanku juga. Farid. Ega, mahasiswa bimbinganku. Aku tidak punya lagi teman.
Togar Tanjung punya kehidupan dan waktunya sendiri. Pun demikian, satu hal yang jelas, dia... Hah, aku tidak ingin memberikan kehormatan itu padanya. Setidaknya tidak sekarang. Akankah pernah? Tidaklah. Cukuplah penghormatan ini kuberikan pada Mas Toni Edi Suryanto. Ia Pecundang Sejati, meski aku belum dapat memutuskan apakah pecundang lebih baik daripada pecun. Baik pecundang maupun pecun sama-sama berusaha menaklukkan dunia. Bedanya, pecundang, sesuai namanya, dipecundangi. Pecun? Kadang mecun, kadang mempecundangi, kadang mati. Gloria Wandrous, contohnya, mati.
Sebuah tulisan "No Sale" yang bagus sekali, kata Cantik. Aku setuju. |
Malam-malam begini, di tengah hujan gerimis lamat-lamat, aku menulis mengenai Togar Tanjung. Untunglah tulisanku ini tidak seperti surat-surat Erasmus kepada Servatius Rogerus. ‘Gar, Gunawan Mohamad itu... ah, aku tidak mau memaki. Namun caramu menyebut apa yang dimilikinya sebagai “modal sosial” terngiang selalu dalam benakku. Kita tertawa-tawa membicarakan kelakuan dan nasib prodiginya. Apa yang dapat kita perbuat, Gar? Sementara Bang Andri menetapkan, bila tahun ini juga ia diangkat menjadi Lektor Kepala, setidaknya dua tahun kemudian harus sudah jadi Guru Besar.
Apa benar yang kita tertawakan? Eh, daripada lupa, lebih baik kuceritakan di sini. Dini hari menjelang shubuh, aku terbangun dari sebuah mimpi yang aneh sekali. Prof. Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D. tengah berbaring di dalam sesuatu yang mirip pillbox atau bunker tempat latihan melempar granat. Ia semacam ingin menguji sesuatu dengan cara membakar bagian dalam tempat itu, sedangkan ia berbaring di dalamnya. Entah aku yang melakukannya, entah orang lain, yang jelas Prof. Topo ditimbun dengan pasir. Mungkin agar ia tidak terbakar.
Kepalaku berada dekat dengan kepala beliau. Rasa-rasaku, aku seperti di situ untuk menguatkan hatinya melakukan apa yang tengah beliau lakukan. Entah bagaimana caranya, tempat itu mulai terbakar dan aku pun menghindar. Namun aku sempat juga menengok ke belakang dan kudapati kaki Prof. Topo tidak tertutup pasir dengan sempurna; dan kaki itu terbakar! Pada saat itulah aku terbangun. Sudahkah aku berlindung pada Allah dari kejahatan mimpi buruk itu? Aku lupa. Namun, yang jelas, aku tergoda juga untuk gugling mencari makna dari impian seperti itu.
Aku banyak takut. Semakin banyak ketakutanku. Mengapa begitu? Pantaskah seseorang laki-laki berumur 39 tahun sepenakut aku? Colombus memulai pelayaran pertamanya ke barat pada usia kira-kira 42 tahun. Ia pasti seorang yang sangat pemberani. Ia pelaut ulung. Ia berani menghadapi ganggang sargassum, meski aku lupa apa benar yang seram dari ganggang ini. Aku... aku hanya berani melayari masa laluku. Masa kecilku. Aku berlayar dengan buritan memecah ombak. Masa kecilku tampak makin jauh saja, dan aku tidak tahu, dan tidak mau tahu ke mana bokongku menuju.
No comments:
Post a Comment