Jika aku tidak tahu ingin apa, aku menulisi Kemacangondrongan. Jika aku tahu ingin apa, aku menulisi Kemacangondrongan. Terlebih dengan infusan kopi vital dari Bali oleh-oleh Mbak Meira, yang segera akan kutinggalkan. Seperti apa meja baruku? Koq aku tidak benar-benar ingin tahu? Apa karena aku sudah terlalu nyaman di meja jelek yang kini aku telah diusir darinya? Atau karena ingus mendesak-desak dalam sinus di belakang hidungku? Hih, apa rasanya kalau sedang begini disuruh nyanyi A Hard Day’s Night oleh Aldamayo [kenapa Aldamayo?] pada pitch aslinya.
Segala sesuatu memang selalu ada awalnya, dan selalu ada akhirnya. Namun cintaku pada Bapak dan Ibu tidak akan berakhir sampai kapanpun, telebih kini setelah aku setua ini. Sungguh beruntung aku masih ada Bapak Ibu. Cantik saja tidak seberuntung aku. Sonny Nugraha apalagi. Mungkin tidak terucap olehku jika bertatap muka, Son. Namun di sini biarlah kujelaskan. Bang Safri dan ngeband Beatles dan Koes Plus itu sesuatu yang sangat traumatis untukku. Tidak dalam arti negatif, justru dalam arti yang agak manis. Aku tidak suka diingatkan padanya karena ada juga sedikit sesal di situ.
Gambar ini asalnya dari sini. Sepertinya dibuat oleh Cahyaningtyas. Bagus. |
Hei, tapi ini ‘kan bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru. Iya lah, kalau awal tentu sesuatu yang baru. Nggak juga ya. Ini bisa menjadi awal sesuatu yang lama, misalnya... Pancasila. Pancasila itu adalah sesuatu yang setarikan nafas dengan cintaku pada Bapak dan Ibuku. Aku juga tidak tahu mengapa bisa begitu. Apakah ini delusi akan kebesaran? Tidak. Aku tidak besar. Aku mau besar? Tidak. Aku cuma... tidak peduli apa-apa. Kasihan Cantik, Suaminya tidak peduli apa-apa. Namun aku sangat menyayangimu, Cantik.
Akhirnya, aku cukup bahagia hanya menari denganmu. Sudah cukup itu. Terlebih dengan pukulan yang riang begini, dengan langkah bass yang memantul-mantul namun mengalir ini, sudah cukup bagiku. Musik adalah bagian yang sangat penting dalam hidupku. Begitulah adanya jiwaku mengalun. Oh Gusti, badan ini milikMu. Jiwa ini milikMu. Nafas ini milikMu. Tidak ada aku, Gusti. Hanya Engkau. Hanya Gusti sesembahan mahluk. Akan halnya hamba, kasihanilah. Ampun, Gusti. Setitik debu ini nista. Engkau Maha Mulia. Setitik lumpur ini kumuh. Engkau Maha Suci.
Akhirnya, aku cukup bahagia hanya menari denganmu. Sudah cukup itu. Terlebih dengan pukulan yang riang begini, dengan langkah bass yang memantul-mantul namun mengalir ini, sudah cukup bagiku. Musik adalah bagian yang sangat penting dalam hidupku. Begitulah adanya jiwaku mengalun. Oh Gusti, badan ini milikMu. Jiwa ini milikMu. Nafas ini milikMu. Tidak ada aku, Gusti. Hanya Engkau. Hanya Gusti sesembahan mahluk. Akan halnya hamba, kasihanilah. Ampun, Gusti. Setitik debu ini nista. Engkau Maha Mulia. Setitik lumpur ini kumuh. Engkau Maha Suci.
Berhubung cinta tidak bisa dibeli, biarlah aku mengenang Bang Safri Nugraha di sini. Semoga Allah mengampuni semua dosamu, Bang. Menghapuskan semuanya. Semoga Allah menerima semua perbuatan baikmu, melipatgandakan pahalanya. Semoga Allah melapangkan kuburmu, Bang. Menyamankanmu selama menunggu. Aku masih harus menjalani hari-hariku di sini, seperti ketika kita mengobrol menunggu sahur. Entahlah sampai atau tidak aku pada Ramadhan berikutnya. Semoga Allah menerima semua shalatmu, melipatgandakan pahalanya, termasuk tarawihmu yang aku hanya menonton, termasuk shubuh kita yang berjamaah.
Berhubung Aldamayo sudah, Bang Safri sudah, berarti Umar Bawahab, hahaha. [kenapa ketawa?] ‘Mar, lo itu... habib. [Hahaha, bener ga sih? Ini ketawa kangen, 'Mar] Apapun itulah. Tetap saja kudoakan kalian Aldo Panjaitan, Umar Bawahab, termasuk Leo Saragi. Semoga kalian selalu berada dalam lindungan dan belas-kasihNya. Jika mereka saja kudoakan, sudah tentu Bang Rajab Hengky Zulkarnaen dan Robby juga, bahkan Bang Ari dan semua keluarga besar Haji Yakub dari H. Sajim Radio Dalam. Ahmad Madison Nugraha dan ibunya, Mbak Detje tentu tiada tertinggal. Ya Allah, kasihanilah kami semua. Tolonglah kami. Ampuni kami.
No comments:
Post a Comment