Hampir setengah dua. Aku masih terjaga ditemani Io Che Non Vivo, dan secangkir Coffeemix. Semoga ini bukan langkah yang salah, karena Io Che masih terdengar betapa manisnya. Seperti biasa, pikiranku kalut bercampur-aduk. Salah satunya, aku terkenang Rendy. Orangnya masih ada, mengapa tidak kusapa saja. Apa ini membuatku terkenang Pusaka, gagasan mengenainya. Haruskah aku mengatakan tidak dan fokus pada proposal disertasiku. Semua kalimat tanya ini memang sengaja tidak kuberi tanda tanya.
Sungguh aneh rasanya. Pikiranku menolak istirahat karena merasa belum mencapai apa-apa. Sering kualami yang seperti ini entah sejak kapan. Kini sepertinya aku harus benar-benar memikirkannya. Gagasannya terdengar apa adanya. Namun, mereka hidup dengan itu. Sesuatu yang tampaknya layak dipercaya, melebihi pertimbangan dan gagasanku sendiri yang dulu-dulu. Selebihnya, kurasa aku sudah termakan khayalan atau bualanku sendiri. Entah mengapa aku membual begitu. Apakah karena sakit hati, atau sekadar agar seru seperti biasa. Itu juga mungkin sebabnya aku menyapa Mang Imas pagi ini.
Lucunya, tidak seperti Wolverine, instingku tidak mengatakan apa-apa. Aku memang hanya menyeret diriku sejak sekitar dua tahun lalu, ke jurusan ini. Semua yang terjadi selama dua tahun belakangan ini memang bermula dari futsal tolol itu. Sedangkan Bang Andri, kata Togar, entri Scopusnya sudah tiga, sedangkan Prof. Hik saja baru dua. Belum lagi Bapak. Oh, apa yang telah kulakukan? Jika kusimpan olehku pastilah akan habis, kecuali jika kusimpan sedemikian rupa sehingga... hahaha aku memang melompat-lompat. Pikiranku.
Coffeemix sudah habis setengah cangkir. Akankah kuikuti saja seperti kerbau dicocok hidung. Ini semua memang sudah gila jika diarahkan semata ke jurusan itu. Terutama bila sekarang ini, sedangkan Bapak seperti biasa maunya cepat. Sejalan. Memang harus sejalan. Aku sepenuhnya paham. Akan tetapi, apa yang membuatku melambat. Apa yang membuatku seakan menahan diri. Semua kalimat tanya tanpa tanda tanya ini, di malam yang telah larut atau bahkan hari yang belum banyak beranjak. Akankah Ia tersenyum padaku, dengan genderang kecilku ini.
Seperti inilah jadinya jika aku pura-puranya menulis rencana-rencana untuk masa depan. Lalu kusebut diriku sendiri seniman. Seniman tanpa modal sosial, yang bila kuclepretkan tai ke kanvas orang tidak akan memuja apalagi memuji. Ini rencana untuk masa depan. Modal sosial. Bergantung dan bernaung pada orang yang memiliki modal sosial. Ini adalah cara berpikir yang untuk sementara harus kulupakan. Lalu apa yang seharusnya kupikirkan. Menghasilkan. Mungkin ini sebabnya. Aku belum tahu apa-apa. Aku sekadar diikutkan maka aku ikut.
Baik kiranya kuucapkan selamat tinggal terlebih dulu. Sudah kukatakan, aku tidak bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus, multitasking. Berbicara mengenai prioritas, sepertinya sudah dibuatkan untukku dengan demikian jelasnya. Tek. Tek. Tek. Namun sepertinya aku tetap harus menyambi. Bagaimana buku hukum adat. Hukum koperasi. Hukum dan pengelolaan sumberdaya alam. Banyak. Terutama proposal. Memang bukan buku, namun harus segenap hati. Tidak bisa aku mengerjakan apapun jika setengah hati. Harus segenap hati. Harus sekaligus secara simultan. Tidak bisa separuh nafas. Harus bisa.
Biarlah kukenang malam-malam Persamu itu. Apakah hanya satu malam. Sempatkah sampai pagi. Apa hanya seharian. Tidakkah itu malam ketika aku dijemput dengan Fiat 124. Untuk apa. Kemana. Aku. Tidak. Aku tidak ingat rinciannya. Aku hanya ingat suasananya. Rasa hatiku. Sebuah tenda kecil yang basah. Di bawahnya mengalir deras air hujan. Suasana yang mirip dengan Chandradimuka, yang telah kualami sekurangnya lima atau enam tahun sebelumnya. Beberapa temanku menjadikannya pekerjaan, permainan itu. Apa yang kukerjakan kini. Bagaimana caraku mencari nafkah.
Aku tidak tahu
No comments:
Post a Comment