Berlatih menulis tiap-tiap kali lima ratusan kata sebenarnya
merupakan kebiasaan yang baik. Akan tetapi, gagasan-gagasan dalam tiap
alineanya haruslah runtut. Sedangkan aku di sini menulis seenak-enak hatiku
saja. Banyak hal sebenarnya yang harus kutulis. Namun daya tarik menulis
asal-asalan selalu lebih kuat dari yang mana pun. Seperti malam ini, ketika
badanku sudah terasa lebih enak, hal pertama yang terpikir olehku adalah
menulis. Sayangnya, menulis di sini, yang tidak akan banyak faedahnya ini. Tulisan,
kata-kata, ujaran ini.
Beberapa hari ini cuacanya agak lucu. Menjelang shubuh hujan
mulai turun, biasanya didahului dengan kilat dan guruh bersahut-sahutan. Setelah
itu hujan tidak pernah benar-benar berhenti, bahkan hari ini sampai lepas
Ashar. Akibatnya, dari pagi sampai sore bawaannya ingin tidur saja; dan memang
enak sekali tidur dalam cuaca seperti itu. Sebaliknya, malam yang menurut
ramalan cuaca berawan menjadi tidak nyaman untuk tidur. Itulah sebabnya, sudah
hampir jam sebelas malam, aku baru bersemangat melakukan sesuatu; dan itu,
sialnya, adalah menulis-nulis di sini.
Uah, Rendesvouz au Lavandou ditingkahi dengan kenangan akan
Majalah Sedap Sekejap, bahkan Majalah Selera. Sungguh masa kecil yang indah.
Tidaklah akan aku penasaran karena telah mengalami masa kecil seindah itu. Meski
ia tidak mungkin kembali, aku sudah mengikhlaskannya. Bahkan jika hidup
dewasaku kurang-kurang bahagia sedikit, tidak menjadi apa. Cukuplah bagiku
ketika kecil pernah membaca seekor kuda yang mati tertimpa mempelam, dan Bapak
yang selalu ribut masalah bahasa tentu saja meributkan hal itu. “Apa itu
mempelam? Pelem?”
Lucunya, Lobo yang satu ini, Don’t Expect Me To Be Your
Friend, tidak mengingatkanku akan masa kecil. Ini justru membawa pada salah
satu masa terkelam dalam kehidupanku. Mess Pemuda. Seperti apa dahulu hidup di
situ? Ada satu kesamaan dengan masa sekarang. Aku sama-sama gendutnya pada saat
itu. Gendut sekali! Subhanallah, kapan itu, hampir lima belas tahun yang lalu.
Hitung-hitung ada yang menjalaninya, dan itu aku. Aku bersama beberapa jiwa
tersesat lainnya. Di situ. Mess Pemuda dengan Witch Grandma-nya, yang rumahnya
ancur ibunya mati.
Lalu ada jejak-jejak cinta. Apakah itu? Samakah ia dengan
cerpen-cerpen yang pernah kubaca di Bobo, Kawanku, Ananda? Jelas ada cinta di
sana. Cinta Bapak dan Ibu padaku, sampai-sampai membelikan majalah-majalah itu
meski bekas. Hei, entri ini jadi mengenai majalah, meski bekas! Ada pula cinta
Akung padaku, cucu kesayangannya, yang mendorongnya membeli majalah-majalah
baru tiap minggunya. Bahkan sampai Mimin! Anak tidak bisa lain harus dibesarkan
dengan cinta. Aku kenyang dihajar habis-habisan, (H3) namun hanya cinta yang
kukenang.
Majalah Selera itu, beberapa eksemplar, juga semacam buklet
Mahkota Selera, beberapa eksemplar juga, semua itu cinta. Sempat juga, setelah
episode Mess Pemuda yang pahit dikenang manis ditertawakan, cinta itu kembali
menyelimuti dalam bentuk Majalah Sedap Sekejap. Kurasa entri ini dipicu oleh
percikan kenangan tentang mi rayud. Terselip sesungging sedih ketika ternyata
hanya satu entri mengenainya dapat kutemui di gugel. Arroz con pollo panameño, aloo
matar bhaji, adalah beberapa nama aneh yang kutemui di Majalah Selera, yang tak
bisa kulupa bahkan sehingga kini.
Lucu jika mengingat betapa arroz con pollo panameño, aloo
matar bhaji dilanjutkan dengan mi rayud menemaniku ke mana-mana. Mereka
bersamaku ketika aku memandangi plafon Graha 3 menunggu kantuk. Mereka bahkan
bersamaku ketika aku jaga serambi di Barak Ton 3 Kotakta A. Mereka menemaniku
ketika aku nyoro sebentar di balik tangga Gedung Wiratno sebelum lari pagi.
Mereka menghiburku dalam malam-malam mengerikan, malam-malam jahanam yang entah
mengapa sampai hinggap dalam kehidupanku. Mereka selalu bersamaku, sampai kini,
nama-nama aneh itu.
No comments:
Post a Comment