Selamat Tahun Baru 2015, dan dengan entri ini maka sudah ada sepuluh tahun dalam menu Kemacangondrongan. Sepuluh tahun menulis barang 'gak guna begini, tidakkah itu suatu alasan kuat untuk relaksasi? Relaks, agar mudah keluarnya. Jangan masuk, karena najis naudzubillahi mindzalik. ‘Duh Gusti hamba, koq sudah banyak sekali bilangannya? Semakin dekatkah dengan JanjiMu? Semakin dekatkah dengan yang dijanjikan, yang sudah pasti datangnya. Itu sudah barang tentu, Tolol! Lalu apa yang sudah kausiapkan untuk itu? Tidak ada...
Selamat Tahun Baru 2015, dan dengan entri ini aku seperti bling-bling yang menaburi kepala gondrong Letnan Dan, yang pada akhirnya berdamai dengan Tuhan. Berdamai dengan Tuhan. Aku memahami salah satu konteks dari ungkapan itu adalah bersiap-siap untuk mati. Akankah aku gagah berani, atau pengecut. Akankah aku seperti Leonidas yang dalam pelem holiwud digambarkan mengingat istrinya sebelum meregang nyawa ditembusi anak panah Persia? Apa yang dipikirkan oleh Resi Bhisma ketika badannya diterjang hujan anak panah Arjuna? [...karena Resi Bhisma tidak pernah menikah]
Jangan-jangan, seperti halnya tokoh Silas khayalan Dan Brown, Resi Bhisma bahkan tidak pernah memuaskan diri olehnya sendiri. Ia yang sumpahnya mengerikan. Orang yang dapat membuat sumpah semengerikan itu pasti... sombong, dan tidak ada bentuk kesombongan seperti apa juga yang diterima di sisiNya Sang Penyombong. Maha Menyombongkan Diri. Aku... sombong. Aku terlahir dari Bapak Ibu yang terlahir sombong. Untuk apa? Mengapa? Jih, pertanyaan ini sama saja dengan mengapa aku terlahir miskin dari bapak ibu yang terlahir miskin. Ya, sama saja!
Miskin ‘kan keadaan, sedangkan sombong itu watak. Di situlah letak kesalahanmu, Culun. Aku miskin sih tidak, meski Parioku semakin hari semakin bututnya. [Maaf ya Pario. Sungguh mesinmu bunyinya halus. Aku suka] Aku sombong, dan Allah tidak akan menolerir bentuk kesombongan yang seperti apapun. Bagaimana dengan kesombongan untuk berpegang teguh pada akidah? Ah, macam aku tahu apa akidahku benar atau tidak. Tidak ada pula usahaku untuk memverifikasinya. [keren ‘kan istilahnya] Lagipula sudah sinting apa? Aku apa? Segala yang kuketahui tidak banyak gunanya, kecuali untuk menghasilkan uang yang... setidaknya lebih banyak daripada berjualan lem Korea.
Dasar lebay tukang mendramatisir, kukatakan pula pada John Gunadi apa yang kurasakan ini seperti yang dirasakan Ira Hayes. [Atau Andrew Laeddis? Atau Edward Daniels?] Aku selalu berkata aku lebih suka jaman dulu ketika tidak ada orang mengetahui siapa aku. Sekarang anak-anak bocah ini, cukup banyak di antara mereka, menganggukkan kepala dengan sopan, bahkan cium tangan padaku. Bahkan, ada juga yang mengucapkan Selamat Hari Guru. Bahkan, Bang Yudhie Haryanto mengaplot foto kami dan menjudulinya “Bertemu Sang Guru.”
Guru dari Hong Kong?! Yah, meskipun aku takut juga merusak pesta ini. Meskipun tidak berani juga aku membayangkan jika pesta ini sampai berakhir. Meski 640 skor TPA-ku, tidak menjamin pesta ini akan terus berlangsung. Apa lagi yang dapat kulakukan selain menari mengikuti irama tetabuhannya. Toh aku tidak tahu apakah tabuhan ini seirama atau tidak dengan tabuhanNya. Daripada sok tau seperti biasanya kulakukan, lebih baik aku terus menari. Misalnya, dengan mengoreksi. Yakin sudah benar mengoreksi? Bagaimana dengan gerak dan gerik lainnya? Sudah benar tarianmu?
Emang Enak Dicepat?!
No comments:
Post a Comment